HIDUPKATOLIK.com -Â Minggu Biasa VI: Sir 15:15-20; Mzm 119:1-2,4-5,17-18,33-34; 1Kor 2:6-10; Mat 5:17-37
MURID-murid Yesus merasa lega ketika mendengarkan penegasan Guru-Nya tentang peraturan keagamaan. Sementara di padepokan para rabi, para murid harus mempelajari dan dengan teliti menaati hukum Taurat, Yesus bersikap longgar pada seperangkat aturan agama. Misalnya mereka boleh mengabaikan sejumlah aturan seperti ritual cuci tangan sebelum makan, bersih-bersih sekembali dari pasar, tahir dan najis, halal-haram, peraturan hari Sabat serta puasa. Para murid mendengarkan undangan yang menggembirakan dari Gurunya bagi semua yang merasakan beban hukum: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegaan kepadamu†(Mat 11:28).
Tetapi kelegaan cepat melemah dan diganti kebingungan. Sebab Guru mereka menyatakan Ia datang bukan untuk meniadakan hukum Taurat dan kitab para nabi, melainkan untuk menggenapinya. Pernyataan itu diikuti ancaman sanksi: “Siapapun yang meniadakan hukum Taurat, sekalipun yang paling kecil, orang itu akan menduduki tempat yang paling rendah dalam Kerajaan Surga†(Mat 5:19). Apakah dengan itu berarti hukum harus ditaati secara harfiah dengan titik komanya?
Yesus menyatakan: “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar daripada hidup keagamaan ahli Taurat dan orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga†(Mat 5:20). Seperti apa hidup keagamaan ahli Taurat dan orang Farisi yang dinilai tidak benar oleh Yesus? Bagaimana dan dengan apa Yesus menggenapi hukum dan kitab para nabi?
Di bagian lain, misalnya Matius 23, kita mendapatkan jawaban atas dua pertanyaan itu. Ahli Taurat dan Farisi tidak melakukan apa yang mereka ajarkan. Mereka memperbanyak hukum yang membebani umat, tetapi mereka tidak menyentuhnya. Mereka mengandalkan tampilan lahiriah, gelar keagamaan serta simbol keagamaan. Motivasinya ialah menarik perhatian dan penghormatan untuk diri mereka. Yesus menyebut mereka munafik.
Mereka menjalankan hukum ibadat dengan teliti seperti bersembahyang tujuh waktu serta berpuasa. Namun bukan Allah yang menjadi pusat sembah bakti mereka, tetapi diri sendiri. Dalam moral sosial, mereka membayar sedekah dan persepuluhan tetapi mengabaikan keadilan dan belas kasih yang merupakan inti sari hukum Taurat.
Yesus tidak melihat hukum sebagai rangkaian peraturan disipliner keagamaan belaka, tetapi sarana untuk membina manusia bagaimana berperilaku dalam hubungan dengan Tuhan dan sesama. Fungsi hukum adalah menunjukkan arah hidup yang benar kepada Allah dan sesama. Allah harus diberi tempat sebagai satu-satunya Bapa dan sesama manusia sebagai saudara (Mat 23:8-10).
Sebagai Musa baru, Yesus menegaskan makna hukum Taurat. Sementara ahli-ahli Taurat mengembangkan hukum Musa menjadi ratusan aturan, Yesus merangkumnya dalam hukum cinta kasih dengan dua dimensi: kasih kepada Allah dan kepada sesama manusia.
Allah adalah kasih. Ia menawarkan kasih-Nya kepada manusia demi kebaikan dan kebahagiaan. Maka Allah menghendaki agar tawaran kasih-Nya itu diterima dengan jawaban kasih yang melibatkan diri manusia sepenuhnya: dengan segenap hati, jiwa, dan akal budi. Hukum lain-lain memperoleh makna yang penuh kalau berfungsi untuk menjamin realisasi kasih itu secara bertahap. Lepas dari hukum kasih, hukum yang lain tidak mencukupi untuk hidup keagamaan yang benar, tetapi hanya melahirkan legalisme dalam agama. Pelaksanaan perintah Allah “Jangan membunuh†misalnya, tidak cukup kalau sementara itu orang masih merendahkan dan mencemooh sesama sebagai kafir dan jahil (Mat 5:22). Melaksanakan hukum halal dan haram tak ada maknanya kalau sementara itu dalam hati orang keluar pikiran jahat, percabulan, perzinahan, pencurian dan keserakahan, kesombongan dan kebebalan (Mrk 7:19-23).
Kasih meminta dikasihi demi keselamatan manusia. Dalam kasih, manusia tidak dihadapkan pada
dilema memilih air atau api, kehidupan atau kematian. Pilihan semestinya hanya kasih yang kuat
seperti maut, gigih seperti dunia orang mati, dan nyalanya seperti nyala api Tuhan (lih. Kid 8:6).
Mgr Leo Laba Ladjar OFM