HIDUPKATOLIK.com – SUASANA Paroki St Thomas Rasul Bedono, Kabupaten Semarang tampak beda, Senin, 14/11.  Sejumlah umat mengenakan pakaian ala desa Jawa, surjan lorek sederhana, blangkon menyambut para Romo, Suster dan wakil-wakil dari utusan Dewan Paroki se-Kevikepan Semarang. Disiapkan pula hidangan organik seperti kimpul plocot, jadah jali, salah bakar dan singkong rebus. Tersedia pula aneka minuman seperti minuman rempah, teh kelor dan teh sere.
Suasana itu diciptakan oleh Romo dan Dewan Paroki Bedono untuk acara kolasi Kevikepan Semarang yang bertemakan “Laudato Si”. Sudah sejak Romo Herman SJ, Romo Koko Puji, hingga Romo Hartono dan Romo Eka yang saat ini menjadi Pastor Paroki, umat Bedono memang mengembangkan kekhasan dan keunikan dengan fokus pada pemanfaatan alam semesta untuk mengungkapkan dan menghayati iman. Gerakan Gereja yang ramah lingkungan menjadi bingkai pelayanan pastoral.
Maka, kata Wahyu, “Jumlah umat Katolik yang tercatat dalam buku baptis sekitar 1.600-an. Namun ada ‘umat’ Katolik lain yang tak tercatat dalam buku baptis, yakni kimpul plocot, wortel, terong dan sebagainya sebab mereka pun ikut Misa di gereja sebagai penyemarak liturgi Ekaristi…” Keterangan yang disampaikan Wahyu itu untuk melukiskan bagaimana gerakan Gereja yang ramah lingkungan dan ciptaan. Semua itu juga untuk gerakan mempertahankan gerakan ketahanan pangan lokal.
Menarik bahwa mengawali kolasi, kami diajak nonton film pendek yang dimainkan Sanggar Pelangi. Sanggar Pelangi hanya salah satu dari sembilan sanggar yang ada di Paroki Bedono. Anak-anak diajak mencintai alam ciptaan seperti disampaikan dalam film pendek “Kakak Kecoa”. Kecoak yang selama ini dianggap sebagai binatang yang menjijikkan pun harus dicintai. Dengan mencintainya, kita belajar mencintai Allah yang menciptakan kecoak.
Disharingkan pula bahwa selain memanfaatkan alam ciptaan untuk liturgi, dimanfaatkan pula alat-alat sederhana untuk menyemarakkan liturgi misalnya dengan terbangan dan kenthongan yang dipadu dengan perangkat gamelan. Prinsipnya, apa yang ada dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk memuliakan Tuhan.
Ungkapan “Srawung Raket Suket Godhong”. Bergaul akrab dengan rumput dan dedaunan. Itu menjadi slogan mengajak umat memanfaatkan yang ada untuk kepentingan yang lebih baik. Selain dalam rangka liturgis untuk tata altar, secara ekonomis juga dipakai untul pengembangan budaya hidup sehat cara herbal.
Secara sosial gerakan ekologis organik ini telah berdampak pisitif bagi masyarakat. Bila pada awalnya, umat Katolik mudah dikenali dari depan rumahnya karena tanaman dalam polibek. Kini gerakan itu sudah memasyarakat.
Itulah beberapa hal yang dapat dirangkum dari Kolasi Kevikepan Semarang di Paroki Bedono. Gerakan-gerakan sederhana itu kini kian berkembang justru dalam rangka menghayati “Laudato Si”, Ensiklik yang diterbitkan Paus Fransiskus yang berparadigma teo-ekologis itu.
Romo Aloysius Budi Purnomo