HIDUPKATOLIK.com – Berasal dari keluarga non Katolik, ia justru memutuskan menjadi imam, lalu menekuni panggilan kerahiban. Ia berani menentang tradisi “perkawinan uji coba” dan menjadi pendoa bagi Gereja.
Tabansi dan sang istri, Ejikwevi, sedang berlimpah kebahagiaan. Putra pertama mereka lahir dengan selamat. Sang ayah menamai putra sulungnya, Iwene. Bagi suku Igbo, tiap nama punya makna dan harapan. Dalam bahasa Igbo, Iwemmaduegbunam atau Iwe-egbune berarti semoga kebencian manusia tidak membunuhnya. Tabansi, nama ayahnya, berarti sabar dalam menanggung penderitaan.
Selain nama, orangtua biasanya memberikan jimat kepada anak-anak mereka. Bentuknya beragam, misalnya akar, batu, dan bulu. Mereka yakin, jimat itu bisa menolak bala dan mendatangkan rejeki. Tabansi pun memberikan jimat untuk Iwene. Namun, saat berusia sembilan tahun, Iwene menghancurkan jimat pemberian sang ayah. Kala itu, setiap anak yang mau dibaptis harus terlebih dahulu membuang jimat dari orangtua.
Awalnya, Iwene khawatir. Namun, imam yang membaptisnya, Pastor Rubino berhasil meyakinkannya. Sang pastor membuktikan, jimat itu tak bisa meluputkan Iwene dari musibah. Saat itu, mata kiri Iwene buta akibat kecelakaan ketika sedang bermain dengan teman-temannya. Akhirnya Iwene berani menghancurkan dan membuang jimat itu. Ia dibaptis dengan nama Michael.
Mengenal Katolik
Iwene berasal dari keluarga animis, penganut politeisme. Kelahiran Aguleri, Nigeria, September 1903 itu mengenal kekatolikan sejak ia dikirim ke rumah pamannya, Robert Orekie. Orekie dan istrinya beragama Katolik. Dari merekalah, Iwene berkenalan dengan Gereja Katolik.
Mayoritas penduduk di kampung pamannya beragama Katolik. Kondisi ini menjadi lahan subur bagi tumbuhnya benih-benih kekatolikan dalam diri Iwene. Setelah tiga tahunan tinggal di sana, Iwene pun minta dibaptis.
Pada 1913, Iwene mulai mengenyam pendidikan dasar di Onitsha, Nigeria Tenggara. Onitsha, kota terkenal di Nigeria yang menjadi pusat bisnis, pendidikan, dan keagamaan. Ia masuk sekolah Katolik favorit, Tri Tunggal Maha Kudus.
Menjelang lulus, ia mohon kepada pimpinan sekolah agar diperkenankan mengajar di almamaternya. Permohonan Iwene tak langsung dikabulkan. Pimpinan sekolah memintanya melanjutkan kursus dan mengasah keterampilan mengajar di Sekolah St Joseph, Aguleri.
Pada 1920, ia lulus dan mendapat sertifikat sehingga bisa mengajar di almamaternya. Pada 1922, Iwene didera prahara. Ibunya meninggal. Ia yakin, tragedi naas itu adalah buntut dari keyakinan sesat. Konon pada masa itu, jumlah kematian anak kecil di kampung halamannya meroket tajam. Dukun yang dianggap masyarakat bisa mengetahui kejadian tak kasat mata mengatakan, anak-anak di desa Aguleri mati karena kuasa setan.
Bala itu, lanjut si dukun, bisa dihentikan bila ada penduduk rela menjadi tumbal. Tanpa banyak pertimbangan, ibunya, Ejikwevi bersedia menjadi tumbal dengan menenggak racun. Belakangan baru diketahui, kematian anak-anak di desa itu disebabkan wabah kolera. Peristiwa kematian sang ibu menjadi salah satu alasan Iwene menginginkan adik-adiknya dibaptis menjadi Katolik agar tak terjebak pengaruh aliran sesat. Dua dari empat saudaranya, yakni Obadiegwu dan Ekemezie dibaptis dengan nama Vincentius dan Stephanus.
Pembela Perempuan
Pada 1924, Iwene dipercaya menjadi Kepala Sekolah St Joseph, Aguleri. tanggung jawab itu hanya ia emban selama setahun. Dalam refleksinya, ia merasakan terpanggil menjadi imam. Namun, pilihan itu ditentang oleh keluarga besarnya. Bagi masyarakat Nigeria kala itu, sangat aneh bila laki- laki tidak menikah. Bahkan, banyak laki-laki justru berpoligami.
Meski banyak tantangan, Iwene teguh pada keputusannya. Ia bertekad menjadi gembala umat. Pada periode 1925-1931, Iwene menjalani pembinaan di Seminari St Paulus, Igbariam, Nigeria. Lalu, pada 1932 ia dipercaya menjadi Prokurator Balai Latihan di tempat yang sama. Kemudian pada 1933-1934, ia menjalani probasi di Umulumgbe, Eke, Nigeria.
Semakin tinggi pohon berdiri, semakin besar angin menggoyang. Pepatah itu kurang lebih menggambarkan situasi batin Iwene. Menjelang tahbisan diakon, ia justru merasa kian gelisah dan bimbang. Ia merasa studinya tak banyak berkembang. Ia mensharingkan kegalauan hatinya kepada Bapa Rohaninya. Pembimbingnya memberikan kebebasan pada Iwene. Seandainya menjadi imam membebaninya, Iwene bisa keluar. Atau, tetap memilih menjadi imam.
Dalam pergumulannya, Iwene memutuskan tetap melanjutkan formasi calon imam. Pada 19 Desember 1937, ia bersama dua rekannya: William Obelagu dan Joseph Nwanegbo ditahbiskan menjadi imam Diosesan Onitsha oleh Uskup Agung Onitsha, Mgr Charles Heerey CSSp (1890- 1967), di Katedral Tri Tunggal Maha Kudus Onitsha.
Sebagai imam muda, Iwene ditugaskan sebagai Pastor Pembantu di Paroki Nnewi (1937-1939). Ia bersama Pastor Kepala John Anyogu kerap blusukan ke kampung-kampung, menyapa dan melayani umat. Ia ditugaskan ke beberapa paroki lain. Selain itu, ia mendirikan dua kelompok pembinaan pra-nikah yang berfokus kepada kaum perempuan, yakni Kelompok St Anna untuk perempuan yang sudah menikah secara adat, dan Kelompok St Maria untuk perempuan yang belum menikah.
Dua kelompok itu lahir sebagai reaksi maraknya budaya ‘percobaan kawin’ di Nigeria. Pastor Iwene merasa, budaya itu justru merendahkan martabat kaum hawa. Ia tak ingin kaum perempuan dijadikan komoditas atau ‘kelinci’ percobaan dari suatu ikatan yang sebenarnya sakral.
Ganti Haluan
Meski banyak karya pastoral dibuat, Pastor Iwene merasa panggilan melayani Allah justru terletak dalam hidup kontemplasi dan doa. Ia berharap, semangat itu bisa memberi kesegaran bagi umat Katolik di Nigeria. Maka, ia mengajukan permohonan kepada Mgr Heerey untuk menjadi seorang rahib. Gayung bersambut. Bapa Uskup mendukung cita-cita imamnya. Pada 1950, Pastor Iwene menanggalkan status sebagai imam diosesan dan berlayar menuju Biara Benediktin “Mount St Bernard” di Inggris.
Selama beberapa tahun, Iwene menjalani formasi untuk menjadi rahib. Sebagai rahib, ia memilih nama “Cyprian”.
Pada 1962, Keabbasan Mount St Bernard berencana membuat biara di Bamenda, Kamerun. Rahib Cyprian ditunjuk menjadi pimpinan di sana. Sayang, sebelum menjalankan perutusan di Afrika, ia wafat pada 20 Januari 1964 karena sakit. Jasadnya dimakamkan di Biara Mount St Bernard. Pada 17 Oktober 1986, jasadnya dipindahkan di samping Katedral Tri Tunggal Mahakudus Onitsha.
Pada 1990, Takhta Suci membuka proses penggelaran kudus untuk Rahib Cyprian. Ia dikenal sebagai seorang pendoa, pemberani, pelayan setia, dan gigih. Selain itu, tak sedikit umat bersaksi akan mukjizat kesembuhan lewat perantaraan doanya. Pada 11 Juli 1995, Bapa Suci Yohanes Paulus II mengesahkan dekrit kesaksian hidup dan teladan iman Rahib Cyprian. Dalam kunjungan pastoral ke Oba, Nigeria, 22 Maret 1998, Bapa Suci membeatifikasinya. Gereja memperingatinya tiap 20 Januari.
Yanuari Marwanto