HIDUPKATOLIK.COM-DALAM iman Kristen, hukum cinta kasih menjadi hukum yang diyakini seluruh umat sebagai hukum pertama dan terutama. Hukum kasih ini mencakup perintah mengasihi Allah dan sesama. Maka bila mencintai Tuhan, cinta itu harus ditunjukkan dengan cinta terhadap sesama. Hukum kasih adalah inti ajaran Yesus dan dimengerti sebagai hukum baru, yaitu hukum Injil sebagai kepenuhan dan penggenapan Hukum Allah.
Sayangnya, hukum kasih ini masih bersifat vertikal kepada Allah. Bila hukum ini bersifat horisontal hanya berlaku antar umat yang seagama. Konsekwensinya hukum balas dendam, hukum penolakan terhadap yang berbeda menjadi hukum utama saat ini. Peralihan hukum kasih menjadi hukum balas dendam mungkin saat ini dialami Bangsa Indonesia.
“Kita ampuni orangnya, meski kita tolak perbuatannya. Kita harus memutuskan mata rantai balas-membalas. Terhadap kelompok-kelompok intoleran, umat Kristen dan umat beriman secara luas, pantang berpikir untuk memberikan pembalasan, termasuk kepada kelompok radikal.†Demikian pernyataan Kardinal Mgr Julius Riyadi Darmaatmadja SJ dalam Seminar Nasional bertema “Merajut Persaudaraan, Mengikis Sikap Intoleransi†yang digelar di Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Selasa, 16/5.
Kardinal Julius melanjutkan bila berpedoman pada hukum kasih maka jalinan persaudaraan antaragama harus menjadi inklusif. Ia mengutip kata-kata Yesus dalam Injil Yohanes, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.†Pesan Yesus ini, kata Kardinal Julius, tak lain agar umat manusia harus merasa sesamanya adalah perwujudan Tuhan di dunia. “Atas dasar ini manusia tidak punya alasan untuk saling menyakiti meski hidup dalam perbedaan keyakinan, suku, budaya, dan bahasa,†tegas Kardinal Julius.
Menanggapi Hukum Kasih ini, tokoh Muhammadiyah, Buya Syafii Maarif menyebutkan pernyataan Kardinal Julius sangat Islami, bahkan dirinya mengakui sulit melaksanakan ajaran cinta-kasih di era yang serba-sumbu pendek (situasi yang abnormal, Red) ini. “Saya terenyuh, batin saya bergetar, yang disampaikan Kardinal seperti suara seorang Muslim yang belum terkontaminasi. Sementara orang Islam sumbu pendek telah membuang saya dari kelompok Islam. Kalau saya tidak kenal Alquran, maka saya pasti enggan menjadi Muslim. Tetapi Alquran yang rahmatin lil alamin tetap meneguhkan saya,†ujar Buya Syafii.
Dalam pemaparannya, pria kelahiran Sumpurkudus, Sijunjung, Sumatera Barat, 31 Mei 1953 ini mengatakan radikalisme muncul sebagai ungkapan ketidakmampuan dari kelompok-kelompok masyarakat, khususnya di tanah Arab dalam mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. “Masyarakat Arab yang masih normal atau bersumbu panjang, banyak yang memilih pergi meninggalkan tanah kelahirannya, karena tidak tahan dengan situasi politik di negaranya. Mereka justru pergi ke negara-negara yang bukan mayoritas Muslim, untuk mendapatkan kedamaian,†ucap Buya.
Tetapi situasi ini disalah tafsirkan oleh orang Indonesia. Celakanya semua hal yang berbau Arab, dianggap suci dan pasti bagus. “Bagaimana dengan tragedi Boko Haram dan ISIS? Manisfestasi dari Islam menjadi jauh berbeda. Bahkan yang menjadi pertanyaan, mengapa ISIS tidak menyerang Israel jika mereka memang menjalankan misi Islami. Saya bertanya-tanya, apa sebenarnya ISIS itu? Justu sesama Muslim yang diserang, sementara Israel tidak menjadi target. Lalu apa mereka itu, sementara orang Indonesia, banyak yang mengagumi ISIS,†ujarnya.
Pada kesempatan itu, Syafii Ma’arif menyatakan kelompok-kelompok yang tersingkir dari tanah Arab atau sudah kehabisan napas, justru dibawa ke Indonesia dan diterima dengan terbuka. “Mudah-mudahan ini bersifat sementara. Saya pikir, itu hanya orang-orang pinggir jalan yang gagal memahami agamanya secara tulus,†tegas Buya. Ia juga menyayangkan di tengah maraknya intoleransi, kelompok masyarakat Indonesia yang terdidik dari perguruan tinggi, justru tidak bersuara. “Mana suara para rektor universitas negeri terkemuka di negeri ini. Mengapa berdiam diri,†tanya Buya.
Editor : Yusti H. Wuarmanuk