HIDUPKATOLIK.com – Kerinduan berkumpul dengan teman-teman seiman mendorong siswa Katolik di Klaten ini membentuk komunitas. Dalam perjumpaan persaudaraan mereka saling meneguhkan.
Tidak sedikit, anak-anak dari keluarga Katolik bersekolah di sekolah swasta non Katolik pun sekolah negeri. Demikian juga di Klaten, Jawa Tengah. Keprihatinan yang muncul adalah bahwa mereka tidak mendapatkan pendidikan Agama Katolik sebagaimana di sekolah Katolik.
Karena keprihatinan ini, Gereja setempat memberikan perhatian khusus bagi mereka. Tujuannya agar mereka bisa mendapatkan pengetahuan keagamaan dan bertemu sebagai komunitas Katolik. Harapannya, mereka tumbuh menjadi pribadi yang mandiri serta matang dalam iman.
Peduli Siswa Katolik
Sekitar 1992, Pastor Paroki St Maria Assumpta Klaten (1992-1995) Romo F. X. Sukendar Wignyasumarta berinisiatif memberikan pendampingan kepada para remaja Katolik di Klaten yang menempuh pendidikan di SMA negeri dan swasta non Katolik.
Keinginan itu direalisasikan dengan mengundang guru agama Katolik di sekolah non Katolik untuk membuat wadah bagi siswa-siswi Katolik di sekolah negeri dan swasta non Katolik tersebut. Setelah membuat perencanaan matang, pada 6 Mei 1993 diresmikanlah wadah dengan nama Solidaritas Siswa Katolik Klaten (Soliska).
Wadah itu mendapat respon positif dari para siswa. Satu demi satu mereka bergabung. Penjaringan anggota pun dilakukan melalui undangan resmi serta menugaskan para siswa senior untuk mengajak adik-adik kelas bergabung.
Mereka kemudian mengadakan kegiatan rutin, yakni Misa Kudus setiap Jumat pertama. Misa ini diadakan di Gereja St Maria Assumpta. Biasanya dihadiri sekitar 200 siswa serta beberapa guru pendamping. Selain itu, juga diadakan pendalaman iman sebagai pembekalan pengetahuan iman agar para siswa dapat bertindak baik dan benar berdasarkan iman Katolik.
Ingin Mandiri
Sejak semula pengurus Soliska melibatkan para guru agama Katolik dan siswa. Tetapi, mulai 2015, kepengurusan akan lebih dipercayakan kepada para siswa. Kepengurusannya akan dibentuk dalam sebuah presidium, dengan beberapa orang bertanggung jawab sebagai koordinator. Menurut Ketua Soliska angkatan 20, Stefanus Agung Kurniawan, komposisi pengurus akan diatur sedemikian rupa sehingga setiap sekolah terwakili. Model ini akan diterapkan pada pengurus baru angkatan 21 yang telah dilantik pada Januari 2015. Selain itu, akan ditunjuk tiga mantan aktivis untuk menjadi pendamping.
Dengan mempertimbangkan bahwa siswa kelas XII berbeban pelajaran yang lebih berat, maka pengurus Soliska dipercayakan kepada para siswa kelas X dan XI. Sebelum mengemban tugas, biasanya calon pengurus diwajibkan untuk mengikuti Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK). Untuk tahun 2014, LDK telah dilaksanakan di Wisma Sejahtera Kaliurang Yogyakarta pada Sabtu-Minggu, 22-23/11.
Biasanya LDK dikemas dalam bentuk live in, diikuti sekitar 60 siswa. Kegiatan live in pernah diadakan di desa Kleben, Godean, Yogyakarta dan di desa Srumbung, Magelang. Dalam live intersebut, para siswa terlibat dalam berbagai aktivitas harian keluarga yang ditempati, misalnya menanam padi di sawah atau berjualan di pasar.
Selain kegiatan live in, Misa, dan LDK, Soliska juga mengadakan kegiatan lain seperti Ziarah, Kemah Rohani, Acara Valentine, juga karya sosial. Ketika gunung Merapi meletus dan gempa bumi melanda wilayah Klaten, Soliska juga turut terlibat dalam pengelolaan posko bencana.
Ada juga kegiatan yang khusus untuk mendorong para anggota dalam membangun persaudaraan dengan umat beragama lain. “Pada tanggal 13 April 2014 kami mengadakan kunjungan ke Pondok Pesantren Kalijogo, Gendeng, Wedi. Di sana kami membuat berbagai acara dengan para santri,” ungkap sekretaris Soliska angkatan 20, Elisabeth Dita. Kegiatan unik lainnya yang pernah dilakukan yaitu “Lampah Ratri”, yakni kegiatan renungan malam yang digelar dua hari berturut-turut menjelang Natal.
Kerja Sama
Dalam menggelar berbagai acara, Soliska selalu berkoordinasi dan bekerja sama dengan pihak lain. “Kami selalu berkoordinasi dengan Orang Muda Katolik (OMK) Paroki di mana kami mengadakan kegiatan. Kami juga mendapat dukungan dari banyak pihak, antara lain Bimas Katolik dan komunitas orang muda lainnya seperti Pecinta Alam Maria Assumpta,” tandas salah satu anggota presidium yang akan dilantik, Eduardus Oktavio.
Meskipun kegiatan Soliska ditangani oleh para anggota, namun dalam pelaksanaannya mereka tetap didampingi oleh guru agama Katolik di sekolah mereka masing-masing. Selain itu, mereka juga mendapat pendampingan dari Romo Yohanes Wegig H.N. yang saat ini menggembala di Paroki St Maria Assumpta Klaten.
Dengan berbagai kegiatan itu, para anggota sungguh merasakan manfaatnya. Salah satunya adalah Bastianus Budi R. yang tengah mendalami bidang Agro Industri di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. Menurut Budi, di Soliska telah belajar berorganisasi dan menjalin relasi dengan bermacam-macam karakter, yang menjadi bekal berharga.
Hampir 22 tahun berdiri, namun Soliska tak luput dari tantangan. Kurangnya dukungan dari sekolah adalah tantangan yang paling mereka rasakan. Kadang, sekolah tidak memberi izin para siswa untuk mengikuti kegiatan Soliska. Hal ini dirasakan oleh aktivis Soliska, Zita Apriliana. “Sebagian anggota Soliska terkadang sulit mengikuti kegiatan karena jadwal kegiatan di sekolah padat. Selain itu, rumah mereka jauh dari tempat kegiatan sehingga membuat orang tua kadang khawatir,” ungkapnya.
Vst. Asmodiwongso