HIDUPKATOLIK.com – DESA Sumber, Kecamatan Dukun, Magelang, Jawa Tengah, tempat tujuan kami. Perjalanan kami semalaman dari Jakarta pun berakhir di Yogyakarta. Kereta api Taksaka yang berangkat dari Jakarta pkl. 20.45 tepat tiba di stasiun tugu, Yogyakarta, pkl. 05.20. Kami keluar tempat parkiran dan sudah ditunggu lima bus jemputan, Prayogo, yang mengantarkan kami ke tempat live-in.
Selama perjalanan, mendung bergelayut manja
.Pagi hari, Yogyakarta menyapa kami dengan hujan rintik-rintik hingga sampai di Gubug Selo Merapi, Lor Senowo.Nama yang akrab di telinga ketika erupsi Merapi terakhir pada 2010.Hawa dingin segera menyergap.Asri, jauh dari kebisingan.
Kami pun masuk ke pelataran Gubug, rehat sejenak, dan mendengar penjelasan dari tim e-GSPI yang mendampingi kami dalam kegiatan live in. Tentunya, tak ketinggalan.Yang kami tunggu adalah sarapan pagi.Hidangan sederhana dengan sayur nangka dan oseng tempe, tapi, ludes.
Hari Pertama, Mengenal Lingkungan
Kami berangkat dari Jakarta pada 7 November 2016. Hari pertama, 8 November 2016, setelah sarapan, kami diantar ke beberapa lingkungan: Tutup Ndhuwur, Tutup Ngisor, Dadapan, Sewukan, dan yang terjauh adalah Jombong, desa kedua sebelum Pos Babadan kalau mau naik gunung Merapi.
Setelah menyebar ke rumah masing-masing orang tua asuh, pendamping pun berkesempatan mengenal lingkungan dan keluarga yang ditinggali anak-anak satu per satu.Ada kesan canggung.Ada kesan tidak nyaman.Wajar memang.Belum lagi, mengingat komunikasi pun tidak bisa diandaikan lancar begitu saja.
Kami sempat bertemu dengan orang tua asuh yang terbiasa berbahasa Jawa dalam kesehariannya. Untuk bahasa Indonesia, mereka bisa memahami namun kalau berbicara ya campur aduk dengan bahasa Jawa. Namun, dengan tulus, orang tua asuh ini mau menerima kami yang hanya bisa berbahasa Indonesia.
Siang itu, dua teman kami langsung diajak ke sawah, berkebun.Sembari membawa gerobak dorong, mereka mengikuti langkah bapak asuh mereka.Sepanjang perjalanan, kami jumpai pula teman kami yang sudah di kebun, menanam cesim.Sore harinya, kami diajak untuk membuat kipas dari bambu.
 [nextpage title=”2″]
Hari Kedua, Ayo Bangun!
HARI baru, 9 November 2016, para pendamping pun sepakat untuk bangun lebih pagi.Sepeda motor pun segera disiapkan.Satu per satu rumah disambangi.
“Sugeng enjing bu, ngapunten badhe tuwi lare-lare,â€salam salah satu pendamping kami kepada yang empunya rumah
“Oh njih, monggo pak, ananging nyuwun ngapunten, tesih sami tilem.â€ungkap salah satu ibu asuh
Kami pun minta ijin masuk ke kamar anak-anak.“Cekrek!†kamera kami menyapa, “Ayo bangun dong! Bangun! Sudah jam 10.00 ni…Masak ke sini hanya pindah tidur.â€celetuk guru pendamping membangunkan.
“Ah… Bapak… semalam capek banget ni. Baru kerasa paginya.â€celetuk anak-anak yang kami bangunkan
Wajar memang.Ini pertama kalinya kami pergi ke kebun.Pekerjaan berat yang tak pernah kami kerjakan sebelumnya, meski hanya memetik cabai.Belum lagi, beberapa dari kami ikut pula membantu menyabit rumput untuk memberi makan sapi. Wajarlah karena udaranya segar. Dingin.Lelah yang belum lagi hilang seolah harus dibayar dengan menarik selimut dan tidur lagi.
Rumah demi rumah disambangi.Beberapa teman kami mulai nyaman dengan kegiatan live-in ini.Kalau di rumah, kami tidak terbiasa untuk menyapu, mencuci piringsendiri sehabis sarapan, mencuci baju kotor sendiri, dan membantu orang tua sesuai porsinya, kini kami “terpaksa†harus turun tangan.Kami belajar mandiri dengan sendirinya.Dan, untuk lelah yang dirasa, kami pun tak peduli sudah sarapan.Untuk kedua kalinya, kami makan sepulang dari kebun.Nikmat terasa meski lagi-lagi hidangannya sangat sederhana.
Hujan rintik pun menyapa.Kami sempatkan pula untuk mengunjungi beberapa anak yang belum sempat kami kunjungi.Kegiatan hari ini adalah bakti sosial, pengobatan aquapunktur. Dan, pasien yang datang menyambangi tempat kegiatan memang luar biasa banyak, hampir lebih dari 1.200 orang.
Makin sore hujan pun tak kunjung reda, malahan makin deras.Namun, cuaca tidak menyurutkan niat pasien yang hadir. Kami bersyukur kegiatan ini bermanfaat bagi orang-orang yang tinggal di tempat kami live in. Segala lelah terbayarkan dengan ketulusan, keceriaan, kerendahan hati, dan suasana keramahtamahan yang kami dapatkan. Hidup apa adanya, tidak mudah mengeluh, dan mensyukuri segala pemberian yang telah Tuhan berikan. Itulah yang kami rasakan.
[nextpage title=”3″]
Hari Ketiga, Tracking dan Misa Alam!
Hari ketiga menjadi hari yang melelahkan, tetapi sangat berkesan.Kami diajak untuk mengalami sendiri bagaimana rasanya menjadi petani.Pagi hari, seluruh peserta live-in sudah dikumpulkan dan diajak menuju sawah yang belum ditanami padi.Hari ini, kami mau menanam padi.
Setibanya di sawah, kami pun bersiap.Beberapa dari kami turun ke sawah, memegang benih padi, berbaris, dan mulai menanam.Sementara, pada petak sebelahnya, beberapa anak laki-laki mencoba rasanya memegang traktor untuk membajak.Hasil usaha kami untuk menanam, tentu sudah bisa dipastikan miring-miring, acak-acakan. Haha…
Selesai kegiatan ini, kami menuju aliran sungai yang membelah desa Sewukan.Dalam perjalanan, kami menyisir persawahan sembari mendengar cerita seorang ibu asuh, tempat kami menginap.“Mbak, pas erupsi terakhir, kali ini tertutup pasir semua.Ngeri!â€kisahnya.
Kami pun memulai tracking menyusuri aliran sungai hingga perhentian terakhir, tempat kami akan mengikuti Perayaan Ekaristi (Misa) di alam terbuka. Betapa senang tentunya karena tak pernah kami jumpai aliran sungai dengan air jernih semacam ini. Di Jakarta, yang namanya sungai itu coklat airnya dan bau. Belum lagi, sampah-sampah saling berkejaran sampai ke hilir.Itu kalau mengalir.Di sini, kami rela basah-basahan tanpa takut membayangkan tiba-tiba ditabrak sampah rumah tangga yang dibuang simbok-simbok ke sungai.
Kami pun sampai di perhentian terakhir. Perayaan Ekaristi dipimpin oleh RD Antonius Kurnia Adrianto, pastor rekan yang melayani umat di Paroki Santa Maria Lourdes, Sumber. Kami diajak mensyukuri apa yang sudah kami jumpai, terutama alam yang masih terjaga dan asri.
Kegiatan siang hari itu pun ditutup dengan makan siang bersama.Hidangan yang tersaji lagi-lagi tidak istimewa, nasi organik dan sayuran dengan potongan ayam kampung.Namun jangan salah, nikmat terasa.“Pak, ada lagi nggak?Saya mau lagi!â€pinta seorang teman kami pada pendamping.
Hujan deras pun tak malu-malu turun membasahi bumi. Meski belum selesai, kami segera pindah, pulang ke tempat tinggal kami masing-masing.Cuacanya memang sangat ekstrim, cepat berganti.Tetapi, tak mengurangi kebahagiaan kami bisa mengalami suasana hidup yang jauh berbeda dengan rutinitas harian kami.Macet kalau mau ke sekolah.
Malam harinya, kami berkumpul kembali di Gubug Selo untuk menyaksikan pagelaran kesenian tradisional yang sudah kami persiapkan per desa sejak hari pertama kami tiba di tempat ini.Beberapa anak yang terbiasa dengan gamelandiminta berperan sebagai pengiring.Sementara, bagi yang berbakat menari, kami diminta menari, meski hanya sebagai penari pengiring.
Pagelaran tari pun dimulai.Satu per satu menampilkan pagelaran yang sudah dipersiapkan.Sederhana, eksotis, namun penuh makna.Baru pertama kali mereka tampil dengan koreografi.Tetapi, beberapa kelompok sudah mampu membawa pesan mendalam bagi yang melihat penampilan mereka.Meski diakui, ada saja anak-anak yang ikut-ikutan tampil.Ketika menari dengan koreo bergerak maju, kaki kanan beriringan dengan tangan kanan.Mbagong! Haha…
Selesai pagelaran, kami sempatkan untuk sejenak berkumpul, mengucapkan terima kasih atas segala keramahtamahan yang telah diberikan, dan berpamitan tentunya.“Dalam setiap perjumpaan wajah, ada pengalaman bertemu dengan pribadi-pribadi, mengenal namanya, mengenal pribadinya, dan ikut ambil bagian dalam rutinitasnya.Dan, sekarang, anak-anak sekalian sudah bertemu dengan rutinitas yang berbeda dari rutinitas harian yang dialami di Jakarta.Kami berterimakasih atas kunjungannya.Semoga ada pengalaman baik yang bisa kalian bawa ke Jakarta.â€ungkap RD Kurnia yang memberi sambutan.
 [nextpage title=”3″]
Hari Keempat dan Kelima, Borobudur, Malioboro, dan Pulang!
Pagelaran seni semalam pun diakhiri dengan ucapan terima kasih dan perpisahan.Pagi di hari keempat pun menyambut kami.Cerah suasananya.Kami pun bersiap pulang kembali ke Jakarta.Pagi ini, kami berniat mengunjungi Candi Borobudur, kemudian Malioboro, sebelum kembali ke Jakarta.
Memasuki parkiran Candi Borobudur, kami menyempatkan diri untuk mengabadikan kunjungan kami per kelas.Niatan kami adalah rekreasi sekaligus melihat dengan mata kepala sendiri salah satu keajaiban dunia yang ada di Indonesia ini. Setelahnya, kami pun menyempatkan diri untuk jalan-jalan sore di Malioboro. Memang, beberapa anak mengalami kejadian tidak menyenangkan, menerima tawaran harga miring abang-abang becak yang mau mengantar beberapa dari kami ke Malioboro.Ndak tahunya, ternyata hanya diantar ke toko Bakpia, toko kaos, lalu diantar kembali ke tempat parkiran.“Rp. 50.000… kalau mau ke Malioboro,â€ungkap abang becaknya.Padahal, tadinya, ditawarkan Rp. 10.000 ke Malioboro.
Sore hari, pkl.18.30, kami pulang ke Jakarta.Kami sampai di Jakarta, pkl. 05.20. Segala jerih lelah kami terbayarkan dengan pengalaman yang luar biasa. Kami belajar hidup mandiri, belajar menghargai yang disediakan orang lain, belajar makan apa adanya, dan belajar untuk hormat pada alam. Begitu murah hatinya, Tuhan sudah menyediakan segala kebutuhan manusia dengan alam yang begitu kaya.Namun, alam pun mampu menyeimbangkan dirinya ketika rusak.
“Sekarang, tidak lagi ada musim hujan dan kemarau, Mas. Di desa kami, ada tiga musim: hujan, kemarau, dan kemarau basah.â€ungkapH Tri Atmoko, ketua e-GSPI.
Kami bersyukur atas pengalaman live-in, Sumber, 8-11 November 2016.Bersama Alam, Hidup Membangun Semangat Persaudaraan. Itulah tema yang kami bawa ke tempat ini.Dan, memang benarlah demikian.Tinggal bersama orang-orang yang sederhana membuat kami semakin diperkaya. Dengan begitu, kami mampu makin mensyukuri apa yang telah kami miliki.Terima kasih.
Laurensia Felia
Siswa SMA Katolik Sang Timur
Kelas XI