HIDUPKATOLIK.com – Komisi Penghapusan Diskriminasi Rasial Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah dua kali memberi peringatan kepada Pemerintah Indonesia terkait kondisi kehidupan masyarakat adat Malind dan masyarakat adat yang lain di Merauke, Papua. Masyarakat adat ini dinilai mengalami dampak negatif akibat pengembangan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) pada Oktober 2013.
International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (ICERD) atau Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965 adalah konvensi internasional yang secara khusus ditetapkan PBB untuk menghapus berbagai bentuk diskriminasi ras yang masih terjadi dan diduga akan terjadi. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi ICERD pada 1999 dan telah ditetapkan dalam Undang-Undang No. 29/1999. Dalam perkembangan, Dewan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah RI mengeluarkan UUNo. 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis untuk melengkapi ICERD tersebut. Dalam UU itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) ditunjuk sebagai pengawas terhadap segala bentuk upaya penghapusan diskriminasi ras dan etnis di Indonesia.
Dari berbagai informasi, baik lisan maupun tertulis, sebagian masyarakat Papua masih kerap mengalami diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat dari luar Papua. “Laporan Hak Asasi Manusia di Papua 2013” yang diterbitkan The International Coalition for Papua (ICP) dan Franciscans International memaparkan bahwa pelanggaran HAM di Papua semakin meluas dan berkepanjangan, yang mencakup hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial dan budaya, serta hak-hak kelompok rentan seperti perempuan, anak-anak, dan masyarakat adat. Laporan tersebut mencatat, masyarakat adat Papua seringkali menjadi obyek tindakan diskriminatif polisi, jaksa, dan hakim, yang berdampak pemenuhan akses terhadap keadilan semakin sempit.
Senada dengan laporan tersebut, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam buku Papua Road Map (2009) mencatat empat permasalahan utama Papua. Pertama, marginalisasi dan diskriminasi terhadap masyarakat adat Kedua, kegagalan pendekatan dan paradigma pembangunan. Ketiga, tindak kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan negara. Keempat,sejarah dan status politik Papua. Berbagai solusi sudah diupayakan Pemerintah. Tapi sayang, solusi tersebut belum menyentuh inti persoalan, apalagi menyelesaikan.
Penyelesaian kasus di Tolikara pun semestinya melihat beragam persoalan yang selama ini melilit masyarakat Papua. Gereja Injili di Indonesia (GIDI) merupakan salah satu Gereja yang berpusat di Tolikara, di wilayah Pegunungan Maoke atau Pegunungan Tengah di Papua. GIDI yang bukan anggota Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), memiliki jaringan di berbagai tempat di Papua, dan wilayah Indonesia yang lain, bahkan di luar negeri. Saya memang belum pernah bertemu jemaat GIDI di Tolikara, tetapi mendapat kesan bahwa mereka juga masyarakat Papua yang terluka akibat tindakan diskriminatif dan pelanggaran HAM yang lain.
Saya tidak pernah mendukung kebijakan Gereja yang diskriminatif terhadap agama dan Gereja lain. Saya juga tidak mendukung sikap dan tindakan diskriminatif para pendatang, termasuk aparat penegak hukum terhadap masyarakat Papua. Dalam kasusTolikara, kita tidak dengan mudah menilai tindakan masyarakat Papua terhadap pendatang tanpa memperhitungkan kondisi dan perasaan mereka selama ini.
Dalam hal ini, Gereja Katolik meyakini bahwa manusia diciptakan Allah seturut citra-Nya. Manusia dikaruniai martabat yang luhur dan tinggi sekali, yakni menjadi ciptaan yang serupa dengan-Nya. Maka, sudah wajar jika Gereja Katolik ikut mendorong penghapusan tindakan dan sikap diskriminatif di seluruh dunia, terutama di Tolikara dan juga Papua. Karena, Papua adalah kita!
Sandra Moniaga