HIDUPKATOLIK.com – Bukan Kardinal, ia terpilih menjadi Paus. Ia setia menghidupi spiritualitas Cistersian di bawah bimbingan St Bernardus. Sebagai Paus, ia menggembalakan Gereja di pengungsian. Kesederhanaan dan kesalehannya berbuah pembaruan Gereja, terutama kaum klerus.
Menjelang medio abad XII, kepemimpinan Gereja Katolik mengalami pergantian yang amat cepat. Sekitar tiga tahun pasca Paus Innocentius II (1130-1143) mangkat, tercatat tiga Paus bertakhta: Paus Celestinus II (1143-1144), Paus Lucius II (1144-1145), dan Paus Eugenius III (1145-1153). Kondisi Roma sedang morat-marit karena besarnya gelombang pemberontakan yang menginginkan pemisahan kekuasaan sipil dari kekuasaan Gereja.
Ketika Paus Lucius II mulai sakit- sakitan, para Kardinal mulai memikirkan siapa kelak yang akan menggantikannya. Mempertimbangkan keadaan Roma yang carut marut, mereka sepakat memilih penggantinya dari luar Kolegium Kardinal. Dan tepat ketika Paus Lucius wafat pada 15 Februari 1145, pilihan jatuh pada seorang Abbas Cistercian (OCist) dari Biara San Atanasio alle Tre Fontane, yakni Abbas Bernardo. Ia dimahkotai sebagai Paus di Basilika St Yohanes Lateran dan memilih nama Eugenius III.
Ketidakstabilan situasi Roma saat itu memaksa Paus terpilih dan para Kardinal segera menyingkir ke Biara Farfa. Mereka mencari suaka demi keselamatan Paus baru. Konon, di biara itulah Paus Eugenius baru ditahbiskan sebagai Uskup Roma pada 18 Desember 1145.
Rahib Sejati
Paus Eugenius III merupakan anggota keluarga bangsawan Pignatelli (Paganelli di Montemagno). Ia lahir di Montemagno, Pisa, Italia, tahun 1085. Orangtuanya memilih nama Bernardo ketika dipermandikan. Namanya pun menjadi Bernardo Pignatelli. Ia menghabiskan masa mudanya dengan menuntut ilmu hukum di Pisa. Maka ia sering disebut sebagai Bernardo da Pisa.
Tahun 1135, Bernardo menerima tahbisan imamat pada usia 50 tahun oleh Paus Innocentius II yang sedang berkunjung ke Pisa. Ia menjalani tugas perdananya sebagai ahli Hukum Gereja di Katedral Pisa.
Sebenarnya, Bernardo begitu terpikat oleh ajaran dan cara hidup St Bernardus dari Clairvaux sejak 1130. Namun baru beberapa tahun kemudian, ia membulatkan tekad untuk belajar spiritualitas hidup seorang rahib Cistercian, langsung di bawah asuhan St Bernardus. Ketika St Bernardus pulang dari Sinode Pisa (1135), Pastor Bernardo ikut bersamanya sebagai novis. Selang tiga tahun, ia diperbolehkan mengikrarkan kaul sebagai seorang rahib Ordo Cistercian.
Sebagai seorang Cistercian, Bernardo dipercaya memegang beberapa tanggung jawab besar dalam Ordonya. Ia diutus bersama sekelompok rahib untuk merevitalitasi Biara Farfa. Namun, Paus Innocentius II justru mengutusnya untuk memperkuat Biara Tre Fontane. Di sinilah ia menjadi Abbas hingga didaulat oleh Kolegium Kardinal sebagai Paus dengan nama Eugenius III pada 15 Februari 1145.
Dua Kali
Ketika Bernardo terpilih menjadi Paus, Roma berada dalam situasi yang amat tidak kondusif. Terjadi pemberontakan yang mengancam eksistensi Gereja. Banyak bangunan gereja dan biara dirobohkan. Basilika-basilika dialihfungsikan sebagai gudang dan tempat maksiat. Kaum klerus, baik diakon, imam, uskup, maupun kardinal diperlakukan tidak hormat. Para peziarah dijarah dan dianiaya oleh penduduk Roma yang anti Gereja.
Usai pentahbisannya sebagai Uskup Roma di Biara Farfa, Paus Eugenius III segera melanjutkan pengungsiannya ke Viterbo. Kota ini berjarak sekitar 80 kilometer dari Roma dan dijadikan perlindungan bagi para Paus Abad Pertengahan ketika kemelut melanda Kota Abadi. Meskipun tak kuasa menghentikan kekacauan di Roma, ia mendapat dukungan dan simpati dari para penguasa dunia kekatolikan di Eropa.
Selama pengungsiannya di Viterbo, Paus Eugenius III mampu mengumpulkan bala bantuan untuk mempertahankan Tanah Suci dari serangan tentara Turki. Ia menggalang simpati raja-raja dan penguasa dunia kekatolikan Eropa. Untuk mencapai tujuan itu, ia pun meminta St Bernardus untuk menjadi pengkhotbah demi mempropagandakan rencana serangan Perang Salib yang kedua.
Seiring waktu bergulir, keadaan Roma kian membaik. Beberapa keluarga berpengaruh yang setia pada Gereja berjuang untuk mencarikan jalan pulang bagi Paus dan kekuasaan Gereja atas Roma. Mereka menyepakati perjanjian dengan para Senator Roma. Anggota Senat Roma akan tunduk dan mengakui kekuasaan tertinggi Paus. Namun, mereka tetap dapat menjalankan fungsi pemerintahan dan pengadilan sendiri yang terpisah dari campur tangan Paus dan Gereja. Berkat usaha ini, Paus Eugenius III dapat masuk ke Roma dan keselamatannya pun dijamin. Ia mengakhiri masa pengungsiannya pada 1149.
Naas, kesepakatan itu tak berlangsung lama. Senat Roma ingin menghancurkan Tivoli, kota yang selama ini setia pada Paus dan kontra terhadap para pemberontak. Dengan tegas, Paus mengintervensi rencana mereka. Dalam sekejap, keadaan berubah menjadi keruh kembali. Akhirnya Paus terpaksa mengungsi untuk kedua kalinya demi keselamatannya.
Penegak Disiplin
Meskipun Paus Eugenius III menjalani penggembalaannya di pengungsian, jasanya pada pembaruan Gereja amat besar. Selama menjadi Paus, ia getol dalam menegakkan disiplin cara hidup kaum klerus, terutama di Perancis. Melalui tiga Sinode besar, yakni Sinode Paris (1147), Sinode Trier (1148), dan Sinode Reims (1148), ia melakukan propaganda iman, menindak banyak pelanggaran yang terjadi dalam Gereja, menegakkan disiplin hidup selibat, dan berusaha menjalin komunikasi dengan beberapa ritus Gereja Timur. Tak segan, ia menjatuhkan suspensi dan hukuman bagi para klerus yang membangkang.
Ketika berada di Perancis hingga 1148, Paus Eugenius III menunjukkan kewibawaan dan kesalehan sebagai pemimpin rohani Gereja Katolik dunia. Ia memberikan pengajaran iman dan keteladanan hidup religius yang menarik hati banyak klerus, bahkan raja-raja Katolik.
Setelah kondisi Roma mulai membaik, pelan-pelan Paus Eugenius III memasuki Italia melalui Cremona. Ia singgah di Viterbo beberapa saat sebelum melanjutkan perjalanannya ke Tusculum. Selama memasuki Italia, ia sempat dikunjungi Raja Louis dari Perancis, yang juga memberikan perlindungan kepada Paus saleh ini.
Berkat loyalitas dan bantuan orang Sisilia, Paus Eugenius III bisa merayakan Misa Natal di Lateran. Akhirnya, Kaisar Konrad dari Jerman yang telah dinasihati oleh St Bernardus, melebarkan jalan Paus kembali ke Roma. Perjalanan kembali ke Roma ini dipenuhi dengan jejak-jejak pengajaran dan kesaksian iman yang menginspirasi dunia kekatolikan. Para penguasa Katolik dan umat beriman sangat simpatik dengan figur Bapa Suci ini. Tak henti mereka mendukung dan melindungi Penerus Takhta St Petrus yang sedang berada dalam pengungsian.
Putra St Bernardus
Kesalehan hidup Paus Eugenius III tak lepas dari peran gurunya, St Bernardus. Ia kerap disebut sebagai putra rohani St Bernardus. Warisan tradisi spiritualitas ini sudah ia timba sejak awal menjadi novis OCist di bawah bimbingan St Bernardus. Penghayatannya sebagai seorang rahib Cistersian menjadi dasar geraknya dalam membarui kehidupan Gereja.
Pembaruan hidup Gereja itu mencerminkan penghayatan hidupnya. Meski sudah mengenakan pakaian kebesaran seorang Paus, Eugenius III tetap hidup sederhana dan melanjutkan praktik-praktik kesalehan sebagai seorang rahib Cistercian yang taat. Ia pun mempunyai perhatian khusus bagi pendidikan para calon imam. Perbaikan kualitas pendidikan dan formasi ini menjadi bentuk reformasi sejak dini di kalangan kaum berjubah.
Rahib saleh ini wafat di Trivoli pada 8 Juli 1153, setelah bertahun-tahun berada di pengungsian. Akhirnya, Paus Pius IX merestui dekrit keutamaan hidupnya sekaligus membeatifikasi Paus Eugenius III pada 28 Desember 1872. Paus Pius IX juga menetapkan tanggal wafatnya sebagai peringatan atas kesalehan hidup “Paus Pengungsi” ini.
R.B.E. Agung Nugroho
HIDUP No.39, 28 September 2014