HIDUPKATOLIK.com - Indonesia mampu merawat keberagaman agamanya. Vatikan dan Komunitas Sant’Egidio menilai Pancasila sangat penting.
DIREKTUR Wahid Institute, Yenny Wahid dan Sekjen Muhammadiyah, Abdul Mu’ti hadir di Vatikan, Rabu, 24/5. Mereka menjadi pembicara dalam seminar sekaligus dialog antaragama bertema “Managing Religious Plurality in Indonesia during the Reform Eraâ€. Acara ini diselenggarakan KBRI Vatikan untuk mempromosikan nilai-nilai keberagaman dan aneka pengalaman berbangsa. Hj. Johana Irma Betaubun, aktivis asal Maluku yang tengah melanjutkan studinya di Roma juga menjadi pembicara.
Dubes Indonesia untuk Vatikan, Agus Sriyono mengatakan, seminar ini menjadi forum bertukar pandangan dan memperluas perspektif tentang bagaimana pengalaman kontribusi Indonesia untuk pengelolaan keberagaman agama dalam konteks internasional. Relevansinya, menanggapi situasi dunia saat ini di mana intoleransi dan tensi hubungan antaragama kian meningkat, serta arus imigrasi terjadi dalam skala besar.
Presiden Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama, Kardinal Jean-Louis Pierre Tauran menyebut Indonesia sebagai negara yang cinta damai meskipun masyarakatnya plural. Di samping itu, kata Kardinal yang pernah berkunjung ke Indonesia awal tahun 2000-an ini, Indonesia punya Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara untuk hidup dalam damai dan harmoni.
Untuk menghentikan kekerasan atas nama agama, lanjut Kardinal Tauran, generasi muda harus dipersiapkan untuk lebih dewasa dalam melihat situasi yang ada. “Di sinilah kontribusi dan peran penting pemuka agama dalam mempromosikan nilai-nilai perdamaian dan harmoni.â€
Senada dengan itu, Presiden Komunitas Sant’Egidio, Marco Impagliazzo melihat agama dapat memainkan peran yang sangat penting untuk meredam tensi yang kerap muncul. Menurutnya, Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal terutama terkait dengan kebebasan beragama karena dijamin oleh peraturan pemerintah. Untuk itu, Pancasila mesti dipertahankan.
Impagliazzo sangat mengapresiasi kehadiran Yenni, Mu’ti, dan Irma. Ia menilai, spirit mereka sangat dekat dengan spiritualitas Sant’Egidio dalam dialog dan budaya perjumpaan. “Seminar ini sangat penting bagi Eropa yang menghadapi fenomena imigrasi,†katanya.
Yenny Wahid menjelaskan, dalam mengelola keberagaman agama, Indonesia memiliki Pancasila sebagai dasar negara yang menyatukan seluruh lapisan masyarakat Indonesia dan TLC (tolerance, leadership, constitution). Dengan adanya toleransi antarumat beragama, kepemimpinan yang baik, dan peraturan yang menjamin kebebasan beragama, masyarakat Indonesia akan hidup dalam harmoni.
Abdul Mu’ti menyebut lima poin vital dalam keberagaman agama. Lima hal itu adalah penerimaan, saling menghargai, kebebasan menjalankan ritual agama, keadilan yang dijamin oleh pemerintah, dan membangun pemahaman antaragama melalui dialog. Sementara Hj. Yohana yang mengalami langsung konflik Ambon tahun 1998, menyebut konflik antaragama dapat diselesaikan dengan melibatkan peran perempuan, media massa dan “membiarkan konflikâ€. Yang dimaksud dengan “membiarkan konflik†adalah strategi membiarkan konflik terus berlangsung hingga pihak yang bertikai “lelah†dan tidak melanjutkan aksi kekerasan.
Edward Wirawan
Laporan: Leonardo Tranggono (Vatikan)