HIDUPKATOLIK.com -Â Minggu Biasa VII: Im 19:1-2,17-18; Mzm 103:1-2,3-4,8,10,12-13; 1Kor 3:16-23; Mat 5:38-48
SEBELUM mengakhiri 2016, bangsa Indonesia dikejutkan oleh perampokan disertai pembunuhan di rumah Dodi Triono di Pulomas Utara, Jakarta Timur. Sebelas orang disekap dalam sebuah ruangan sempit, enam orang di antaranya meninggal karena kehabisan oksigen dan lima orang selamat.
Kita harus mengakui kekerasan semakin mewarnai dunia. Perang berkecamuk di mana-mana. Ledakan bom terjadi di mana-mana. “Kekerasan dengan pelbagai macam dan tingkatan menyebabkan penderitaan yang besar: perang di pelbagai negara dan benua, terorisme, kejahatan yang terorganisir dan tindakan kekerasan yang tak dapat dibayangkan†(Message of His Holiness Pope Francis for the Celebration of the Fiftieth World Day of Peace, 1 Januari 2017 no. 2).
Kekerasan tak dapat disembuhkan dengan kekerasan. Kekerasan hanyalah mengantar kepada kematian banyak orang, baik secara fisik maupun rohani. Hanya dengan kasih, seperti diajarkan Yesus Kristus, atau tindakan tanpa kekerasan secara aktif, kekerasan yang merusak dunia dapat disembuhkan. Yesus meminta kita, para murid-Nya agar mengesampingkan hukum balas dendam atau hukum kekerasan. “Kamu telah mendengar firman: mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi, Aku berkata kepadamu: janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu†(Mat 5:38-39).
Yesus menghendaki cinta kasih, tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. “Kamu telah mendengarfirman: kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi, Aku berkata kepadamu: kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu†(Mat 5:43-44). Apa yang dikatakan Yesus sejalan dengan yang dikatakan Tuhan kepada Musa, “Jangan engkau menuntut balas dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah Tuhan†(Im 19:18).
Yesus terus-menerus mewartakan cinta Allah tanpa syarat. Cinta itu sifatnya menyambut dan mengampuni. Yesus mengajar murid-murid-Nya untuk mencintai musuh. Yesus menghentikan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang melempar batu kepada seorang wanita yang kedapatan berbuat zinah (bdk. Yoh 8:1-11). Pada malam sebelum wafat, Yesus mengatakan kepada Petrus untuk menyarungkan pedangnya (bdk. Mat 26:52). Yesus menonjolkan jalan tanpa kekerasan. Yesus mengikuti jalan ini sampai wafat di kayu salib. Di sana, Ia menjadi damai kita dan mengakhiri permusuhan (bdk. Ef 2:14-16).
Siapa saja yang mengambil jalan Yesus ini, orang itu menjadi alat perdamaian. Allah adalah kasih. Allah adalah damai sejahtera. Kita Gereja sebagai Bait Allah haruslah menjadi pembawa kasih, penyembuh penyakit kekerasan seperti Allah, bukan pembawa kekerasan dan balas dendam.
Jalan tanpa kekerasan atau jalan kasih menurut Paus Benediktus XVI bukanlah sikap taktis, tetapi cara berada seseorang, sikap seseorang yang yakin akan cinta dan kuasa Allah untuk tidak takut mengalahkan kejahatan dengan senjata cinta dan kebenaran semata. Cinta kepada musuh merupakan revolusi Kristiani (bdk. Benedict XVI, Angelus, 18 Februari 2007).
Tidak jarang bertindak secara tak keras diartikan menyerah, kurang keterlibatan, atau bersifat pasif. Pengertian ini tidaklah benar. Ketika menerima hadiah Nobel Perdamaian pada 1979, Bunda Teresa dari Kalkuta mengatakan pesannya untuk aktif bertindak secara tak keras. “Dalam keluarga kita, kita tak membutuhkan bom dan senjata untuk menghancurkan demi menciptakan damai. Yang dibutuhkan ialah kebersamaan dan cinta satu dengan yang lain. Dan dengan itu, kita akan mampu mengalahkan segala kejahatan yang ada dalam dunia.â€
Paus Yohanes Paulus II dalam Ensiklik Centesimus Annus, 1991, menulis: “Semoga orang-orang belajar memperjuangkan keadilan tanpa kekerasan†(no. 23). Dan, menurut Paus Fransiskus: “Sikap kasih dan tanpa kekerasan merupakan elemen-elemen esensial dari cara hidup Katolik. Dan, tidak ada agama yang adalah teroris. Kekerasan itu menodai nama Allah. Nama Allah tak pernah boleh dipakai untuk membenarkan kekerasan. Damai itu adalah suci, bukanlah perang. Bertindak tak keras secara aktif merupakan cara untuk menunjukkan bahwa kasih lebih berkuasa dan lebih berbuah daripada konflik†(bdk. Message of His Holiness Pope Francis for the Celebration of the Fiftieth World Day of Peace, 1 Januari 2017 no. 2).
Mgr Petrus Canisius Mandagi MSC