HIDUPKATOLIK.com – AKHIR-akhir ini tindakan intoleransi merebak di beberapa penjuru negeri. Misal, awal September ini, terjadi aksi pembubaran paksa terhadap umat Katolik Lingkungan Penumping Paroki Santo Petrus Purwosari Surakarta (Solo), Jawa Tengah, yang tengah melaksanakan Misa Arwah. Insiden yang terjadi di wilayah Keuskupan Agung Semarang (KAS) ini seolah menjadi penyambung aksi bom bunuh diri di Gereja Stasi Santo Yosep di Medan yang masih hangat dalam benak masyarakat. “Semua peristiwa itu adalah wajah intoleransi, sebuah ancaman bagi Indonesia yang bineka ini,†ujar Lidya Sartono, sekjen Vox Point Indonesia (VPI) dalam seminar “Intoleransi Merajalela, Rapuhkah Bhinneka Tunggal Ika†yang diselenggarakan oleh VPI bekerjasama dengan Seksi HAAK Paroki Santa Anna Duren Sawit, Jakarta Timur, Senin, 10/9.
Menjadi orang Indonesia, kata Lidya, selalu harus dengan kesadaran akan keberagaman baik etnis, agama maupun budaya. “Maka tidak pernah bisa dibenarkan, jika ada kelompok tertentu yang merasa paling benar,†tegasnya. Lidya juga meminta agar pemerintah tanggap pada segala tindakan yang mengancam persatuan bangsa Indonesia.
Senafas dengan Lidya, Zuhairi Misrawi, Cendekiawan Nahdlatul Ulama (NU), menegaskan bahwa kekuatan Indonesia terletak dalam persatuan dalam keberagamannya. Karena itu, merawat keberagaman, kata Misrawi merupakan sebuah keniscayaan. Ia mencontohkan, kelompok antaragama dalam sebuah wilayah perlu mengadakan pertemuan rutin sehingga dapat membuahkan tindakan persatuan, misalnya membentuk panitia renovasi Masjid dan Gereja.
Pertemuan seperti ini, lanjut Misrawi memungkinkan orang mengalami perjumpaan dan pengenalan satu sama lain. “Ini penting, karena akar intoleransi adalah kebodohan, ketidaktahuan terhadap sesuatu yang berbeda dan merasa diri paling benar,†ujarnya.
[nextpage title=”INTOLERANSI MERAJALELA, RAPUHKAN BHINNEKA TUNGGAL IKA”]
Selain itu, alumnus Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir ini menyebut penegakan hukum yang lemah juga menjadi landasan terjadinya intoleransi. Misrawi merasa, banyak pelaku kekerasan berdasar agama tanpa kesadaran hukum bahwa itu adalah pelanggaran. Penegakan hukum yang lemah ini disebabkan oleh perangkat hukum yang belum lengkap, misal belum ada undang-undang khusus kebebasan beragama dan berkeyakinan. “Pemerintah harus tegas, polisi dan aparat penegak hukum jangan bermain mata dengan kelompok intoleransi,†tegasnya.
Seminar ini juga menghadirkan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), M. Imdadun Rahmat sebagai pembicara utama bersama, Wakil Ketua Bidang Rekomendasi FKUB-DKI Ignatius Rudy Pratikno, dan Aktivis PGI & MADIA Trisno Sutanto,.
Sementara Ketua VPI Yohanes Handoyo Budhisedjati menegaskan akan ada langkah lanjut dari seminar ini, dalam bentuk menggalang kerja sama antarkelompok beragama. Ia menegaskan, VPI akan terus berkarya untuk mengurai persoalan-persoalan kebangsaan. “Ini sesuai semangat Gereja yang menolak diam untuk persoalan kemanusiaan, bangsa dan perdamaian.â€
Edward Wirawan