HIDUPKATOLIK.com – Tidak ada yang baru. “Bapak, di sini kami sudah terbiasa beli bahan bakar minyak (BBM) dengan harga 18 ribu rupiah seliter. Orang Jakarta saja yang heboh setiap kali BBM naik.” Itu kata sopir yang menjemput saya di Bandara Sorong, Papua, saat saya melawat ke sana, tak lama setelah pemerintah menghapus subsidi BBM. “Susahnya, uang ada, tapi barang langka. Itu soalnya,” sambung dia lagi.
Tak ada kegetiran dalam nada bicaranya. Seolah, ia sudah menerima sebagai fakta bahwa jatah BBM untuk mereka memang kecil, meski tak jauh dari situ ada salah satu pusat pengeboran minyak mentah terbesar di negeri ini. Namun, seluruh minyak itu dialirkan lewat pipa-pipa besar langsung ke kapal tanker raksasa, yang lalu membawa ke negeri lain.
Pernyataan ini menyentak sanubari saya. Sementara, di beberapa daerah di Jawa dan yang lain, terjadi demonstrasi dan bentrok, akibat “kenaikan” harga BBM. Ban dibakar, polisi dipanah, kampus diserbu, mahasiswa ditangkapi. Pada saat yang sama, para supir angkutan mogok dan menyerukan ancaman.
Bumi Papua selalu panas diberitakan di berbagai media. Tapi, di sana saya bertemu dengan orang yang cinta damai, penduduk asli maupun pendatang. Emosi mereka tidak mudah dibakar oleh selisih harga BBM, yang di tempat itu dari sejak lama memang sudah gila-gilaan akibat langka persediaan. Jika sial tak kebagian BBM, harus menunggu seminggu untuk mengisi. Itu sudah biasa! Maka, kenaikan harga BBM, bukanlah barang baru. Yang baru, justru jika tiba-tiba stok melimpah dan tak ada lagi kelangkaan.
Di Sorong, Papua, menjelang akhir 2014, saya belajar makna baru dari kata “baru”. Di satu tempat dianggap baru dan menghebohkan, di tempat lain sudah hampir usang. Kenaikan harga BBM bagi rakyat Papua, nyatanya hanya kelanjutan dari yang lama. Koran ramai menyebut kenaikan harga BBM hanya penghapusan subsidi. Harga sama, tetapi sebagian beban biaya selama ini ditanggung negara.
Ada hal lain yang saya pelajari dari lawatan itu, bahwa waktu adalah hasil imajinasi manusia, bukan hukum alam yang mengatur hidup manusia. Ada perbedaan waktu dua jam antara Jakarta dan Papua, dengan Papua lebih maju dua jam. Namun anehnya, Singapura yang terletak sebujur dengan Sumatra lebih maju satu jam daripada Jakarta. Jadi, sama dengan waktu di Bali atau Sulawesi. Siapa yang menentukan ini? Posisi matahari terhadap bumi? Bahkan, pernah ada wacana untuk menyeragamkan waktu di seluruh wilayah Indonesia demi efisiensi.
Manusia membagi waktu menjadi tahun, bulan, minggu, hari, jam, dan detik. Tapi, waktu sesungguhnya tidak terkungkung oleh matematika dan kotak apapun. Tak ada yang bisa melarang, bila ada orang mau menganggap satu hari sebagai 73 jam, atau menjadikan waktu Papua tiba-tiba sama dengan Jakarta, walau mungkin sebentar akan menghebohkan. Waktu senantiasa sama, dari dulu hingga sekarang. Yang berubah adalah kita; menjadi tua, menyongsong kematian, sembari terus memupuk harapan.
Jika demikian, mungkin tak perlu setiap tahun kita membuat resolusi, seolah memasuki kehidupan baru pada tahun yang baru. Kita selalu diperbarui, entah menjadi lebih baik atau lebih buruk, sebab baru tak selalu berarti lebih baik dari sebelumnya. Sebab pula, yang baru bisa jadi adalah kelanjutan dari yang lama, tapi mengambil wujud berbeda, dan sebab menjadi baru tidak selamanya harus membuang yang lama jauh-jauh.
Kesadaran kita tentang diri sendiri yang berubah seiring waktu berlalu. Pengenalan kita akan diri sendiri yang mesti selalu diperbarui lewat perjumpaan dengan orang lain dan refleksi atas perjumpaan itu. Jika ada yang harus diberi ucapan selamat, bukanlah tahun yang “baru”, melainkan kesadaran baru tentang siapa kita dan bagaimana relasi kita dengan semesta tempat kita mengada. Selamat menjadi baru!
Manneke Budiman