HIDUPKATOLIK.com – Minggu Biasa XXVII: Hab 1:2Â3;2:2Â4; Mzm 95; 2Tim 1:6Â8,13Â14; Luk 17:5Â10
ADA situasi tertentu di mana iman kita akan Allah menjadi goyah, menjadi sulit percaya bahwa Tuhan hadir dan berkarya di dunia, bahwa Dia mencintai kita dan memberi yang terbaik bagi kita. Salah satu situasi seperti ini terdapat dalam bacaan pertama. Nabi Habakuk sepertinya menggambarkan apa yang terjadi di dunia pada masa kini, ketika kekerasan, pengÂaniayaan dan ketidakadilan merajalela, kondisi ini menimbulkan rasa sakit, penderitaan dan kematian.
Lalu orang yang percaya bertanya kepada dirinya, mengapa Allah tidak bertindak? Kita bisa mengataÂkan bahwa hal yang paling menggoncangkan iman kita adalah Allah seolahÂ-olah diam melihat kejahatan manusia, biarpun kita harus mengakui banyak situasi negatif yang kita lihat di dunia ini adalah akibat dari penolakan manusia terhadap Tuhan.
Ada satu situasi lain yang menggoyangkan iman kita akan Allah, akan kekuasaanÂNya dan kasihÂNya kepada kita, yakni situasi yang dialami juga oleh para Rasul. Siapa yang menjadi pengikut Yesus harus menghadapi tugas yang tak mungkin dapat dilakÂsanakan, tugas ini melampaui kemampuan kita yang lemah. Di hadapan ketidakmampuan kita untuk beÂnar-Âbenar meninggalkan dosa, di hadapan belenggu kejahatan yang tak dapat dipecahkan, di hadapan kemajuan kita dalam kebaikan yang sangat kecil, kita menjadi gelisah dan merasa bahwa ajaran Yesus sungguh indah, tetapi tak dapat dilaksanakan. Kita dapat berpikir bahwa Dia menuntut terlalu banyak, bahwa Gereja mengajarkan kebenaran dan kelakuan yang ideal, tetapi tak dapat dicapai.
[nextpage title=”Renungan Minggu, 2 Oktober 2016 : Tambahkanlah Iman Kami!”]
Sebagai jawaban atas situasi yang demikian, yang membuat kita sedih, cemas, kecewa, dan acuh tak acuh, Sabda Tuhan yang disampaikan dalam liturgi hari Minggu ini mengajak kita percaya kepada TuÂhan, percaya kepada kuasa dan kasihÂNya. Ini adalah ajakan untuk menjalani seluruh hidup kita, setiap momen hidup kita, dengan iman yang mendalam. “Orang benar akan hidup karena imannyaâ€: relasi iman dengan Tuhanlah yang memberi kekuatan dan
ketentraman kepada hidup kita, yang membuat kita tidak kalah karena keputusasaan dan kesedihan hati. Allah adalah “batu keselamatan kita†dan di atas batu ini kita selalu dapat berdiri teguh dan bertahan. Lalu berkat iman kepadaÂNya, terbukalah pintu kepenuhÂan hidup yang bahagia dan abadi bagi kita, setelah kita melewati “lembah air mata iniâ€.
Sering kita mendengar dalam Injil bahwa siapa saja yang mendekati Yesus untuk memohon mukjiÂzat, Yesus selalu bertanya satu hal saja. Percayakah Engkau? Kuasa Tuhan, yang adalah kuasa hidup dan kasih, dapat beraksi dalam hidup kita dan di dunia hanya apabila hati manusia terbuka. Biarpun sedikit saja, “sebesar biji sesawiâ€, pada kepercayaan maka “tak ada yang mustahil bagi Tuhan†(Luk 1:37). Berkat iman, manusia dapat menerima kuasa kasih Tuhan yang tak terbatas.
[nextpage title=”Renungan Minggu, 2 Oktober 2016 : Tambahkanlah Iman Kami!”]
Sebaliknya, terutama saat kita harus menghadapi tantangan hidup, kita sadar bahwa iman kita lebih kecil dari biji sesawi. Iman kita hampir tak ada, maka Tuhan tak dapat berkarya dalam diri kita dan melaÂlui kita dengan kuasa kasih. Hal ini terjadi seperti di Nazareth, ketika Yesus “tidak membuat banyak mukjizat karena mereka kurang percaya†(Mat 13:58). Kita pun juga pantas mendapat teguran sebaÂgai “orang yang kurang percaya†(Mat 8:26).
Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah berÂdoa seperti para Rasul, “Tambahkanlah iman kami!†Atau salah satu ucapan yang serupa yang ada dalam Injil, misal kalimat yang dapat kita ucapkan penuh harapan dan kesadaran, “Aku percaya, Tuhan. ToÂlonglah aku orang yang tidak percaya ini!†(Mrk 9:24).
Kita perlu sering memohon anugerah kepercayaan pada kuasa dan kasih Allah. Itu adalah pemberian yang dianugerahkan dan dikembangkan oleh Tuhan, biarpun kemudian menuntut keterlibatan kita, mulai dari doa kita. “Tambahkanlah iman kami!â€, inilah permintaan pertama. Permintaan mendasar dan paling penting, yang perlu kita mohon kepada Tuhan setiap hari, setiap saat, terutama ketika kita menghadapi pencobaan.
Mgr Antonio Guido Filipazzi