HIDUPKATOLIK.com – KEHIDUPAN masyarakat desa yang guyub rukun, tentram, dan penuh toleransi, sesungguhnya dapat menjadi inspirasi untuk menggaungkan pesan perdamaian ke seluruh dunia. “Masyarakat pedesaan adalah contoh, bagaimana semestinya kehidupan yang damai itu diciptakan dan dikelola secara bersama,†kata Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid saat menyampaikan orasi kebudayaan dalam hajatan Festival Lima Gunung bertajuk “Centhini Gunung†di Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, Kamis, 6/10, sore.
Yenny Wahid mengatakan, dunia saat ini sedang penuh dengan konflik. Perang terjadi di mana-mana: Suriah, Yaman, dan negara-negara lain. Salah satu efek terbesar dari konflik tersebut adalah banyaknya pengungsi. Mereka mengalami keterbatasan akses, kesehatan, pangan dan lain-lain. “Mari, lewat festival ini, kita serukan untuk sehari saja hidup tanpa konflik, tanpa ledakan peluru. Sehari saja, agar mobil misi kemanusiaan bisa lewat menjangkau pengungsi,†tutur putri kedua presiden keempat RI KH Abdurrahman Wahid itu.
Yenny, yang sebelumnya ikut diusung tandu dalam kirab budaya di jalanan desa di Dusun Mantran Wetan itu, selanjutnya mengajak seribuan warga yang hadir pada acara itu untuk melakukan gerakan sehari tanpa konflik dalam konteks masing-masing. Pemilik nama lengkap Zannuba Ariffah Chafsoh itu mengingatkan, misi perdamaian tidak hanya bisa dilakukan di kota-kota besar dan gedung elit. Pesan perdamaian yang hakiki justru ada pada kalangan masyarakat sipil dan komunitas-komunitas.
Kegiatan yang melibatkan perempuan ini, kata Yenny, diharapkan bisa menjadi kekuatan baru untuk menyemangati gagasan-gagasan perdamaian yang saat ini masih kurang. “Kami ingin, pesan perdamaian tidak hanya bergaung di kota besar. Tidak hanya bergaung di gedung elit dan di hotel megah, tapi terutama di komunitas akar rumput. Kami menebarkan perdamaian sampai ke seluruh pelosok penjuru negeri, terutama ke kampung-kampung dan desa-desa,†ujar Yenny.
[nextpage title=”Masyarakat Desa Gaungkan Pesan Perdamaian Internasional”]
Sementara itu, Presiden Komunitas Lima Gunung, Sutanto Mendut menjelaskan, tema “Centhini Gunung†diambil dari kisah yang tersurat dalam sebuah karya sastra terbesar dalam kasusastraan Jawa Baru bernama “Serat Centhiniâ€. Karya ini menghimpun berbagai macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa dalam bentuk tembang (lagu). “Dalam pertunjukan ini, ada beberapa penari perempuan yang berlaku sebagai Centhini. Mereka menari mewakili masing-masing kecerdasan dan kekuatan perempuan,†kata Sutanto.
Tidak kurang dari 350 seniman terlibat dalam kegiatan ini. Diawali dengan kirab di jalan sepanjang sekitar 500 meter di kawasan gunung Andong. Para peserta kirab mengusung sejumlah tandu perempuan dan properti lain berupa puluhan bentuk stupa Borobudur serta tetabuhan alat musik tradisional. Pertunjukan juga ditandai dengan ritual Komunitas Lima Gunung, yang kali ini berupa tarian Lima Ondho, “Tanggaâ€, yakni Ondho Kencono, Ondho Langit, Ondho Bumi, Ondho Tresno dan Ondho Jiwa.
Berbeda dengan penyelenggaraan tahun-tahun sebelumnya, Festival Lima Gunung kali ini diselenggarakan oleh Komunitas Lima Gunung bekerja sama dengan Wahid Foundation. Festival sekaligus digelar untuk memperingati Hari Perdamaian International (International Day of Peace) yang jatuh setiap tanggal 21 September.
Kegiatan yang dikemas dalam bentuk pertunjukan seni dan budaya ini, sekaligus menjadi bagian dari kegiatan tahunan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF), 5-8 Oktober 2016. Tampak hadir antara lain sutradara Garin Nugroho, anggota DPR RI Maruarar Sirait, Greg Amstrong dari Kedutaan Besar Australia dan perwakilan PBB di Indonesia.
Kormen Barus (Magelang)