HIDUPKATOLIK.com – TANPA terkecuali, warga negara Indonesia apapun agama, suku, ras dan golonganya harus merawat komitmen kebangsaan. Tanpa adanya komitmen itu, sebagai bangsa, Indonesia akan terus berada dalam situasi kacau dan galau serta karut marut. Langkah utama yang harus diambil adalah, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika harus menjadi falsafah hidup bangsa Indonesia. Bangsa ini juga tidak boleh membiarkan nilai-nilai yang bertentangan dengan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika tumbuh subur.
Demikian ditegaskan oleh Ketua Umum Presidium Pusat Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (PP ISKA), Hargo Mandirahardjo, dalam pernyataannya tentang peringatan Hari Kebangkitan Nasional, di Jakarta, Jumat, 19/5.
“Dasar Negara Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai falsafah hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus senantiasa dirawat. Kedua falsafah hidup bangsa itu harus dirawat dengan komitmen dan sekaligus kita harus memiliki komitmen untuk merawat. Itu adalah warisan yang tidak boleh dijual ataupun ditukar dengan nilai apapun. Karena begitu Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dapat ditukar ataupun dijual dengan nilai yang lain, yang namanya Indonesia sebagai bangsa akan hilang dan kembali terpecah belah,†tegasnya.
Menurut Hargo, peringatan Kebangkitan Nasional pada 2017 menemukan momentumnya setelah bangsa Indonesia secara langsung ataupun tidak langsung terbelah karena dinamika Pilkada DKI Jakarta serta dibubarkannya kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
“Semua warga negara apapun suku, agama, ras dan golongannya memiliki hak yang sama untuk hidup di Indonesia. Tidak ada kelompok mayoritas yang lebih memiliki hak ataupun minoritas yang boleh diabaikan haknya dalam Pancasila. Ketika kepercayaan menjadi faktor penentu nilai mayoritas dan minoritas, faktor ini kemudian akan diikuti dengan suku mayoritas dan minoritas, ataupun golongan mayoritas ataupun minoritas. Kekuatan Pancasila sebagai dasar negara menjadi jelas ketika baik kelompok mayoritas dan minoritas menjadi satu bangsa. Nilai Kebangsaan Indonesia terletak pada Bhinneka Tunggal Ika dan bukan azas yang lain,†ujar Hargo lebih lanjut.
Bangsa Indonesia, demikian dijelaskan lebih lanjut oleh Ketum PP ISKA itu, tidak mungkin menjadi bangsa besar ataupun kuat dan kemudian mampu memenangi Perang Generasi Ke-IV (The Fourth Generation Warfare) atau sering disebut Proxy War jika cara berpikirnya masih berlandaskan nilai mayoritas dan minoritas. Di setiap pikiran warga negara Indonesia harus ada yang namanya “Bangsa Yang Besar dan Kuat†dan ditakdirkan untuk memenangkan perang tersebut.
Perang Generasi Ke-IV diawali dengan adanya pengaburan garis antara perang dan politik, tentara dan sipil, sehingga sulit menentukan metode perang yang akan digunakan. Dalam perang ini, perbedaan antara situasi perang dan situasi damai menjadi kabur. Sehingga, akan sulit membedakan antara pasukan militer dan sipil. Aksi-aksi dapat dilakukan secara serentak dan diam-diam dengan menggunakan ekonomi, pendidikan ataupun budaya. Oleh karena itu, Perang Generasi Ke-IV ini bukanlah perang senjata super canggih (hard power) tetapi justru menemukan bentuk baru dengan menyerang kelemahan pihak musuh (bangsa). Ciri utama Perang Generasi Ke-IV adalah menurunnya loyalitas terhadap negara dan sebagai gantinya adalah meningkatnya loyalitas alternatif, seperti kepada agama, suku, etnis, geng, kelompok atau ideologi tertentu.
“Hanya dengan merawat komitmen kebangsaan, Indonesia dapat memenangkan perang ini. Negara ini aslinya merupakan pinjaman dari generasi mendatang yakni anak cucu kita. Jika saat ini, kita tidak dapat menjamin bahwa Tanah Air dan Negara Indonesia dengan segala kekayaannya adalah milik generasi mendatang, artinya, kita semua adalah para pihak yang berada dalam Perang Generasi Ke-IV itu. Yang akan memenangkan perang itu bukan bangsa Indonesia tetapi bangsa Asing yang menggunakan diri kita sebagai alatnya,†tegas Hargo.
Putut Prabantoro