HIDUPKATOLIK.com – Seseorang memasuki gereja. Ia mengambil air suci, mencari tempat duduk, berlutut, berdoa, lalu duduk di sebelah seorang lain. Dia melihat jam tangan. â€Masih lama,†pikirnya. Dia mengambil telpon selularnya. Mulailah dia menyapa â€santa†Nokia dan tenggelam dalam dunia maya.
Mengapa dia tidak disapa atau menyapa orang yang duduk di sebelahnya? Apa yang dia lakukan dengan telpon selularnya? Mungkin lebih menarik lagi jika kita pertanyakan: apa motivasinya datang ke gereja?
Ada banyak faktor yang menjadi pendorong keikutsertaan kita dalam Misa. Alasan pertama semestinya karena menaati perintah Kristus: â€Lakukanlah ini untuk mengenangkan Daku.†Ia menghendaki para pengikut-Nya berhimpun dan merayakan misteri kehadiran-Nya dalam rupa roti dan anggur, Tubuh dan Darah-Nya.
Kita bertemu Kristus dan juga diantar Kristus berjumpa dengan Allah Bapa. Saat perjumpaan itu sendiri adalah saat perayaan keselamatan. Perayaan yang menghadirkan Kristus dan mengutuhkan umat beriman. Itulah perayaan Tubuh Mistik Kristus. Sang Kepala berpadu dengan anggota-Nya, yakni Gereja.
Perayaan simbolis ini tidak bisa mengabaikan unsur ke-tubuh-an manusiawi. Seperti Kristus yang telah memberikan diri-Nya secara total, maka dengan â€tubuh†dan seluruh pribadi pula kita hadir di hadapan Allah. Semua yang ada dalam tubuh kita dan dapat dihasilkan olehnya kita libatkan dalam perayaan keselamatan itu.
[nextpage title=”Berkumpul dan Bersatu”]
Kita mau â€melakukan†perayaan itu bukan dengan kehendak dan pikiran saja, tapi juga terutama dengan olah tubuh yang terwujud dalam suatu tindakan atau kegiatan ritual. Diri atau tubuh kita adalah anugerah dari Allah. Kita gunakan pula untuk memuliakan Dia. Segala kemampuan budi dan hati beserta raga dan indera kita kerahkan dalam kegiatan ritual itu.
Kehadiran fisik yang dijiwai semangat untuk bersatu dari setiap jemaat akan mengantar pada persatuan dengan Tubuh Kristus (komuni). Partisipasi yang aktif dan sadar akan berbuah jika kita juga memikirkan keterlibatan diri kita sejak awal Misa, pada saat berkumpul, bahkan jauh sebelumnya, dalam kehidupan sehari-hari.
Gerak tubuh kita yang pertama adalah saat kita beranjak meninggalkan rumah. Bayangkanlah, kita sedang memulai perjalanan menuju perjumpaan dengan Allah, dan akan ditemani Kristus. Perjalanan seperti itu pernah dialami Kleopas dan temannya ketika menuju Emaus.
Kisah Emaus telah menyumbangkan struktur bagi ritus Misa Romawi sekarang. Misa adalah suatu ritus, tindak ibadat yang diulang terus menerus dan memberi makna bagi pelaksananya. Ritus bagaikan suatu perjalanan. Hidup manusia juga seperti perjalanan atau peziarahan. Maka, gerak berjalan dari rumah akan berlanjut di gereja, selanjutnya kembali ke dunia, terlibat dalam kehidupan sehari-hari, kembali lagi ke gereja, dan seterusnya sampai nanti kita mengalami hadir dalam perjamuan surgawi yang selama ini kita cicipi dalam ritus Ekaristi Suci.
[nextpage title=”Berkumpul dan Bersatu”]
Di dalam gereja, gerak perjalanan khusus kita tempuh bersama-sama, saat merayakan Ekaristi. Di awal perjalanan, kita harus mampu bersatu sebagai jemaat. Kita bukan segerombolan orang yang berkumpul di suatu tempat, namun tidak saling kenal. Sebagai suatu keluarga kristiani, putra-putri Allah pengikut Kristus, semestinya kita saling mengenal.
Setidaknya, kita tidak perlu merasa sebagai orang asing di antara orang-orang yang baru pertama kali kita lihat. Perasaan tidak sendirian dan tidak asing menandakan adanya peran Roh Kristus yang mempersatukan jemaat. Maka, sungguh tepat jika di depan pintu gereja ada petugas – atau juga imamnya sendiri – ikut menyambut.
Mereka seolah membuka diri sebagai tuan rumah yang ramah bagi saudara-saudaranya yang datang kembali untuk saling bertemu dan berjumpa dengan Allah. Semoga mereka yang disambut bisa merasakan bahwa dirinya adalah bagian dari satu keluarga Gereja.
Berkumpulnya jemaat sudah melambangkan kesatuan yang menghadirkan Kristus. Inilah cara pertama kehadiran Kristus dalam Misa. Cara kehadiran Kristus yang lain akan tampak juga dalam diri imam yang memimpin, dalam pewartaan Injil, dan dalam rupa roti-anggur. Misteri atau realitas Ilahi itu tersembunyi di balik tanda-tanda lahir yang duniawi dan manusiawi. Sungguhkah kita menyadarinya?
Penulis: Christophorus H. Suryanugraha OSC