HIDUPKATOLIK.com – Di Banda Aceh, hanya ada satu sekolah Katolik. Bersama orang yang berkehendak baik, Keuskupan Agung Medan ikut mencerdaskan anak bangsa di provinsi yang menerapkan Syariah Islam ini.
Kartini masih merekam jelas pertemuannya dengan Pastor Ferdinando Severi OFMConv (1991-2007) pada 14 Juli 2007. Kala itu, ia melamar sebagai guru Bahasa Aceh. Kebetulan SD Karya Budi, Banda Aceh membutuhkan seorang guru pelajaran tersebut. Tanpa banyak kata, Pastor Ferdinando, Ketua Pelaksana Yayasan Budi Dharma langsung menerima Kartini di sekolah milik Keuskupan Agung Medan.
Kini, perempuan kelahiran Bireun, 20 Oktober 1986, sudah enam tahun berkarya di satu-satunya sekolah Katolik di Banda Aceh. Selain Kartini, masih ada lima guru beragama Islam di lembaga pendidikan yang berdiri sejak 1964 ini. “Saya betah di sini. Sama sekali tak ada paksaan soal keyakinan. Di sekolah ini, ada lima agama dan beragam suku. Jadi, saya juga belajar saling menghargai,” paparnya.
Istri Afrizal Mirza tak memungkiri, tetangga sempat mempertanyakan alasannya mengajar di sekolah Katolik. Bahkan, ada juga yang meragukan keimanannya. Menghadapi hal itu, Kartini selalu menanggapi dengan santun. Ia pun selalu terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan dan keagamaan, seperti wirid (pengajian) yang diadakan hampir setiap pekan.
Perlakuan yang sama juga sempat dialami Fera Indah Sari. Satu-satunya siswi Muslim di SMP Katolik Budi Dharma. Kerap kali ia ditanya tetangga dan teman-teman ngaji karena masuk sekolah Kristen. Fera mengakui, memilih sekolah ini karena tidak gol masuk negeri. Lalu sang ayah, David Jhon memasukkannya ke almamaternya. “Tahun per tama, saya memang mau pindah. Tapi sekarang saya malah senang di sini karena banyak kegiatan dibanding sekolah lain,” ungkap gadis yang sempat didapuk dua kali menjadi mayoret di sekolahnya.
Menurut Ketua Pelaksana Yayasan Pendidikan Katolik (YPK) Budi Dharma Romo Hermanus Sahar, kehadiran karya Gereja di Tanah Rencong mestinya terus berusaha merangkul semua orang dan mencerdaskan seluruh anak bangsa, secara khusus anak-anak di wilayah ini. Maka sekolah ini terbuka bagi anak-anak dan karyawan dari berbagai keyakinan dan kultur.
Ragam Tantangan
Meski YPK Budi Dharma merupakan satu-satunya perguruan Katolik di Banda Aceh, banyak umat Katolik justru menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah negeri atau ke daerah lain. Tak ayal, mayoritas siswa di sekolah Katolik justru dari kalangan non-Katolik. “Mayoritas siswa di sekolah ini Protestan,” ungkap Fr Shan Sinaga.
Ada banyak sebab yang memantik fenomena itu. Menurut Fr Shan, umat Katolik berasal dari berbagai daerah. Mereka tinggal di Aceh karena penempatan kerja dari institusi. Usai masa tugas di Aceh, lalu mereka pindah ke tempat lain. Tantangan paling besar dan utama yang dihadapi YPK ialah sekolah negeri di sana membebaskan uang sekolah alias gratis. “Para guru dan karyawan di sini masih digaji oleh murid. Sedangkan sekolah negeri bisa bertahan karena suntikan dana pemerintah,” katanya.
Stanley Djebadu, guru agama dan musik SMP menambahkan, ada juga siswa yang lulus dari sekolah ini memilih sekolah lain untuk mencari suasana baru. “Ada siswa yang begitu lulus SD atau SMP pindah kesekolah negeri. Lalu ada juga yang berasal dari sekolah negeri masuk ke sekolah ini. Rata-rata banyak yang ingin merasakan lingkungan baru,” imbuhnya.
Fr Shan dan Stanley bersyukur, murid Katolik di sekolah negeri masih mendapat kesempatan menerima mata pelajaran Pendidikan Agama Katolik tiap Jumat, pukul 12.00-13.00 di pastoran. Katekis dan frater memberi pelajaran agama untuk mereka.
Penerapan Syariah
Beberapa sekolah negeri di Banda Aceh mengharuskan seluruh siswi, termasuk Katolik memakai jilbab selama berseragam sekolah atau berada di lingkungan. Aturan ini merupakan realisasi pemberlakuan Syariah Islam. Dalam pelaksanaan, sekolah negeri mewajibkan seluruh siswi berjilbab.
Aturan ini dirasakan oleh Maria Sisca, Nelly Jessica Sihaloho, dan beberapa siswi Katolik di SMA Negeri 12. Mereka diwajibkan memakai jilbab selama mengenakan seragam sekolah. Sedangkan di SMK 1, Yuni Sinaga diharuskan memakai ciput sebelum memakai kerudung untuk menyembunyikan rambut yang dianggap sebagai mahkota perempuan. Berbeda dengan teman- temannya, Monica Devi Sidauruk, siswi SMA 3 justru tak diwajibkan memakai jilbab di sekolah.
Romo Herman secara tegas mengungkapkan, penerapan Syariah Islam memberat kan masyarakat non-Islam. Ia membeberkan, dalam Hukum Jinayat yang akan di berlakukan tahun 2015, ada aturan tentang Khamar, yaitu minuman yang memabukkan dan atau mengandung alkohol dengan kadar dua persen atau lebih. Pasal terkait Khamar menyebutkan, tiap orang yang sengaja minum khamar diancam ‘Uqubat Hudu‘ cambuk 40 kali. Selain itu, masih ada denda emas. “Saya minta agar masyarakat Indonesia mencegah agar aturan ini tidak disahkan Mendagri,” tegasnya.
Dalam pemberitaan media lokal, Gubernur Aceh, Zaini Abdullah menegaskan kepada diplomat negara-negara Eropa, Syariat Islam di Aceh dan Qanum Hukum Jinayat hanya berlaku bagi umat Muslim di Aceh. Menurut Romo Herman, bila disahkan pemerintah, Hukum Jinayat yang bersumber dari ajaran Islam tak hanya mengikat umat Islam, melainkan semua warga yang tinggal di Aceh, termasuk non-Islam. “Ini tidak benar. Masa hukum parsial menjadi aturan untuk semua warga. Indonesia sudah punya aturan, dan Aceh adalah bagian Indonesia,” paparnya.
Romo Herman menuturkan, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Aceh tidak bersuara soal ini. Sosialisasi Hukum Jinayat hingga kini belum terealisasi. Ia juga minta saran terutama dari para akademisi untuk memberikan pencerahan soal pemberlakuan Hukum Jinayat ini. “Masukan, saran, atau ide sangat saya butuhkan. Berbagai saran itu akan saya sebarkan kepada para pemuka umat beragama lain,” harapnya.
Tetap Bersukacita
Tahun ini, Natal kedua bagi Romo Herman sebagai gembala umat di Aceh. Ia mengajak seluruh umat di parokinya tetap bersukacita meski berada di tengah mayoritas umat Muslim. Ia berharap, umat bisa mempersiapkan hati yang pantas untuk menyambut kedatangan-Nya sehingga sukacita yang dialami mampu dirasakan oleh semua orang.
Baginya, tak masalah jika tahun ini tak ada ucapan Natal yang terlontar dari sesama anak-anak Abraham seperti tahun lalu. “Sukacita Natal tetap harus dibagikan kepada orang lain lewat sikap dan perbuatan yang baik. Meski sulit, tapi itu tugas kita,” demikian Romo Herman.
Yanuari Marwanto