HIDUPKATOLIK.com -Â Minggu Paskah V: Kis 6:1-7; Mzm 33:1-2,4-5,18-19; 1Ptr 2:4-9; Yoh 14:1-12
DALAM pemilihan tujuh orang untuk melayani orang miskin, yang kemudian disebut diakon, seperti tertulis dalam Kis 6:1-6, ada kriteria yang harus dipenuhi: terkenal baik, penuh Roh, dan hikmat. Kriteria itu amat mendasar untuk menilai seseorang itu baik di hadapan sesama dan Allah. Kriteria itu juga sebagai bahan renungan setiap orang beriman agar berkenan di hadapan Allah, disukai sesama, dan mampu menjadi saksi iman di tengah masyarakat.
Terkenal baik berhubungan erat dengan sikap, tindakan, dan perilaku yang bisa dililihat, diamati, dirasakan manfaatnya; bukan tersembunyi atau sebatas mahir berbicara tentang kebaikan. Bagi orang Kristiani Yesuslah teladan sempurna tentang itu. Ia bukan hanya berbicara dan mengajarkan kebaikan, tetapi melakukannya seperti tergambar dalam Injil dan kesaksian para murid. Kebaikan-Nya bisa dirumuskan seperti berkeliling berbuat baik, melayani, menyembuhkan (Kis 10:38), dan berpuncak pada penyerahan nyawa (diri) secara utuh dan penuh demi
keselamatan banyak orang (bdk. Mrk 15:41). Setiap pengikut-Nya dipanggil untuk bertumbuh dan berkembang semakin menyerupai Dia. Untuk itu diperlukan pendidikan dan pendampingan yang benar, khususnya bagi anak dan remaja.
Sayangnya banyak anak di sekolah, rumah, didorong dan dididik ke arah lain yang dianggap baik, padahal sebenarnya tidak tepat. Perkembangan anak yang baik sering dinilai dari perkembangan intelektualnya, bahkan lebih sempit dari nilai rapor di sekolah. Ketika mencapai nilai tinggi, apalagi ranking atas, orangtua merasa puas. Sebaliknya, orangtua kecewa ketika nilai rapor anaknya dianggap kurang tinggi seperti yang diharapkan.
Pandangan semacam itu rupanya dianut semakin banyak orang sehingga banyak anak menjadi “korban†keinginan atau ambisi orangtua. Kalau dipaksakan akan ada hambatan untuk menjadi orang baik. Ada kisah seorang bapak yang dua anaknya bersekolah di Ronald Reagan Elementary School, Bakersfield, USA. Saat menerima rapor anaknya dengan nilai sangat baik, bapak itu heran karena di rapor tak tercantum ranking. Ia bertanya kepada seorang guru yang ditemuinya. Guru itu balik bertanya mengapa menanyakan ranking dan menjelaskan di sekolah tingkat dasar tidak ada ranking supaya tak ada kompetisi. Yang lebih penting adalah kerja sama dan bekerja dalam tim, kecepatan bersosialisasi, dan kemampuan beradaptasi serta banyak teman.
Orangtua murid itu pun berefleksi mengenai pendidikan di negeri ini yang menekankan kompetisi. Dengan bangga menceritakan kepada teman dan kenalannya. Tanpa disadari, di kemudian hari anak-anak tumbuh menjadi orang yang mementingkan kompetisi, sehingga lupa kerja sama. Orang lain dipandang sebagai saingan, bahkan musuh. Kecenderungannya mengagungkan diri, melihat dan mengungkapkan kekurangan sesama, dan melihat sesama harus dikalahkan. Jika seperti itu, bagaimana kelak ketika dewasa bisa menjadi yang dikenal baik.
Bagi orang Kristiani hidup yang baik mesti nampak dalam sikap terbuka, mau berbagi, dan berkorban bagi kepentingan sesama. Sedangkan berhikmat atau berkebijaksanaan berarti mempertimbangkan segala faktor secara mendalam sebelum bertindak. Tindakannya berdasarkan pertimbangan akal budi atau logika. Tindakan yang hanya berdasarkan perasaan yang timbul spontan atau pertimbangan akal budi, sering dianggap benar. Padahal itu kerap tidak tepat sehinggga muncul efek negatif yang tak terduga.
Bagi orang kristiani masih ada satu dasar utama bertindak atau mengambil keputusan yaitu peran Roh Kudus. Karunia-Nya yang dicurahkgan kepada setiap orang ketika dibaptis dan melalui Sakramen Krisma. Pentinglah membuka pikiran dan hati seluas-luasnya bagi karya Roh Kudus sehingga Roh Kudus dapat berkarya efektif. Diri yang dipenuhi pertimbangan akal budi semata mengabaikan peran Roh Kudus. Di sinilah pentingnya berdoa sebelum bertindak atau mengambil keputusan, seperti dilakukan oleh para murid ketika hendak memilih sejumlah orang menjadi diakon. Setiap orang kristiani dipanggil untuk berkembang menuju ketiga kriteria itu, sehingga semakin berkenan pada Allah dan disukai sesama karena iman, kebijaksanaan, dan kebaikannya.
Mgr Yustinus Harjosusanto MSF