HIDUPKATOLIK.com – Situasi genting memuncak di Timor Timur pasca Jajak Pendapat 1999. Sejumlah imam, biarawati dan umat menjadi martir.
Wisma Skolastikat Jesuit di Jalan Kramat VII/25, Jakarta Pusat, mulai 4 Mei 2003, berganti nama menjadi “Wisma Dewanto”. Peresmian yang diadakan di depan garasi itu ditandai dengan upacara sederhana. Pater Unit kala itu, RP I. Wibowo Wibisono SJ (Alm.) dan Bidel Unit Fr Yohanes Agus Setiyono SJ membuka kain selubung penutup foto RP Tarcisius Dewanto SJ.
Kini ruang tamu wisma ini dihiasi lukisan Romo Dewanto, buah karya RP L. Bagus T. Dwiko N.P. SJ. Dalam lukisan itu, Romo Dewanto mengenakan kasula merah.
Nama “Dewanto” diambil dari martir Jesuit di Timor Timur (kini Timor Leste) yang dibunuh pada 6 September 1999. Pengabadian nama “Dewanto” sebagai nama Wisma Skolastikat itu menjadi salah satu bentuk apresiasi untuk mengenang sosok Romo Dewanto dan kemartirannya.
Tragedi Suai
Usai menerima tahbisan imam pada 14 Juli 1999 di Yogyakarta, Romo Dewanto menjalani perutusan perdananya. Imam kelahiran Magelang, Jawa Tengah, 18 Mei 1965 ini menjadi misionaris domestik di Timor Timur. Pada Agustus 1999, superiornya menempatkan Romo Dewanto di Paroki Suai. Kala itu, terjadi per golakan di Timor Timur. Kekerasaan dan pembunuhan massal terjadi di mana-mana.
Usai pengumuman Jajak Pendapat 4 September 1999, masyarakat diselimuti ketakutan dan trauma. Gelombang pengungsi melonjak drastis demi mencari perlindungan dan keselamatan. Salah satu target pengungsian ialah Paroki Suai. Di paroki inilah Romo Dewanto bertugas bersama dua imam Diosesan Dili, RD Hilario Madeira dan RD Francisco Soares.
Belum genap dua bulan sebagai imam, hidup Romo Dewanto sudah berakhir. Ber sama dua kolega imam dan beberapa umat di paroki yang ia layani, bungsu dari tiga bersaudara ini menjadi korban tragedi Suai. Insiden berdarah ini meninggalkan duka bagi umat, Serikat Yesus, dan Gereja. Apa-lagi setelah dibunuh, jenazah tiga imam itu tak diketahui keberadaannya.
Tiga hari pasca tragedi Suai, RP Josephus Ageng Marwata SJ yang tinggal di Re sidencia Jesuita Taibesi, Dili mendapat informasi pasti melalui telepon bahwa Romo Dewanto dan dua imam Suai di bunuh. “Saya tidak bisa bicara, Albrecht (RP Albrecht Karim Arbie SJ) yang tinggal bersama saya, mendekati saya. Saya katakan kepadanya tentang kematian Dewanto dan umat Suai. Dia mengatakan, keputusanmu untuk tetap mengirim Dewanto ke Suai dan kita untuk tinggal di sini, dibenarkan oleh Tuhan sendiri. Kita punya martir,” tutur Romo Ageng, meni rukan Romo Albrecht kala itu.
Duka belum usai menyelimuti, Serikat Yesus mesti kehilangan seorang imam lagi di Timor Timur. Pada 12 September 1999, Romo Albrecht ditembak di halaman rumah Jesuit di Taibesi. Ia wafat ketika dibawa dalam perjalanan ke poliklinik militer. Selang sehari, jenazah Romo Albrecht dimakamkan di kebun Residencia Jesuita Taibesi.
Penemuan Jenazah
Suasana di Timor Timur masih mencekam . Masyarakat berbondong-bondong mengungsi ke Kupang, Atambua, dll. Provinsial SJ Provinsi Indonesia (Provindo) kala itu, RP P. Wiryono Priyotamtama SJ mengirim frater untuk membantu mengurus pengungsi Timor Timur. Pada 10 September 1999, Fr Andreas Sugijapranoto SJ diutus pergi ke Kupang, Timor Barat dalam Tim Jesuit Refugee Services (JRS). Lalu Fr Y. Edi Mulyono SJ bergabung dalam misi yang sama.
Awal November 1999, Fr Andre di hubungi Pater Provinsial untuk menjadi “sak si” Tim Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang kala itu bernama KPP HAM, yang akan menggali kubur Romo Dewanto di pantai Metamau, Wemasa, Betun. Pantai ini berada di bagian Selatan Timor Barat. Saat itu, Fr Andre mengajak Fr Edi Mulyono untuk bergabung dengan KPP HAM, ber sama antara lain HS Dillon, Munir, dr Iskandar, tim dokter ahli forensik, dll.
Pada 25 November 1999, mereka pergi ke pantai Metamau. Romo Ageng dan Romo Louis Bonaparte de Rego turut pergi kesana untuk mengenali jenazah para imam. Juga pihak Palang Merah Internasional, Kapolda NTT, Kapolres, Kapolsek, Kejaksaan Tinggi NTT, dan Brimob.
Penggalian di pantai Metamau segera dilakukan. Ditemukan empat lubang, satu lubang berisi jenazah tiga pastor, dua lubang berisi jenazah orang-orang yang dibunuh, dan satu lubang berisi pakaian dan barang- barang milik para korban. Tempat pemakaman tersebut terletak sekitar 100 meter dari garis pantai.
Romo Ageng, Romo Louis, Fr Andre, dan Fr Edi Mulyono mengidentifikasi tiga jenazah imam yang ditemukan. Hampir seluruh daging jenazah yang ditemukan sudah hilang. Jenazah Romo Dewanto dikenali dari sepatu yang dikenakannya. Juga dari baju yang dikenakan, kaos bergaris vertikal. Romo Ageng, Direktur SMU St Yosef Dili waktu itu, pernah melihat Romo Dewanto memakai kaos bergaris vertikal tersebut. Romo Louis mengidentifikasi dua jenazah lain. Otopsi tiga jenazah pastor dilakukan di tempat.
Sementara di dua lubang berikutnya, ditemukan 24 jenazah awam. Hampir semua jenazah memakai jaket. Ada satu anak kecil berusia sekitar empat tahun. Ada seorang bapak memakai arloji di pergelangan tangannya. Ditemukan jenazah de ngan sepatu dan buku rapor SMP. Juga ditemukan kartu baptis, jepit rambut. Kemudian 24 jenazah awam dibawa ke RSUD Atambua untuk diotopsi.
Pada 26 November 1999, jenazah tiga pastor yang telah selesai diotopsi dibawa dan disemayamkan di Gereja Katedral Dili. Umat telah menunggu di Gereja sejak siang. Suasana haru menyelimuti Gereja Katedral Dili.
Hari berikutnya, 27 November 1999, diselenggarakan Misa Requiem yang dipimpin Mgr Carlos Filipe Ximenes Belo SDB. Jenazah Romo Dewanto dimakamkan di halaman belakang Residencia Jesuita di Taibesi, bersebelahan dengan makam Romo Albrecht. Sementara jenazah dua imam Keuskupan Dili disemayamkan keluarganya masing-masing.
Selain Romo Albrecht, Romo Dewanto dan dua imam Keuskupan Dili, masih ada imam-imam lain, biarawan-biarawati yang wafat di Timor Timur pasca Jajak pendapat 4 September 1999. Sedikitnya masih ada empat imam Keuskupan Dili yang menjadi korban, yakni RD Fransisco Tavares dos Reis dan RD Lofencio (Pastor Paroki Maliana), RD Fransisco Barreto (Direktur Yayasan Caritas), dan RD Domingos Soares da Silva (Pastor Paroki Letefoho). Dua Suster Canossian yang melayani pengungsi di Kabupaten Lospalos: Sr Hermina FdCC dan Sr Celes te FdCC, serta Frater Jacinto dan dua wartawan juga terbunuh.
Terus Dikenang
Romo Dewanto, Romo Albrecht, dan para imam lain serta biarawan-biarawati yang wafat di Bumi Timor mendapat tempat istimewa di hati umat dan Gereja. Keluarga Romo Dewanto pun mengadakan perayaan untuk mengenang kemartirannya. Pada 26 April 2000, sesudah Paskah, Ibunda Romo Dewanto, Bu Harno dan keluarganya mengunjungi makam Romo Dewanto di Dili. Sementara itu, Ekaristi digelar di Aula SMK Pius X, Magelang, untuk menandai peringatan 1000 hari wafatnya Romo Dewanto pada 7 Juni 2002, dan peringatan sewindunya, 6 September 2007. Hal serupa juga diadakan di Timor Leste, khususnya di Gereja Suai.
Monumen, prasasti, dan patung di buat untuk menghormati kemartiran yang menimpa mereka di Suai. Tiga patung dibuat: Romo Dewanto, Romo Hilario, dan Romo Francisco. Patung-patung itu diletakkan di depan Gereja Ave Maria Suai. Ada juga prasasti “Pe Tarcisius Dewanto SJ” yang didirikan di tempat Romo Dewanto dibunuh.
Masyarakat Timor Leste menyambut bulan September sebagai “Setembro Negro” (September Kelam). Biasanya pada 25 September, umat mengenang para imam dan korban lainnya dengan merayakan Ekaristi. Misal, pada 8 September 2009 digelar Ekaristi di Gereja Nossa Senhora de Fatima, Suai. Perayaan yang dipimpin oleh Uskup Dili, Mgr Albreto Ricardo da Silva, menandai 10 tahun “September Kelam”.
“Di hati orang Timor, cinta kepada para arwah cukup besar. Mereka rajin mengingatnya dalam doa dan Misa, meski mungkin tidak setiap hari, termasuk mendoakan saudara kami berdua ini (Romo Dewanto dan Romo Albrecht –Red) serta dua pastor, dua suster, dan tiga frater diosesan, yang menjadi korban kekerasan. Dalam Kalender Liturgi Timor Leste, umat diingatkan akan hari peringatan wafat mereka. Bahkan dalam buku liturgi di Keuskupan Maliana –termasuk tempat pembunuhan di Suai– disiapkan Misa khusus untuk para korban kekerasan itu. Maka umat secara khusus mendoakan mereka dalam Misa,” jelas Asisten Magister Novisiat Jesuit di Casa Manresa, Lahane, Dili, RP Leonardus Dibyawiyata SJ.
Pada peringatan 15 tahun wafat nya para martir tersebut diadakan Misa di Suai yang di pimpin Uskup. “Kami para Jesuit sendiri merayakannya di Dili dengan Misa bersama para sahabat dan tetangga di sekitar biara,” katanya. Bagi umat, kedua misionaris ini punya tempat khusus. Umat menghargai dan mensyukuri dedikasi mereka sampai mati bagi Gereja dan rakyat Timor Leste. “Ada beberapa cara untuk menunjukkan perhatian itu, misalnya dengan menamai anaknya dengan “Tarcisius Dewanto”, demikian juga sebuah klinik dan sebuah asrama. Ada aldeia (kampung) di Dili dengan nama Albrecht Karim,” ungkap Romo Dibya.
Makam Romo Dewanto dan Romo Albrecht, lanjut Romo Dibya, kadang dikunjungi umat, suster, dan tamu dari luar negeri. Mereka datang dalam kelompok kecil atau sendirian untuk berdevosi.
Sementara bentuk apresiasi lain atas kemartiran Romo Dewanto dan Romo Albrecht terlihat dalam Litani Orang Kudus saat tahbisan imam Jesuit, nama “Martir Dewanto” dan “Martir Albrecht Karim” disebut bersama sederet nama lain seperti Mangun Wijaya dan Romo Sandjaja. Semua itu merupakan bentuk penghargaan atas kesetiaan mereka berada bersama dan melayani umat.
Maria Pertiwi
Laporan: Yanuari Marwanto
HIDUP No.41, 12 Oktober 2014