HIDUPKATOLIK.com – Gelaran AYD 2017 di Indonesia diharapkan memberikan pengalaman perjumpaan yang saling memperkaya. Ini juga menjadi sarana membarui iman dalam hidup bersama.
“Terkait peristiwa Asian Youth Day (AYD) 2017 dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, ada dua hal yang dapat saya sampaikan. Pertama, dalam bagian pertama pertemuan ini para peserta diberi kesempatan untuk tinggal di keluarga-keluarga di beberapa Keuskupan di Indonesia. Pengalaman live-in seperti ini biasanya sangat menarik. Tentu saja pengalaman live in ini tidak dibiarkan lewat begitu saja. Maksud saya, pengalaman-pengalaman selama live in akan dijadikan bahan refleksi bersama. Apa pun pengalamannya, proses seperti ini pasti akan memperkaya setiap pribadi. Saya yakin, pengalaman dan perkembangan kemampuan refleksi akan sangat berarti untuk mengambil sikap kritis terhadap berbagai konteks kehidupan di Indonesia.
Kedua, tema-tema yang diangkat dalam pertemuan bersama di Yogyakarta rasanya sangat relevan bagi bangsa Indonesia: 1. Berkumpul sebagai Asia yang multikultur; 2. Menghargai dan merayakan keberbedaan kita; 3. Disatukan dalam keberagaman kultural; 4. Merayakan persekutuan kita; 5. Menghayati dan berbagi kegembiraan Injil. Dari judul-judul itu menjadi amat jelas bahwa peristiwa AYD sangat relevan dalam konteks kehidupan Indonesia.
Selain itu, AYD yang berlangsung 30 Juli-6 Agustus, sudah didahului kegiatan-kegiatan yang berkesinambungan di keuskupan-keuskupan. Proses yang panjang ini diharapkan memberikan kesan yang mendalam dalam diri kaum muda pada umumnya bukan sekadar kesan emosional tetapi kesan mendalam yang membarui hidup dan mempengaruhi cara berpikir dan pilihan-pilihan hidup.
Dilihat dalam konteks hubungan persaudaraan antarbangsa, peristiwa bersekala Asia terakhir yang dilaksanakan di Indonesia terjadi di Lembang, Bandung pada 1990. Pada waktu itu dilaksanakan Sidang Pleno Federasi Konferensi-Konferensi Uskup Asia (FABC). Sejauh saya tahu dari pembicaraan yang terjadi di antara para Uskup Asia, Sidang FABC 1990 itu sangat mengesankan karena menghasilkan gagasan bahwa Gereja adalah Persekutuan Paguyuban-paguyuban (Communion of Communities). Kalau gagasan yang dihasilkan mengesankan, tentulah tempat di mana gagasan itu lahir, juga terus dikenang.
Saya berharap, dinamika atau proses yang berlangsung dalam AYD ini juga akan menghasilkan gagasan-gagasan yang kreatif dalam mengembangkan persaudaraan antarbangsa. Sementara itu, perjumpaan itu sendiri – tanpa memperhitungkan hasilnya – adalah peristiwa di mana masing-masing peserta akan mengalami peneguhan dalam peziarahan imannya sendiri dan menjadi semakin yakin bahwa mereka – siapa pun dia – tidak sendirian. Perjumpaan selalu memperkaya, membuka wawasan, memperteguh persaudaraan.
Sejauh saya ikuti, panitia AYD bekerja dengan sangat keras, dalam kerjasama yang kuat dan berusaha sungguh-sungguh untuk memberikan yang terbaik bagi peserta AYD – itu berarti bagi Gereja dan bagi Tuhan. Semua Paroki di Indonesia, melalui Keuskupan masing-masing juga terlibat.
Pada sampul belakang luar RUAH April-Juni 2017 ada satu refleksi yang menurut saya sangat bagus. Paus Fransiskus mengatakan, “Banyak orang yang mencoba menjauhkan diri dari orang lain dan berlindung dalam kenyamanan pribadi mereka atau dalam lingkungan kecil teman-teman dekat, dengan menyangkal realisme aspek sosial dari Injil” (Sukacita Injil No. 88). Padahal menurut Paus Fransiskus, “Keluar dari diri kita sendiri dan bergabung dengan orang lain adalah sesuatu yang sehat bagi kita” (No. 87). Lalu pada alinea terakhir dikatakan bahwa “Dewasa ini kaum muda Katolik ditantang untuk
menemukan dan membagikan ‘mistik hidup bersama’”. Saya sengaja menutup kutipan dengan istilah “mistik hidup bersama”, dengan harapan, kaum muda – dan juga semua orang beriman – merenungkannya.”