HIDUPKATOLIK.com – Pengasuh yang baik hati. Saya perempuan, berusia 20 tahun, sedang berpacaran dengan seorang lelaki 22 tahun. Saya sering dipaksa untuk melayaninya berhubungan badan. Kalau tidak mau, saya akan dimarahi dan dibentak. Pacar saya temperamennya keras meskipun tidak pernah bermain fisik. Saya janji akan dinikahi dan lain-lain. Tetapi, saya merasa berdosa dan bersalah kepada Allah dan keluarga saya.
Masalah ini pun selalu saya jaga sehingga tidak seorang pun tahu mengenai hal ini. Tapi akibatnya, saya sering depresi, sakit, dan ingin bunuh diri. Saya ingin meninggalkan pacar saya. Apa yang harus saya lakukan supaya bisa terlepas dari masalah ini? Terimakasih.
Alodia, Surabaya
Alodia yang terkasih, masa berpacaran sebenarnya adalah masa saling berkenalan satu dengan yang lain untuk menjajaki apakah satu dengan yang lain cocok dan pantas untuk saling mendampingi dalam menjalani perkawinan yang monogami dan tak terceraikan untuk seumur hidup. Karena masa ini adalah masa orientasi, maka tentunya ada batas-batas yang tidak boleh dilanggar.
Berhubungan seks hanya boleh terjadi dalam kerangka perkawinan suci, bukan dalam masa pacaran. Gereja mengajar bahwa hubungan seks bukanlah sesuatu yang kotor, jorok dan tabu; tetapi baik, indah dan suci, maka harus dihargai dengan penuh tanggung jawab. Apa jaminan bahwa kedua belah pihak bertanggung jawab penuh? Jawabannya adalah perkawinan suci. Negara memandangnya sebagai lembaga resmi. Gereja mengangkatnya menjadi sakramen, yakni simbol suci yang menghadirkan rahmat Allah. Yang disimbolkan adalah hubungan kasih antara Kristus dan umatNya (Ef 5:32). Dalam konteks perkawinan sebagai sakramen ini, secara khusus dan lebih berani Yohanes Paulus II dalam teologi tubuhnya mengajarkan apa hakikat sebuah hubungan seks. Ia mengatakan bahwa setiap kali berhubungan seks, suami dan istri membarui janji pernikahannya di altar dengan bahasa tubuh mereka.
Jika demikian agungnya suatu hubungan badan dan koridornya adalah perkawinan suci, maka tidak ada tempat lain yang boleh menjadi ajang hubungan seks. Masa berpacaran bukanlah tempat yang pantas! Namun, seringkali dalam masa berpa-caran orang menuntut bukti cinta dengan meminta berhubungan seks dan banyak orang menganggapnya normal. Tidak, ini bukan normal! Ini juga bukanlah cinta dan bukti cinta!
Alodia, dengan memaksamu untuk berhubungan seks, pacarmu tidak sedang mencintaimu. Ia sedang menggunakanmu sebagai benda untuk memuaskan nafsu seksualnya. Jika dalam masa berpacaran saja ia sudah memperlakukanmu demikian, saya tidak dapat membayangkan apa yang terjadi dalam perkawinan kelak. Lawan dari cinta sebenarnya bukanlah benci, tetapi menggunakan. Cinta sejati memandang orang lain sebagai pribadi yang pantas dan harus dihormati, bukan sebagaibarang. Apakah ini ada dalam pribadi pacarmu itu?
Inilah saatnya yang tepat bagi engkau untuk merefleksikan kembali arti tubuh yang mulia, di mana Roh Kudus bersemayam (1Kor 6:19). Jagalah bait Roh Kudus ini dengan penuh tanggung jawab dan jangan biarkan pacarmu hanya memandangnya sebagai benda yang dapat digunakan seenaknya. Dengan berani dan tegas hargailah “tinggi” tubuhmu; dan dengan demikian Anda mengajar pacar Anda untuk menghargai baik tubuhmu, maupun tubuhnya sendiri.
Mengingat karakter pacarmu yang demikian keras dan memaksa, juga karaktermu sendiri yang lemah sehingga mudah putus asa dan depresi, maka lebih baik jika engkau mengambil keputusan untuk berpisah dengannya. Tidak ada ikatan moral, spiritual ataupun legal antara engkau dan dirinya. Engkau bebas untuk pergi darinya, tentunya dengan cara yang santun. Semoga Kristus menguatkanmu dengan rahmat-Nya.
RP Benny Phang Ocarm
HIDUP No.39, 28 September 2014