HIDUPKATOLIK.COM – POIN ketiga program Nawacita secara eksplisit menyebut ‘Membangun Indonesia dari pinggir’. Gagasan ini menjelma menjadi realitas dalam bentuk munculnya Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Ketiga pokok ini, yang disatukan dalam satu kementerian menjadi langkah lanjut Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, di mana desa diandalkan sebagai salah satu pilar dalam sistem pembangunan nasional.
Menurut Eko Putro Sandjojo, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, konsep membangun Indonesia dari pinggir, berarti menempatkan desa sebagai subyek pembangunan. Desa, lanjutnya, memiliki kewenangan untuk mengelola, menata dan membangun secara mandiri. “Desa menjadi pilar pembangunan,†kata Sandjojo dalam sambutannya pada acara Rapat Pimpinan Nasional (rapimnas) Pemuda Katolik, di Solo, Sabtu, 19/11/2016.
Sandjojo memaparkan beberapa poin terkait peluang Indonesia dalam pembangunan desa. Indonesia saat ini berada di urutan ke 16 kekuatan ekonomi dunia, memiliki lahan tropis terbesar kedua dan garis pantai terpanjang kedua di dunia serta kekayaan budaya dari sekitar 1200 etnis yang tersebar di bumi Nusantara. “Ini adalah aset, kekayaan dan potensi yang besar. Namun kita tak bisa memungkiri ada banyak daerah miskin dan tertinggal di negara yang kaya ini,†ujar Sandjojo.
Indonesia, lanjut Sandjojo bisa berkaca pada Brasil, negara dengan lahan tropis terbesar di dunia yang berhasil memanfaatkan potensi lahan tropisnya. “Tiga puluh tahun lalu, Brasil mengalami inflasi mencapai 1000 persen tetapi berhasil memanfaatkan lahan tropisnya dan kini nangkring di posisi 10 kekuatan ekonomi dunia,†papar Sandjojo.
Karena itu, lanjutnya, pemerintah melalui ‘membangun Indonesia dari pinggir,’ ingin menjadikan desa sebagai sentra-sentra pembangunan ekonomi. Sandjojo menambahkan, membangun desa harus dalam rangka negara kesatuan. Pendekatan top down, lanjut Sandjojo tidak berhasil. “Indonesia menjadi negara pertama di dunia yang memberikan kesempatan kepada desa untuk mengelola bukan hanya administrasi pemerintahan tetapi juga pemberdayaan masyarakat dan ekonomi secara mandiri.â€
Wujud dukungan pemerintah, lanjutnya, pada 2016, pemerintah memberikan dana langsung sebesar 20,80 triliun rupiah dan ditingkatkan menjadi 46, 98 triliun. Setiap desa jika ditambahkan dengan dana dari propinsi dan kabupaten, akan mendapatkan rata-rata 800 juta rupiah sampai tiga setengah miliar. Dana ini digunakan untuk membangun infrastruktur dengan mengandalkan gotong royong masyarakat. “Tujuan, supaya infrastruktur terbentuk, dan menciptakan lapangan kerja di desa,†urainya.
Salah satu tujuan dari dana langsung desa adalah penggunaan untuk pembuatan embung desa. Program embung ini, kata Sandjojo, berlatar pada rata-rata petani Indonesia hanya menanam 1, 4 kali dalam setahun, padahal potensinya bisa tiga kali dalam satu tahun. “Petani menanam hanya pada musim hujan saja karena ketersediaan air yang tidak memadai. Dengan adanya embung, petani bisa menanam sepanjang tahun.â€
Sandjojo meminta kader Pemuda Katolik untuk mengkawal dan mensosialisasikan program ‘Embung desa’. Nilai tambah program ini tidak hanya untuk pertanian tetapi juga bisa digunakan untuk perikanan dan pariwisata.
Ia mengakui, tentu program ini masih memiliki kekuarangan di sana sini. Maka menjadi tanggungjawab bersama masyarakat dan pemerintah untuk memperbaiki kekurangan yang ada. “Tolong Pemuda Katolik membantu mensosialisasikan dan mengawal pembangunan desa,†ujarnya yang disertai tepuk tangan riuh para kader Pemuda Katolik.
Sandjojo, mengapresiasi penyelenggaraan rapimnas Pemuda Katolik Tahun 2016 yang bertajuk “Konsolidasi Organisasi Untuk Memperkuat Pembangunan Nasional Berbasis Desaâ€. Ia juga mengajak kader Pemuda Katolik untuk terlibat dalam menjaga keutuhan NKRI. “Jadikan perbedaan sebagai sumber kekuatan Indonesia untuk menjadi negara besar. Tetap memegang teguh Bhineka Tunggal Ika karena Indonesia besar dengan perbedaan suku, agama, dan ras, serta sikap toleransi yang tinggi antar sesama,†pungkas Sandjojo.
Edward Wirawan(Solo)