HIDUPKATOLIK.com – Imam Norbertine yang berkarya pada masa Revolusi Perancis ini melayani umat di bawah tanah. Risiko atas keberaniannya harus dibayar mahal: kepalanya dipenggal dengean guillotine.
Minggu, 13 Oktober 1793, menjadi hari terakhir bagi Pater Pierre Adrien Toulorge OPraem. Pada hari itu ia akan dieksekusi mati. Namun, tak ada perubahan terlihat dari dirinya. Ia bangun, sarapan dan berdoa brevir bersama kolega imamnya seperti biasa. Lalu, ia minta seorang tahanan memangkas rambut dan jenggotnya. Ketika sore tiba, ia meminta koleganya menemaninya berdoa vesper. Pada awal himne Mazmur, Pater Toulorge tiba-tiba menutup brevir dan berteriak penuh sukacita. “Teman-temanku terkasih, marilah kita berhenti di sini, karena aku akan segera menyanyikan himne ini di surga. Aku tak akan melupakan kalian. Aku mohon agar Tuhan menjagai kalian. Aku berdoa bagi semua dermawan, teman-teman, dan bahkan musuhku!”
Usai memberkati mereka, Pater Toulorge berjalan tenang menuju tempat eksekusi di depan rumah Walikota Coutances, Perancis. Ribuan orang sudah menyemut di sana. Banyak orang menangis dan bersedih menyaksikan Pater Toulorge melangkah tenang menuju panggung pembantaian. Suasana haru saat terdengar doa, “Ya Tuhan, kupasrahkan hidupku ke dalam tangan-Mu! Aku berdoa bagi pemulihan dan pelestarian Gereja-Mu. Maafkanlah musuh-musuhku.”
Tak lama doa berakhir dengan “Amin”, pisau guillotine meluncur dari atas, memisahkan kepala Pater Toulorge dengan badannya. Salah seorang eksekutor mengangkat kepala berlumur darah itu dan menunjukkannya kepada mereka yang hadir sambil berseru: “Inilah imammu!”
Memeluk Imamat
Eksekusi tragis itu mewarnai Revolusi Perancis (1789-1799). Kala itu musim gugur segera tiba tahun 1793, revolusi kian mengalami eskalasi, menjungkirbalikkan konsep dan pranata sosial, termasuk aspek keagamaan.
Gereja Katolik jelas terkena imbas gelombang revolusi. Pos-pos kekuasaan yang sebelumnya dikuasai Gereja mulai diambil alih negara. Berbagai kelompok anti-Gereja menjamur. Semua tarekat keagamaan dibubarkan melalui Konstitusi Sipil, 13 Februari 1790.
Biarawan-biarawati dipaksa hidup sebagai awam dan menikah. Namun, masih ada imam yang setia pada Gereja dan menolak aturan itu. Alhasil, mereka ditangkap dan dibuang dari Perancis, sebagian dihukum mati.
Situasi itu memunculkan keprihatinan menandas dalam hati nurani Pater Toulorge. Imam Norbertine ini tak kuasa lagi saban hari mendengar dan menyaksikan kisah penculikan dan pembunuhan para imam serta rakyat.
Pater Toulorge menolak konstitusi, yang jelas bertentangan dengan Gereja. Dalam konstitusi itu otoritas Paus atas Gereja Perancis tak diakui. Gereja tetap bertahan, meski kehadirannya ditolak dalam konstitusi. Lalu mencuatlah polemik di antara para imam. Ada imam prokonstitusi dan ada pula yang kontra.
Pater Toulorge tetap setia, “Saya dipanggil dan dipilih menjadi imam bukan kehendak konstitusi, melainkan kehendak Tuhan.” Ia memeluk sikap Paus Pius VI yang tegas menolak konstitusi Perancis. Sikap yang menjadikan Gereja di Perancis kian terisolasi. Selama pemerintahan teror, upaya dekristenisasi massif terjadi. Gereja dan ikon-ikon religius dirusak. Anak ketiga pasangan Julien Toulorge dan Julienne Hamel ini teguh, tak akan pernah mau menanggalkan imamatnya.
Tiap keputusan memuat konsekuensi. Imam kelahiran Muneville-le-Bingard, Perancis, 4 Mei 1757 itu pun ditangkap dan diasingkan. Bersama 500-an imam yang berkarya di Keuskupan Coutances (kini Keuskupan Coutances-Avranches), Pater Toulorge dibuang ke Pulau Anglo-Norman Jersey, Inggris.
Karya Bawah Tanah
Suatu hari, November 1792, diam-diam Pater Toulorge melarikan diri dari pengasingannya. Ia menumpang perahu dan berlabuh di Pantai Cotentin, Perancis. Di sinilah awal gerakan bawah tanah Gereja Perancis dimulai. Ia menyamar dari desa ke desa dan merayakan Misa secara sembunyi-sembunyi di rumah umat.
Kelompok antiklerikal naik pitam mendengar Pater Toulorge kabur. Mereka segera menyusun siasat guna menghentikan aksi sang imam. Banyak mata-mata disebar untuk memantau pergerakan dan keberadaan imam muda itu. Sebuah sayembara diumumkan, siapa saja yang memberi informasi atau bahkan menangkap Pater Toulorge akan diberi imbalan. Meski aral semakin banyak, pelayanannya justru kian gencar.
Pada 2 September 1793, Pater Toulorge mengunjungi kediaman biarawati yang dipaksa melepas habetnya di Desa Saint Nicolas de Pierrepont. Wanita ini menerimanya dengan gembira dan mengantarnya ke rumah keluarga Marotte Fosse. Harapannya, lebih aman di sana.
Pater Toulorge menyamar seperti wanita untuk menuju ke rumah keluarga Fosse. Ia mengenakan stocking dan sepatu hak tinggi. Sayang, penyamaran ini terbongkar. Ia sudah dicurigai beberapa pekerja yang sedari awal membuntutinya. Tergoda imbalan yang dijanjikan, mereka segera melaporkan keberadaan Pater Toulorge.
Akhirnya, rumah keluarga Fosse digeledah paksa. Pater Toulorge menyembunyikan diri di bawah tumpukan jerami. Beberapa bundel jerami sempat ditusuki dengan bayonet saat penggeledahan. Hingga mereka pun menemukan Pater Toulorge bersama barang bukti berupa jubah, piala, dan kasula.
Sederhana dan Saleh
Dua hari berselang, Pater Toulorge diadili di Carentan. Ia didakwa melarikan diri dari pengasingan. Namun, pengadilan tak punya bukti apapun atas dakwaan itu. Hakim pun ragu-ragu memutuskan perkaranya. Tak diduga, Pater Toulorge justru dengan berani mengisahkan pelariannya dari Jersey ke Perancis dan membuka identitasnya sebagai imam Katolik.
Diancam hukuman mati, Pater Toulorge diberi kesempatan banding, Namun Ia menolaknya. Ia memilih mati daripada menyangkal imamatnya. Maka ia pun divonis mati. Dengan tenang ia maju ke bawah pisau guillotine yang memenggal kepalanya. Jazadnya dikebumikan di pemakaman St Petrus Normandia, Perancis.
Pater Toulorge berasal dari keluarga sederhana, tapi bertradisi Katolik tulen. Ayahnya bekerja di peternakan sapi di Muneville le Bingard. Sedari kecil, ia dididik cinta pada sesama yang menderita dan tanah air.
Tak heran, Toulorge kecil sudah berniat menjadi imam. Ia belajar Bahasa Latin di parokinya, dan masuk Seminari Tinggi Keuskupan Coutances tahun 1776. Bapa Rohaninya, Pater François Lefranc, tertarik padanya. Meski studinya tak menonjol, kesalehannya sungguh luar biasa.
Terinspirasi spiritualitas kasih Santo Norbertus, ia memutuskan bergabung dengan Ordo Premonstratensian (OPraem). Formasi awal ia lakoni di Biara Norbertine Blanchelande. Tahun 1782, ia ditahbiskan sebagai imam dan diutus menemani Pater James Francis-Le Canut di Paroki Doville, paroki kecil yang umatnya kebanyakan tunawisma.
Selain latar hidupnya mulai digali, kisah heroismenya sebagai imam bawah tanah pun dikumpulkan. Inilah yang mendorong proses penggelaran kudus nya. Proses beatifikasi dibuka tahun 1922 bersama dengan 56 imam yang wafat selama Revolusi Perancis. Akhirnya, 5 Desember 2000, Takhta Suci mengesahkan dekrit kemartirannya. Baru 26 April 2012, Paus Benediktus XVI membeatifikasi martir dari Revolusi Perancis itu. Beatifikasi digelar di Keuskupan Coutances, Perancis, dipimpin Prefek Kongregasi Penggelaran Kudus, Kardinal Angelo Amato SDB.
Yusti H. Wuarmanuk