HIDUPKATOLIK.com – MASYARAKAT Indonesia harus berterima kasih kepada pemerintahan Joko Widodo yang telah mengeluarkan penetapan Peringatan Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni. Dengan penetapan inilah, secara bersama-sama setiap tahun setidaknya rakyat Indonesia diingatkan kembali keberadaan Pancasila sebagai ideologi, dasar negara dan pandangan hidup bangsa, yang tidak boleh digantikan dengan ideologi lain.
Namun diingatkan bahwa tugas semua komponen bangsa Indonesia sebagai masyarakat adalah membantu dan bekerjasama pemerintah mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bangsa Indonesia. Langkah ini dapat dimulai dengan menghilangkan sekat-sekat solidaritas yang selama ini selalu dipolitisir oleh golongan tertentu.
Demikian ditegaskan Ketua PW GP ANSOR Kepulauan Bangka Belitung, Masmuni Mahatma kepada media terkait dengan peringatan hari lahir Pancasila, di Jakarta, Kamis, 1/6.
“Kita harus dengan rendah hati berterima kasih kepada Presiden Joko Widodo karena terobosan berani untuk menerbangkan kembali Garuda Pancasila menjadi pelindung tanah air yang kita pijak ini. Selama ini kita semua diam termasuk para pemimpin bangsa bahkan para penegak hukum atas segala upaya yang dilakukan golongan tertentu yang ingin menghapuskan Pancasila dengan ideologi lain. Momentum ini tidak boleh melenakan kita semua tetapi justru harus menjadi cambuk untuk mempercepat terbangnya Garuda Pancasila,†tegas Masmuni Mahatma.
Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Syeikh Abdurrahman Siddik (STAIN SAS), Bangka ini mengingatkan bahwa cara cepat “menerbangkan†kembali Garuda Pancasila adalah dengan membangun keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Tanpa keadilan dan kesejahteraan, demikian Masmuni menjelaskan lebih lanjut, Pancasila tidak ada artinya.
“Agama harus menjadi sarana atau jalan menuju dan mewujudkan kesejahteraan serta keadilan secara riil dan bukan hanya sekedar jargon politik. Para pemimpin agama dan bangsa harus mewujudkan keadilan dan kesejahteraan umat atau rakyatnya dengan kerja nyata dan bukan menyuruh umatnya sedikit-sedikit berdemo di jalanan dengan egoisme dan sentimen berbau SARA. Lupakan saja pemimpin agama yang hanya bisa berkhotbah tetapi sesungguhnya belum bisa memberi kesejahteraan kepada umatnya,†ujar pria berdarah Madura ini.
Bagi Masmuni, yang saat ini sedang menempuh pendidikan Strata tiga di Program Studi Religius Studies (RS) di UIN Sunan Gunung Jati, Bandung, ini kesejahteraan hanya mungkin tercapai ketika masyarakat bersikap adil terhadap masyarakat lain apapun latar belakangnya serta tanpa harus membangun sekat-sekat solidaritas. Sekat-sekat solidaritas terbangun untuk menutupi para pemimpin agama yang tidak mampu mewujudkan kesejahteraan berdasarkan keadilan, namun terindikasi cenderung memperkaya diri sendiri saja. Sehingga, isu yang digunakan para pemimpin agama seperti itu adalah perbedaan agama, ras, suku dan kepentingan golongan atau kelompok.
Oleh karena itu, Masmuni Mahatma kemudian mendorong semua elemen masyarakat untuk memulai bekerja nyata, membuka pikiran seluas-luasnya atas perubahan yang terjadi dalam zaman globalisasi serta berpikir positif dari dan untuk dinamika politik yang terjadi saat ini.
“Bangsa Indonesia harus bangkit dan jangan membiarkan diri menjadi pecundang. Ketika orang lain bicara soal angkasa luar dan perang proksi (Proxy War), kita malah bicara soal agama siapa yang paling benar. Lalu, mencoba menghapus budaya Indonesia yang ada dalam Pancasila dan mengganti dengan budaya bangsa lain. Kita semua harus mendukung pemerintahan Joko Widodo untuk menghapus korupsi dan membangun usaha yang berkeadilan,†tegas Masmuni yang sedang fokus menulis disertasi berjudul “Religiusitas Calon Imam Katolik.â€
Putut Prabantoro