HIDUPKATOLIK.com – Sikap dan pandangan Gereja Katolik tegas menolak aborsi. Berbagai upaya pun digelar untuk menjauhkan para perempuan dari tindak aborsi. Tuhan ada dan turut berkarya dalam setiap kehidupan.
Sejak 66 tahun silam, para Suster Gembala Baik (Religious of The Good Shepherd/RGS) telah memberikan perhatian dan berkarya secara khas bagi para perempuan yang hamil di luar nikah. Para suster ini juga mendampingi perempuan-perempuan yang berhimpun dalam Single Mother Comunity. Perhatian dan karya ini didedikasikan demi mencegah tindak aborsi yang kerap berkelindan dalam diri perempuan yang hamil di luar pernikahan resmi.
Untuk menampung perempuan-perempuan yang kesehatan sosialnya terancam ini, para suster RGS mendirikan Villa Shalom. Di tempat ini, para perempuan ini mendapat dukungan, peneguhan, motivasi, serta konseling agar tetap mempertahankan janin yang ada dalam kandungannya. Kini, Villa Shalom berada di dua lokasi yakni Jatinegara, Jakarta Timur dan Bantul, DI Yogyakarta. Para perempuan ini tinggal bersama hingga melahirkan si bayi. Setelah itu, mereka dapat memilih, bayi yang dilahirkannya akan diadopsi orang lain atau dititipkan di panti asuhan.
Pendamping Villa Shalom Sr Tasiana Eny S RGS menuturkan, saat ini, di Villa Shalom Jakarta terdapat 13 perempuan yang hamil. Mereka berusia 16 sampai 25 tahun. Mereka berasal dari berbagai macam suku dan agama. Beberapa dari mereka adalah korban pemerkosaan. Beberapa yang lain hamil akibat pergaulan seks yang bebas. “Mereka dikucilkan, seolah menjadi pencemar dalam masyarakat,” ujar Sr Ana saat ditemui di Susteran RGS Jatinegara, Minggu, 14/9.
Menurut perempuan yang tengah melanjutkan program pascasarjana kajian gender di Universitas Indonesia ini hampir 90 persen perempuan yang datang ke Villa Shalom bertujuan untuk mempertahankan kehamilannya. Para perempuan ini diberi kesempatan untuk mencoba menerima dan mencintai kehidupan yang ada dalam rahim. “Mereka kami terima. Berani mengambil keputusan mempertahankan kehamilan saja sudah tindakan luar biasa. Kami memang pro life,” tandas perempuan kelahiran Cilacap, Jawa Tengah, 12 Januari 1974 ini.
Upaya hampir serupa juga dilakoni seorang perempuan asal Yogyakarta, Bernadetta Rini Susanti. Ia menampung perempuan-perempuan muda yang hamil di luar pernikahan. “Mereka butuh teman bicara. Maka, saya ingin menjadi teman bagi mereka,” ujarnya. Rini mengakui, mereka yang hamil di luar nikah, memiliki kecenderungan untuk melakukan tindak aborsi. “Mereka berniat melakukan aborsi, karena tidak tahan dengan tekanan dari orang-orang di sekitarnya,” imbuh Rini. Tapi, dengan beragam upaya, Rini menemani mereka agar mengurungkan niat menggugurkan kandungannya.
Rini bekerja sama dengan para biarawati di daerah Ganjuran, Bantul, DI Yogyakarta, untuk menampung para perempuan ini. “Saya selalu melakukan pendekatan agar tidak terjadi aborsi. Anak-anak yang mereka lahirkan, kami tampung juga. Itu konsekuensi yang harus kami terima.”
Jalan pintas
Maria – bukan nama sebenarnya – adalah seorang perempuan yang pernah hamil di luar pernikahan resmi. Ia pernah tinggal di Villa Shalom. Ketika mendapati dirinya hamil, Maria takut sekali. Ia hamil lantaran beberapa kali berhubungan badan dengan sang pacar. Tapi, pacarnya tak mau bertanggung jawab atas janin dalam kandungannya. Bahkan, ia menyuruh Maria agar melakukan aborsi. Maria menolak permintaan itu. Ia lebih memilih mempertahankan janin yang ada dalam rahimnya.
Segera, Maria memberitahukan hal ini kepada orangtuanya. Dengan suara yang berani, Maria jujur mengakui kehamilannya. Ibu dan bapaknya marah besar, tapi lambat laun mereka dapat menerima kenyataan.
Ketika usia kandungannya mencapai 22 minggu, Maria masuk Villa Shalom. “Awalnya sih berat banget, karena seperti orang yang dibuang. Tapi, demi kehidupan sang bayi, saya memutuskan tinggal di Villa Shalom,” ujar perempuan muda yang tak mau membeberkan identitasnya ini.
Maria pun mulai melakukan berbagai kegiatan yang diadakan di Villa Shalom. Ia mendapat bimbingan rohani, serta motivasi dari para psikolog. Selama tinggal di Villa Shalom, Maria tak boleh berkomunikasi dengan pihak di luar Villa Shalom. Bahkan, ia tak diijinkan keluar dari Villa Shalom. Setiap hari Minggu, Maria mengikuti perayaan Ekaristi dari balik pagar pembatas di Kapel Susteran Gembala Baik.
Pada Januari lalu, Maria melahirkan bayi laki-laki. Bayi munggil itu, lantas dititipkan di sebuah panti asuhan. Kini, perempuan berusia 25 tahun ini kembali menata hidupnya sembari melanjutkan kuliah yang sempat tertunda di sebuah universitas di Jakarta.
Maria hanyalah satu dari sekian banyak perempuan yang hidupnya pernah berdekatan dengan tindak aborsi. “Hamil di luar nikah saja sudah salah, apalagi jika melakukan aborsi. Aborsi itu membunuh! Jika saya melakukan aborsi, hidup saya tidak akan tenang selamanya, karena akan dicap sebagai pembunuh,” tandas Maria.
Sr Ana dan Rini sependapat dengan Maria. Sebagai umat Katolik, Rini dengan tegas mengatakan,“Say No to Aborsi!” Bagi Rini, kehidupan harus dijaga apapun risiko yang mengiringinya. “Karena, begitu ada kehidupan, Tuhan ada dan turut berkarya dalam diri kehidupan itu,” ujar Rini.
Sementara Sr Ana cemas, pada masa depan, tindakan aborsi yang semakin marak. Aborsi, menurutnya, hanyalah jalan pintas yang sesat untuk keluar dari persoalan kehamilan di luar nikah dan pemerkosaan. Menurut Sr Ana, persoalan yang seharusnya dicarikan jalan keluar adalah pergaulan bebas di kalangan orang muda, serta jaminan keamanan bagi perempuan dari tindak kejahatan pemerkosaan.
Karunia Tuhan
Para pelayan kesehatan pun kerapkali berhadapan dengan tindakan aborsi. Ahli kandungan yang bekarya di Rumah Sakit Katolik Sint Carolus Jakarta, dr. Royanto Darmaputra menuturkan, selama bekerja, ia sering menangani pasien yang ingin melakukan aborsi. Dalam mendampingi pasien, dokter kelahiran Makassar, 16 Mei 1970 ini, selalu menjunjung tinggi martabat manusia. “Bagi kami, nomor satu adalah kehidupan. Kehidupan manusia harus dihargai,” tegasnya.
Umat Paroki St Bonaventura Pulomas, Jakarta Timur ini, selalu hati-hati dan tegas dalam menangani pasien yang hendak melakukan aborsi. “Saya selalu mengatakan, rumah sakit Katolik dan dokter Katolik tidak bisa melakukan aborsi! Janin merupakan makhluk hidup, maka, aborsi tidak diperbolehkan!” tegasnya.
Namun, dalam kasus-kasus tertentu, dr. Royanto tak memutuskan sendiri. Ia selalu membawa kasus tersebut dalam rapat komite etik yang melibatkan dua ahli dan seorang imam untuk memberi pertimbangan, agar dapat mengambil keputusan yang tepat.
Dokter umum yang aktif dalam Forum Komunikasi Penyayang Kehidupan (FKPK), dr. Angela N. Abidin pun tegas menolak tindakan aborsi. Alumna Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta ini mengatakan, “Hidup adalah karunia dari Tuhan.” Umat Paroki St Laurensius Alam Sutera, Tangerang ini berharap, gerakan penyayang kehidupan tidak hanya berupaya menyelamatkan si bayi, tapi juga harus memperjuangkan kehidupan sang ibu. Dr Angela memberi contoh, ketika seorang remaja hamil, jangan sampai masa depannya hancur. “Jika masih sekolah, harus dikembalikan ke sekolah untuk melanjutkan pendidikan,” ujarnya.
Dokter yang juga berkarya di Rumah Sakit Katolik Sint Carolus Jakarta ini aktif melakukan pendampingan dan konseling gratis kepada para perempuan yang berniat melakukan aborsi. Ia hanya berharap, agar mereka yang telah berniat melakukan aborsi, berani mengurungkan niat tersebut. Melalui FKPK, dr Angela tak hanya melakukan konseling gratis. Komunitas ini juga memberikan santunan serta tempat tinggal bagi mereka yang membutuhkan.
Aprianita Ganadi/Celtus Jabun
Laporan: Y. Ingrid Kusumadewi (Yogyakarta)
HIDUP No.41, 28 September 2014