HIDUPKATOLIK.com – Banyak orang merasa miris saat bersentuhan dengan para penderita HIV/AIDS. Namun, tak sedikit orang yang merenda kepedulian terhadap mereka. Karena cinta dari orang-orang terdekat, mereka masih punya harapan.
Kami ibarat penjaga sumur Yakub. Orang datang menimba air, menimba semangat hidup, lalu pergi melanjutkan kehidupan. Tugas kami menjaga sumur itu agar menjadi oase rasa aman bagi para penimba. Demikian ungkap Pimpinan Ruang Carlo, Dokter Emon Winardi. Ruang Carlo merupakan unit di Rumah Sakit (RS) Sint Carolus Jakarta. Di ruang inilah para pasien yang terinveksi virus HIV/AIDS mendapat peneguhan, lalu bangkit memperjuangkan kehidupan.
Jejak pelayanan bagi penderita HIV/ AIDS di RS Sint Carolus dirintis sekitar awal 1990-an. Kala itu, pelayanan cek kesehatan masih satu pintu dengan Unit Rawat Jalan. Pun tidak banyak orang yang datang untuk memeriksakan diri. Pasalnya pada masa itu, virus HIV/AIDS masih dipandang tabu. Para pengidap virus ini disingkirkan atau tersingkir dari pergaulan. “Pada masa itu, orang yang meninggal dunia karena HIV/ AIDS, kalau bisa kasur yang ia gunakan pun dibakar, dengan asumsi agar orang lain tidak terjangkit penyakit ini,” kisah dokter Emon saat ditemui di RS Sint Carolus, Jumat, 2/1.
Namun, setiap tahun, jumlah para penderita virus mematikan ini di Jakarta semakin bertambah. RS Carolus menjadi tempat menyambung harapan hidup bagi para penderita, meski dengan seribu cara agar tak tertangkap mata keluarga maupun masyarakat. Karena itu, pada 2012, RS Carolus mengambil kebijakan untuk memisahkan pasien HIV/AIDS dari unit rawat jalan. Sejak Agustus 2014, RS Carolus melayani tes HIV/AIDS untuk sekitar 1200 orang. Pemeriksaan ini tak dipungut biaya alias gratis.
Pulihkan harapan
Pelayanan kepada pasien HIV/ AIDS, kata Dokter Emon, tak seperti melayani para pasien lain. Tidak hanya datang, sampaikan keluhan, dokter atau perawat memeriksa, ambil resep dan obat, lalu pergi. Yang paling utama dalam mengobati para penderita HIV/ AIDS adalah mengembalikan harapan dan semangat hidup. Sebab, lanjut dr Emon, menjadi pasien HIV/AIDS atau mempunyai kerabat, keluarga, atau sahabat yang menderita penyakit ini, mau tak mau berhadapan dengan aneka diskriminasi dan stigma sosial. Tak jarang pula penolakan justru datang dari keluarga. Kesendirian, ketersingkiran, kebingungan, kecemasan, bahkan putus asa, menjadi beban psikologis yang harus ditanggung. Maka, periksa dan beri obat tidaklah cukup. Ruang Carlo juga menyediakan konselor dan beberapa tenaga pastoral untuk mendengarkan keluh kesah dan curahan hati para pasien HIV/AIDS.
Sr Sesilia Widiastari CB yang sehari-hari bekerja sebagai konselor di Ruang Carlo mengisahkan, beragam persoalan dan beban hidup para pasien sudah menjadi santapan setiap hari. Derai air mata dan luapan penyesalan pun jatuh menimpa meja konsultasi. Bilur-bilur masa lalu yang selama ini terlabur obat terlarang dan seks bebas kembali diurai. Tujuannya hanya satu, membuat pasien terbebas dari beban berat dan mengais titik-titik harapan agar kembali memandang masa depan dengan lebih jernih.
“Biasanya saya mengawali dengan kata-kata, anggaplah saya ibumu, ayahmu, pacarmu, atau salah satu dari orang terdekatmu yang ingin bangkit bersama menatap masa depan,” kata Sr Sesil mengulang penghiburan yang biasa ia beri untuk pasien HIV/AIDS. Dalam “ruang curhat” itu pula, para pasien diberitahu petunjuk yang harus diikuti agar kembali hidup normal, sekaligus merawat diri agar tak menularkan virus kepada orang lain.
Melibatkan keluarga
Memang untuk bangkit, seorang pasien HIV/AIDS tidak bisa bertumpu di atas dua kaki sendiri. Mesti ada kaki-kaki lain yang turut menopangnya, memberi arah ketika ia terlanjur gagap menata “kehidupan keduanya”. Keluarga, menurut Dokter Emon, menjadi organ terpenting bagi kehidupan baru ini. “Misal lewat pendampingan minum obat dan mengingatkan si pengidap agar mengkonsumsi makanan sehat. Ini sangat menentukan keberhasilan seorang pasien saat mengatasi sakitnya.”
Agar keluarga bisa terlibat, dibutuhkanlah keberanian si pasien untuk terbuka, terus terang tentang penyakitnya. Ini menjadi soal yang kadang rumit. Tak semua pasien berani terbuka. Apalagi kejujuran itu harus diutarakan kepada suami, istri, atau sang pacar. Ada rasa takut ditolak atau ditinggal.
Untuk mengatasi ini, Sr Sesil bersama rekan-rekannya punya cara. Keluarga pasien diundang ke Ruang Carlo dan dijelaskan secara perlahan-lahan, termasuk cara hidup berdampingan dengan penderita HIV/AIDS. Biasanya, ujar Sr Sesil, setelah menerima dan memahami yang mereka sampaikan, terjadilah rekonsiliasi. Jalinan kasih lewat perhatian antar anggota keluarga makin erat. Pasien pun sadar, ia yang sudah tertular HIV/AIDS toh tetap diterima keluarga. Di situlah cinta yang tak terselami menyata.
Pintu ke pintu
Aksi kepedulian kepada penderita HIV/AIDS juga digarap Romo Lambertus Somar MSC, melalui Pusat Rehabilitasi Narkoba Kedaton Parahita yang berada di kawasan Sentul City, Bogor, Jawa Barat. Mula-mula, Kedaton Parahita memang khusus untuk rehabilitasi korban narkoba. Namun, seiring waktu, setiap residen yang direhabilitasi di tempat ini memiliki peluang besar terpapar HIV/ AIDS. Maka, yang disembuhkan bukan hanya ketergantungan kepada narkoba, tetapi juga pemulihan kesehatan dari rongrongan HIV/AIDS.
Di Kedathon Parahita, hanya Romo Somar dan beberapa dokter yang boleh mengetahui residen yang mengidap virus ini. Hasil tes kesehatan residen tidak dibuah bibirkan. Selain untuk mengurangi beban psikologis residen, juga untuk pilihan perawatan yang harus diberikan kepada mereka.
Selain itu, Romo Somar juga mendampingi banyak pasien secara pribadi. Biasanya ada orang yang datang berkonsultasi mengenai penyakitnya. Jika dirasa perlu, si pasien direkomendasikan untuk mengikuti tes HIV/AIDS. Bagi mereka yang terdiagnosa mengidap HIV/AIDS, Romo Somar akan mendamping. “Mereka tak perlu diasingkan. Mereka hidup seperti biasa dalam keluarga, hanya diberi obat dan pemahaman tentang cara perawatan diri. Sekali lagi, saya tidak menceritakan hasil pemeriksaan ke siapapun. Cukup saya dan dokter yang tahu,” tandas Romo Somar.
Kesediaan menerima sekaligus terus memberi harapan hidup kepada para pasien HIV/AIDS juga bisa disaksikan lewat film “Nada untuk Asa” yang bakal tayang di bioskop mulai 5 Februari 2015. Film yang didukung Seksi Komunikasi Sosial Keuskupan Agung Jakarta (KOMSOS KAJ), RS Sint Carolus, dan Kompas Gramedia ini berkisah soal harapan seorang ibu dan putrinya seusai melewati masa gelap ketika terdiagnosa mengidap HIV/AIDS. Lewat Film itu, Gereja ingin mengemukakan bahwa apapun tantangan dan rintangan, Gereja selalu berada di sisi para penderita HIV/ AIDS. Gereja akan terus bersama menimba harapan dan memandang hidup dengan lebih optimistis hingga Tuhan menjemput.
Stefanus P. Elu