web page hit counter
Senin, 23 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

2014: Akhirnya Ada Harapan

Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Tahun 2014 merupakan tahun pemilihan. Pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum presiden/ wakil presiden berlangsung tanpa masalah serius, tanpa keributan. Tahun ini pun para pendukung calon presiden yang kalah menerima hasilnya. Sekali lagi, rakyat membuktikan kematangan berdemokrasi.

Tapi, masalah muncul dari elit politik. Kubu Prabowo kecewa berat. Calon mereka yang setahun sebelumnya terlihat maju dengan mulus ke arah kemenangan, dikalahkan tipis oleh seorang Joko Widodo alias Jokowi yang muncul mendadak di luar segala perhitungan. Apalagi sebelumnya, Jokowi dibantu oleh Gerindra, partai yang dipimpin Prabowo, dalam perebutan Gubernur DKI Jakarta.

Karena sakit hati, partai-partai pendukung Prabowo membentuk Koalisi Merah Putih (KMP). Mereka segera memakai suara mayoritas di DPR untuk menghapus pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat. Mereka juga menduduki semua posisi penting di MPR dan DPR. Jokowi tidak akan bisa berkutik. Rasakna!

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Apa mereka menyadari betapa gawat situasi itu? Indonesia yang majemuk hanya bisa bersatu dalam damai, kalau mereka bersedia saling mengakui dalam perbedaan, bersedia bermusyawarah. Sikap mutlak-mutlakan, seperti terjadi pada era 1960-an antara pro dan anti komunis, di Indonesia hanya bisa berakhir dengan kekerasan, dengan darah mengalir. Padahal konfrontasi antara KMP dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), partai-partai pendukung Jokowi, bukan karena perbedaan ideologis, dan bukan karena KMP menolak rencana-rencana politik Jokowi.

Penguncian Jokowi semata-mata karena rasa kecewa, tersinggung, mau balas dendam. Perasaan-perasaan paling rendah manusia. Kalau perpolitikan Indonesia dijalankan atas dasar balas dendam, “Selamat malam Indonesia!” Rasa tersinggung dan dendam kesumat sama dengan mata gelap.

Demokrasi tidak akan hidup berkelanjutan. Dan itu juga berarti, hak-hak asasi manusia, termasuk kebebasan beragama, tidak akan langgeng. Akan ada ke diktatoran mayoritas lain, mayoritas berdasarkan primordialisme. Karena itu situasi pada tahun ini sungguh-sungguh serius.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Tapi, ternyata para elit politik, ya KMP juga, menjadi sadar, bersedia mundur dari konfrontasi mutlak-mutlakan. Dua koalisi itu mulai berkomunikasi. Puncak kesediaan itu tercapai saat Prabowo bertemu Jokowi dan menghadiri pelantikannya. Akhirnya para tokoh dari dua koalisi yang berlawanan itu mulai duduk bersama, mencari jalan terbaik.

Belum tentu tidak ada kesulitan lagi. Bisa saja Jokowi akan berhadapan dengan oposisi yang menguasai DPR. Tapi itu tak fatal. Justru oposisi yang memegang mayoritas memikul tanggung jawab agar pemerintah yang mereka kontrol berhasil. Kalau pemerintah gagal karena semua rencana baik diboikot, yang gagal adalah oposisi. Sebaliknya, kalau sesuai dengan budaya demokrasi, oposisi menyertai pemerintah dengan kritis, dua-duanya bisa berhasil.

Tahun 2014 yang potensial gawat ini menghasilkan dua fakta yang membesarkan hati. Pertama,para politisi kita menunjukkan kebesaran hati untuk mengakhiri konfrontasi mutlak-mutlakan. Kalau semangat itu diteruskan, Indonesia, sebagai negara suatu bangsa yang amat majemuk, dapat penuh kepercayaan diri maju terus.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Kedua, meski pada puncak kampanye unsur agama masuk dengan buruk, bahkan ada yang mengangkat bahasa perang suci, namun agama-agama di Indonesia tak membiarkan diri terseret dalam rebutan perpolitikan. Muhammadiyah dan Nadlatul Ulama (NU), dua organisasi yang mengungkapkan sikap mainstream umat Islam Indonesia, selama seluruh kampanye tetap tidak berpihak. Begitu pula agama- agama lain. Mainstream agama-agama tidak mau melayani politisasi agama.

Dua kenyataan itu, bagi saya merupakan perkembangan paling penting tahun 2014. Keduanya menunjukkan kematangan demokrasi. Maka, kita boleh berharap, Indonesia tetap akan maju sebagai negara demokrasi, di mana pelanggaran hak asasi manusia tidak dibiarkan dan kebebasan beragama dijamin.

Franz Magnis Suseno SJ
Guru Besar STF Driyarkara Jakarta

ARTIKEL SEBELUMNYA
ARTIKEL SELANJUTNYA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles