HIDUPKATOLIK.com – Orang-orang muda dari berbagai latar belakang agama, yang tergabung dalam gerakan Solidaritas Kemanusian untuk Korban Perdagangan Orang mencoba, mengungkap fakta perdaganan orang untuk menjadi TKI/TKW. Kasus-kasus yang mereka ungkap di sini terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Mereka menuntut pemerintah daerah NTT untuk serius menangani kasus perdagangan orang ini. Walaupun sejak 2014 data Bareskrim Polri menetapkan Propinsi NTT sebagai “Daerah Human Trafficking†seharusnya pemerintah NTT lebih serius menyelesaikan kasus Tindak Pidana Perdangan Orang (TPPO). Setiap tahun, pergerakan jumlah TKI asal NTT yang menjadi korban perdagangan orang, meregang nyawa di tempat mencari nafkah meningkat tajam.
Di tahun 2015 BP3TKI mencatat ada 29 orang TKI meninggal di wilayah penempatan kerja. Sedangkan data Jaringan Kerja Aliansi Menolak Perdagangan Orang atau AMPERA pada 2016 mencatat ada 53 orang TKI yang meninggal dunia. Sementara pada 2017, dalam kurun waktu Januari-Februari sudah 18 orang TKI yang meninggal dunia dan 90% meninggal di Malaysia.
Terdapat 15 Kabupaten yang menjadi kantong TKI yaitu Timor Tengah Selatan, Kupang, Belu, Timor Tengah Utara, Malaka, Sumba Barat Daya, Sumba Barat, Sabu Rajua, Rote Ndao, Sikka, Flores Timur, Nagakeo, Ende dan Manggarai Timur.
Jika ditelisik data dari Solidaritas Kemanusiaan untuk Korban Perdagangan Orang usia keberangkatan para TKI/TKW berkisar 14-18 tahun sebanyak 19% dan mayoritas berlatar belakang pendidikan SD ada 14 %. Sedangkan perbandingan prosentase laki-laki dan perempuan adalah 69% Tenaga Kerja Wanita atau TKW yang keluar NTT dibandingkan laki-laki hanya 31%.
Hal ini membuktikan bahwa semakin banyak perempuan dikirim keluar negeri maka semakin besar peluang mereka terjerat dalam perdagangan orang dan pada akhirnya NTT akan kehilangan “kehidupan†atau hilangnya generasi dari rahim perempuan.
Steve Elu