web page hit counter
Rabu, 18 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Ternyata Formula St Hormisdas, jadi Dasar Ajaran Paus Tidak Bisa Salah

5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Sebelum menjadi Paus, ia telah menikah. Seorang putranya juga menjadi Paus. Ia dikenal sebagai Paus yang berhasil menyelesaikan Skisma Laurentius dan Skisma Akasius.

Duka menyelimuti Kota Abadi. Paus Anastasius II mangkat pada 16 November 498. Ibarat makam Penerus Takhta Santo Petrus itu masih basah, tapi pertikaian berebut kekuasan dalam Tubuh Gereja Roma justru kian memanas. Muncul dua kubu pengusung calon pengganti Bapa Suci. Alhasil, Paus Symmachus (†514) terpilih sebagai pengganti sah mendiang Paus Anastasius II.

Jangan Lupa ini Trending Topik di HIDUPKATOLIK.COM:

1. KAJ dan Uskup Suharyo yang terkena HOAX

2. CATAT! Gereja Katolik Bukan Pendatang Baru di Tanah Air ini

3. Kumpulan Foto Screenshoot Hoax yang dialamatkan ke KAJ dan Uskup Suharyo

Sementara itu, satu kubu lagi tak puas. Mereka akhirnya mengangkat Laurentius (†506) sebagai paus tandingan. Gereja Barat pun terbelah. Pada waktu yang sama, ada dua Paus sekaligus; Paus Symmachus yang resmi dan Antipaus Laurentius. Peristiwa yang lazim disebut Skisma Laurentius ini mendapat perhatian khusus seorang diakon Roma. Berkat kegigihannya, kelompok Antipaus Laurentius dapat diberangus. Nama sang diakon itu adalah Hormisdas. Kelak dialah yang akan naik takhta menggantikan Paus Symmachus.

Paus Berputra Paus
Hormisdas lahir dari keluarga kaya dan terpandang dari darah bangsawan Frosinone, Campagna di Roma (kini termasuk daerah Lazio, Italia). Kapan ia lahir tidak diketahui. Pada masa mudanya, ia menikah dan dikaruniai beberapa anak. Salah satu putranya, Silverius (†537), kelak menjadi Paus. Baik Hormisdas maupun Silverius I, dua Paus ini masuk dalam bilangan para Paus kudus dalam Gereja Katolik.

Setelah sekian lama membangun biduk rumah tangga, Hormisdas tiba-tiba merasa terpanggil untuk menjalani hidup sebagai religius. Ia akhirnya menjadi Diakon Roma pada masa Paus Symmachus.

Diakon Hormisdas termasuk lingkaran dekat orang-orang kepercayaan Paus Symmachus. Ia begitu gigih membela Takhta Suci dari serangan Antipaus Laurentius. Sebagai tangan kanan Paus, Hormisdas didaulat untuk mengambil peran penting sebagai perumus dalam Sinode Roma tahun 502, guna menyelesaikan Skisma Laurentius. Dengan cepat, nama Diakon Hormisdas melambung, menempatkan dirinya menjadi calon kuat pengganti Paus Symmachus.

Setelah Paus Symmachus wafat pada 19 Juli 514, Hormisdas pun terpilih sebagai penggantinya. Terhitung sejak 20 Juli 514, Paus Hormisdas naik takhta dan mulai memerintah Gereja Roma. Sama sekali tidak ada kasak-kusuk dari pihak manapun mengenai pengangkatannya tersebut. Pemilihannya berjalan mulus. Langkah pertama yang ia tempuh sebagai Paus adalah menyelesaikan Skisma Laurentius (498-506). Semua pengikut Antipaus Laurentius yang bertobat segera dirangkul kembali dalam pangkuan Gereja Roma. Dualisme kepemimpinan dalam Gereja pun berakhir.

Skisma Akasius
Selain Skisma Laurentius, Gereja Barat juga sedang dililit perselisihan mengenai ajaran iman dengan Gereja Timur. Selama lebih dari tiga dasawarsa, Gereja Roma mengalami gesekan dengan Gereja Yunani; pun dengan Kekaisaran Bizantium. Hal ini juga sudah menjadi perhatian khusus Paus Hormisdas sejak awal kepausannya. Inilah yang disebuat Skisma Akasius (484-519) antara Roma dengan Konstantinopel.

Skisma Akasius bermula sejak tahun 482. Kala itu, Patriark Konstantinopel, Akasius (†489) dan Kaisar Bizantium, Zeno (425-491) berusaha untuk menyelesaikan persoalan bidaah Monofisitisme. Maka dipromulgasikanlah “deklarasi iman” yang disebut “Henotikon” ‘formula untuk kesatuan’. Secara terang-terangan, Patriark Akasius mendukung “Henotikon”. Dekrit itu dibuat untuk mendamaikan Gereja dan Bidaah Monofisitisme. Monofisitisme adalah bidaah yang mengajarkan bahwa Yesus hanya memiliki satu kodrat, yakni kodrat ilahi. Sementara itu, Gereja Katolik berdasarkan Konsili Efesus (431) dan Konsili Khalsedon (451) mengajarkan bahwa Yesus mempunyai dua kodrat, ilahi dan manusiawi. Dua kodrat ini tidak saling tercampur dan juga tidak dapat dipisahkan.

Tindakan Patriark Akasius dan Kaisar Zeno tersebut dinilai sangat membahayakan iman oleh Takhta Suci. Maka tahun 484, Paus Feliks III (†492) segera menanggapinya dengan mengekskomunikasi Patriark Akasius dan Kaisar Zeno. Sejak keputusan ekskomunikasi itulah Gereja Yunani tidak lagi bersekutu penuh dengan Gereja Katolik Roma.

Pada masa Paus Hormisdas, Kaisar Anastasius I Dicorus (431-518), penerus Zeno, sangat mendukung “Henotikon” yang diterbitkan pendahulunya. Semakin hari, kebijakannya justru semakin condong mendukung Monofisitisme.

Namun, banyak pihak masih menginginkan persekutuan penuh dalam pangkuan Gereja Roma. Gelombang massa ini mendesak Kaisar Anastasius I Dicorus untuk membuka komunikasi dan dialog dengan Paus Hormisdas di Roma.

Formula Hormisdas
Selama dua tahun, proses komunikasi dan dialog berusaha dibuka dan dibangun antara Roma dengan Konstantinopel. Alih-alih persoalan selesai, aneka persoalan baru justru bermunculan.

Secara membabi-buta, Kaisar Anastasius I Dicorus melengserkan, menganiaya dan membunuhi para Uskup yang tidak mau menolak Konsili Khalsedon. Bahkan, ia melengserkan tiga patriark Orthodoks sekaligus; Patriark Konstantinopel, Macedonius II (†517); Patriark Yerusalem, Elias I (†518), dan Patriark Antiokhia, Flavianus II (†518).

Dalam kondisi penganiayaan itu, para Uskup Gereja Timur tak henti meminta bantuan Roma. Sejak zaman Paus Symmachus, mereka berusaha berkomunikasi dan memperkuat relasi dengan Roma. Mereka berharap, Roma dapat memperkuat cengkeraman dan sengat yurisdiksinya di wilayah Timur agar Monofisitisme yang kian merajalela dapat segera dituntaskan.

Usai Kaisar Anastasius I Dicorus meninggal tahun 518, seorang kaisar yang berhubungan dekat dengan Gereja Yunani naik takhta menggantikannya, yakni Kaisar Justinus I (450-527). Melihat latar belakang sang kaisar, bersemilah harapan bahwa perpecahan antara Gereja Barat dan Gereja Timur ini akan bisa diakhiri.

Melihat situasi tersebut, Paus Hormisdas lalu mengirimkan delegasi ke Konstantinopel. Tujuannya, mereka diminta untuk bersama-sama menolak dengan tegas kebijakan yang sudah dikeluarkan oleh Patriark Akasius, Kaisar Zeno dan Kaisar Anastasius I Dicorus. Para utusan Paus itu juga membawa “Formula Hormisdas” yang menyatakan bahwa Takhta Apostolik tidak pernah salah dalam hal Doktrin (Ajaran Iman). Selain itu, Gereja Timur harus selalu meminta persetujuan Roma untuk segala sesuatu yang terkait dengan doktrin dan ajaran iman. Keputusan Gereja Roma adalah sesuatu yang final untuk diberlakukan dalam Gereja Orthodoks. “Formula Hormisdas” ini disebarluaskan di Timur dan dengan cepat diterima oleh mayoritas Uskup. Semua tokoh dan pengikut “Henotikon” dan Monofisitisme dikutuk oleh Paus.

Dasar Infalibilitas Paus
Pada Kamis Putih, 28 Maret 519, rekonsiliasi Gereja Timur dengan Gereja Barat dirayakan secara meriah di Konstantinopel. Beberapa abad sesudahnya, “Formula Hormisdas” sering dikutip sebagai bukti bahwa otoritas yurisdiksi Takhta Suci dapat menentukan standar doktrin mengenai iman Kristiani untuk seluruh Gereja, termasuk supremasi Roma terhadap Gereja-gereja Timur dalam hal doktrin dan ajaran iman. Pada masa Paus Pius IX (1857-1939), Konsili Vatikan I (1869-1870) merujuk “Formula Hormisdas” sebagai salah satu basis perumusan ajaran mengenai infalibilitas Paus.

Setelah menyelesaikan Skisma Akasius, Paus Hormisdas memerintahkan untuk membuat terjemahan Latin dari kanon Gereja Yunani. Ia juga berkorespondensi dengan beberapa Uskup di belahan Eropa Barat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan gerejani dan memberikan nasihat tentang pengelolaan administrasi Gereja. Selama bertakhta, Paus Hormisdas dapat membangun relasi yang baik dengan Raja Theodorik Agung (454-526), cikal bakal penguasa Italia dari Dinasti Ostrogoth (493-553). Ia mendapat dukungan penuh Raja Theodorik. Paus Hormisdas wafat dengan tenang di Roma, 6 Agustus 523. Jasadnya di semayamkan di Basilika St Petrus. Karena jasa-jasanya yang besar terhadap Gereja dan kesalehan hidupnya, ia dihormati sebagai orang kudus dalam Gereja Katolik maupun Orthodoks. Gereja Katolik mengenangkan tiap 6 Agustus.

R.B.E. Agung Nugroho

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles