HIDUPKATOLIK.com – Pemberdayaan dan pendampingan terhadap para Pekerja Rumah Tangga (PRT), khususnya PRT anak menjadi salah satu gerakan yang diusung oleh Mitra ImaDei. Paguyuban ini mendampingi PRT di daerah Bekasi dan Tangerang sejak 2008 hingga kini. Para PRT dan PRT anak yang didampingi Mitra ImaDei sekitar 300 orang. Namun mereka datang dan pergi. Mereka ada yang tinggal di rumah pengguna jasa dan ada juga yang pulang ke rumah setelah selesai melakukan pekerjaan mereka.
Melalui pendampingan dan pemberdayaan itu diharapkan bisa menjadi salah satu upaya mengangkat martabat para PRT. Harapannya banyak pihak juga bisa turut ambil bagian dalam pemberdayaan PRT, termasuk Gereja. Berikut petikan wawancara HIDUP dengan Koordinator Program Mitra ImaDei, Agustina Rina Satdewi.
Seperti apa pemberdayaan dan pendampingan terhadap para PRT?
Pemberdayaan dan pendampingan terhadap PRT, khususnya PRT anak bisa dengan membekali berbagai keterampilan sebagai modal mereka. Sehingga anak-anak ini nanti bisa memiliki pilihan lain dalam bekerja selain menjadi PRT. Para PRT yang didampingi berasal dari beragam agama, Katolik maupun bukan Katolik.
Pemberdayaan dan pendampingan kepada para PRT anak itu terdorong oleh harapan untuk menghapus pekerja anak di Bekasi dan Tangerang yang marak terjadi. Dua wilayah itu merupakan daerah penyangga ibukota. Kebutuhan PRT banyak di sana. Kami ingin berkontribusi untuk menghapus PRT anak. Fokus kami agar anak-anak tidak lagi menjadi PRT.
Strategi atau model pendampingan untuk PRT seperti apa?
Strategi kita adalah membuka akses agar mereka melanjutkan atau menempuh pendidikan. Meskipun peminatnya sedikit, kita bantu Program Pendampingan Anak Program Pengurangan Kemiskinan (PPA PKH) yang dimotori Kementerian Tenaga Kerja dan Kementerian Sosial. Kami bantu agar PRT anak yang mau sekolah mendapat keringanan biaya, bebas biaya gedung, pengurangan SPP dan lain-lain. Kami juga membelikan buku-buku dan meringankan biaya untuk membeli seragam sekolah.
Kita juga menyertakan mereka mengikuti kejar paket A, B, atau C. Rata-rata usia PRT yang kami damping 13-18 tahun. Selain itu, kami juga membuka ke sempat an kepada PRT yang ingin mengikuti pelatihan ketrampilan, misalkan untuk anak perempuan: kursus menjahit, menata rambut, memasak, dan membuat kue. Untuk anak laki-laki kursus otomotif. Kami berusaha untuk membuka pikiran mereka bahwa ada pekerjaan alternatif yang bisa dipilih. Mereka bisa pindah ke tempat yang lebih baik.
Kami juga memberikan soft skill atau life skill, seperti meningkatkan pengetahuan akan hak mereka, memahami permasalahan-permasalahan yang dihadapi, memberikan pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi, dan mengelola ke uangan. Kami mengajak para PRT mengembangkan hobi, dengan bermain teater. Teater memiliki dua fungsi.
Pertama, sebagai sarana menyalurkan bakat dalam bidang seni. Kedua, menjadi alat kampanye untuk menyuarakan suara para PRT, terkhusus PRT anak. Tahun 2013 dan 2014 teater PRT anak mengadakan pentas dalam rangka peringatan hari penghapusan pekerja anak.
Selama ini, bagaimana pemberdayaan dan pendampingan PRT ini digarap, termasuk oleh Gereja?
Untuk mengajak PRT ambil bagian dalam kegiatan pemberdayaan dan pendampingan yang kami buat ada hambatan-hambatan yang muncul. Dari pengguna jasa dan dari orangtua PRT. Namun yang lebih lagi dari PRT itu sendiri. Secara umum, PRT sulit diajak berorganisasi. Padahal dengan berkelom pok, berorganisasi, mereka diajari bernegosiasi dengan pengguna jasa atau majikan. Sayang, berorganisasi belum dilihat sebagai suatu kebutuhan.
Selain itu, bisa dihitung lembaga, kelompok, NGO, yang menangani tentang PRT ini. Di dalam Gereja sendiri hal ini masih terus diupayakan. Salah satu strategi yang mungkin efektif melalui kelompok perempuan Katolik, WKRI misalkan. Kita bisa membuat terobosan untuk menjawab realita dan permasalahan di masyarakat terkait PRT. Contoh: membuat program yang transformatif, termasuk untuk memberdayakan dan mendampingi para PRT. Para klerus pun bisa mengajak umat ambil bagian dalam meningkatkan martabat dan memberdayakan para PRT.
Dalam Konvensi ILO no 189 tahun 2011, dijelaskan mengenai kerja layak untuk PRT. Kita mesti mengupayakan hal tersebut, membuat kerja sebagai PRT seperti pekerjaan yang lain. PRT bukan sekedar helper, pekerja di wilayah domestik. PRT mesti diperlakukan secara manusiawi seperti pekerja lain. Kita harus meng – angkat martabat PRT sebagai manusia. Penghargaan kepada mereka bisa di mulai dengan menyebut mereka: pekerja rumah tangga.
Maria Pertiwi