HIDUPKATOLIK.com – Gereja Katolik telah mengambil posisi menolak tindakan aborsi. Tindak aborsi diyakini bisa menghalangi karya keselamatan Allah. Umat yang turut bekerja sama melakukan aborsi akan terkena ekskomunikasi.
Pada 21 Juli 2014, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah RI No. 61/2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang merupakan mandat dari UU No. 36 tentang Kesehatan pasal 75.4. Dalam PP ini, aborsi dipandang sebagai sarana kesehatan reproduksi. Cara pandang ini tentu saja bisa diperdebatkan. “Apakah benar pembunuhan boleh dipandang sebagai sarana kesehatan?” Doktrin etika medis tradisional yang sudah berlaku puluhan abad mengatakan, “Kita tidak boleh menyembuhkan orang dengan cara membunuh orang lain.”
Dalam UU No. 36/2009 pasal 75.1 dikatakan,“Setiap orang dilarang melakukan aborsi.” Pada dasarnya, di Indonesia tidak boleh melakukan aborsi. Alasan para pembuat PP ini memang bukan melegalisasi aborsi, tapi mengatur agar para ibu bisa mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi yang memadai, karena aborsi dipandang sebagai bagian dari kesehatan reproduksi. Apakah cara pandang ini dibenarkan? Tentu saja tidak!
Benar bahwa setiap perempuan tak boleh dipaksa untuk mengandung atau tak mengandung yang merupakan aktualisasi hak otonomi. Tetapi, ketika pelaksanaan otonomi itu berbenturan dengan hidup manusia lain, maka otonomi itu harus mengalah, karena hak untuk hidup ada lah dasar dari segalanya. Pelaksanaan suatu hak tak boleh meniadakan dasar dari hak itu. Orang yang hidup, berhak untuk hidup, karena dia sudah hidup dan memiliki hidup.
Tidak dibenarkan
Walaupun dalam UU dan PP pertama-tama dikatakan bahwa aborsi itu dilarang, tetapi UU dan PP juga memberikan pengecualian. UU Pasal 75.2 berbunyi: Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan: a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau…. Keterangan tentang indikasi kedaruratan medis ini diterangkan PP pasal 32 yang mengatakan: (1) Indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf a meliputi: (a) kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu; dan/atau; (b) kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan janin, termasuk yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan.
Kehamilan yang mengancam nyawa ibu berarti situasi kehamilan yang jika dilanjutkan akan menyebabkan kematian si ibu. Dalam situasi seperti ini, Gereja mengajarkan, terminasi kehamilan dalam situasi seperti ini bisa di benarkan, jika tujuan terminasi kehamilan bukan membunuh janin, tapi menyelamatkan nyawa si ibu. Pelayan kesehatan harus memiliki intensi jelas, yakni menyelamatkan siapapun yang bisa diselamatkan. Meskipun bermaksud menyelamatkan keduanya, tetapi ada situasi di mana keduanya tak bisa diselamatkan, bahkan bisa terjadi harus memilih salah satu. Maka, kematian satu pihak itu tak dimaksudkan, tapi sebagai konsekuensi tak terhindarkan dari upaya penyelamatan. Terminasi kehamilan dalam kasus kehamilan yang mengancam nyawa ibu ini bisa dibenarkan. Aborsi yang terjadi adalah aborsi tidak langsung, karena intensi dari intervensi medis yang dibuat, bukan melakukan aborsi. Dalam hal ini, pandangan Gereja tidak bertentangan dengan UU dan PP itu.
Poin yang menyatakan “kehamilan yang mengancam kesehatan ibu” hanya ada dalam PP. Masalah ini krusial! Menurut PP pasal 1.2, “Kesehatan reproduksi adalah keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi.” Yang menjadi kriteria sehat bukan hanya kesehatan fisik, tapi juga kesehatan mental dan sosial. Jadi, jika kehamilan mengancam kesehatan ibu, baik dari segi fisik, mental, dan sosial, maka boleh aborsi. Bisa dibayangkan, seorang perempuan yang mengandung anak kelima dan dia malu, karena kesehatan sosialnya terancam, maka hal itu bisa menjadi alasan aborsi.
Kehamilan yang mengancam nyawa janin adalah kehamilan yang bila dilanjutkan akan menyebabkan kematian janin. Situasi ini bisa disebabkan beragam hal. Menurut UU dan PP ini, jika situasi mengancam nyawa janin, maka boleh aborsi.
Bagi Gereja, alasan ini tak bisa dibenarkan! Karena dalam keadaan apapun, orang tak boleh membunuh orang lain yang tak bersalah, apalagi manusia yang lemah dan tak berdaya. Tapi, bagaimana jika janin itu pasti akan mati, apakah boleh diaborsi? Misal bayi yang mengalami anencephalus, tak memiliki otak besar yang jika dilahirkan hanya akan bertahan beberapa jam atau hari saja. Alasan bahwa seseorang pasti akan mati, tak memberikan hak kepada siapapun untuk membunuhnya.
Sama seperti poin sebelumnya, mengancam kesehatan janin juga merupakan terminologi yang tidak jelas arti dan batasan nya. Jika janin didiagnosa mengalami kelainan jiwa, sehingga kesehatan jiwanya terancam, maka boleh diaborsi. Dalam pandangan Gereja jelas bahwa ini tidak boleh! Aborsi dengan alasan kecacatan bawaan dan penyakit genetik berat juga tidak dibenarkan oleh Gereja.
Akibat perkosaan
Pasal 75.2.b mengatakan, kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Bagian ini, diterangkan lebih lanjut dalam PP pasal 34: Indikasi Perkosaan; (1) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan: (a) usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter; dan (b) keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan.
Benar bahwa pemerkosaan dapat menyebabkan trauma psikologis, spiritual, dan sosial. Maka, kita harus berbelarasa terhadap mereka yang menjadi korban. Kita harus membantu, agar mereka bisa kembali hidup bahagia. Aborsi dalam kasus ini menjadi kesalahan ganda. Pertama, si bayi bukan pihak bersalah yang layak dihukum mati. Kedua, memilih aborsi berarti memberi tambahan penderitaan bagi si perempuan yang diperkosa.
Ekskomunikasi
Baik UU pasal 75.3 maupun PP pasal 37.1 mengatur bahwa semua tindakan aborsi, baik indikasi kedaruratan medis maupun akibat perkosaan, harus dilakukan konseling sebelum dan sesudah aborsi. Dalam hal konselor seorang Katolik, dia harus berusaha sekuat tenaga agar tidak terjadi aborsi, kecuali dalam kasus aborsi tidak langsung. Jika dia menganjurkan aborsi, maka dia bisa diklasifikasikan sebagai orang yang bekerja sama dalam kejahatan. Ia bisa terkena ekskomunikasi latae sententiae.
Ekskomunikasi latae sententiae adalah hukuman yang terkena secara otomatis. Begitu orang melakukan aborsi secara tahu, mau, dan sadar, maka otomatis dia terkena ekskomunikasi. Ekskomunikasi juga mengenai mereka yang membantu aborsi itu (Kitab Hukum Kanonik Kanon 1329 § 2), misal dokter, perawat, atau suami yang mengantar ke tempat aborsi.
Ekskomunikasi ini membawa akibat seperti diterangkan dalam Kanon 1331 § 1; dilarang ambil bagian sebagai pelayan dalam perayaan Ekaristi atau upacara ibadat lain; merayakan atau menyambut sakramen; menunaikan jabatan atau tugas gerejawi.
RP CB Kusmaryanto SCJ
Dosen Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Anggota Komisi Bioetika Nasional, Anggota Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan
HIDUP No.41, 28 September 2014