HIDUPKATOLIK.com – Perbedaan menciptakan tegangan. Tetapi, perbedaan juga menciptakan peluang untuk dialog. Persamaan pesan inti dari Kitab Suci, misalnya ‘kabar keselamatan’, semestinya diutamakan.
Pada Kongres Dialog Muslim-Kristen di Tripoli, Libia, tahun 1976, para peserta dari dua aga ma yang berbeda ini secara tulus mengakui keaslian (otentisitas) Kitab Suci masing-masing mitra dialog. Pertemuan ini tentu bisa menjadi dasar bagaimana dua penganut agama ini bisa hidup berdampingan sebagai saudara dan memahami satu sama lain.
Meski banyak pertemuan dan kesepakatan di antara para pakar dan pemimpin agama, pertanyaan yang membutuhkan penjelasan tak pernah berhenti. ’Persaudaraan dalam perbedaan’ kerap menuntut kita untuk menyampaikan pendapat yang kita ke tahui dan perasaaan yang kita alami.
Dari cara pandang umat Kristen, landasan untuk berdialog lintas-iman dengan menggunakan Kitab Suci adalah 2Tim 3:16–17: “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian, tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.”
Tegangan
Alquran bagi kaum Muslim adalah Sabda Allah dalam arti harafiyah dan hurufiyah. Sabda ini difirmankan Allah secara literal melalui Malaikat Jibril (Gabriel). Keyakinan ini menimbulkan pertanyaan yang terus-menerus dan belum selesai didiskusikan hingga hari ini: ”Apakah Alquran boleh ditaf sirkan ulang agar bisa menjawab berbagai persoalan zaman dengan lebih baik? Ataukah Alquran, karena pada hakikatnya merupakan Sabda Allah, tidak perlu ditafsirkan lagi dan sudah se lalu benar pada setiap zaman?”
Beberapa cerita nabi yang muncul dalam Alquran memiliki kemiripan dengan cerita dalam Kitab Suci, baik yang diakui (kanonik) maupun tradisi yang tidak diakui (apokrif ). Di satu pihak, dari metode ilmu sejarah, Alquran mengambil tradisi dan kisah yang lebih awal. Namun di lain pihak, para alim ulama Islam justru beranggapan, kesamaan itu membuktikan bahwa apa yang diwahyukan melalui Nabi Muhammad didukung berbagai kebenaran yang dipegang oleh agama-agama sebelumnya. Komunitas Muslim menganggap, Alquran menyempurnakan tradisi-tradisi sebelumnya.
Alquran sangat menekankan kemanusiaan Yesus dan tidak mengakui penyaliban-Nya. “Sesungguhnya Kami telah membunuh Al Masih, ’Isa putra Maryam, Rasul Allah”, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan ’Isa bagi mereka.” (an-Nisa’ 4:157)
Mari kita bandingkan kisah Yesus (’Isa) dalam Surah Maryam (QS 19) dengan Surah Ali ‘Imran (QS 3). Inilah sebuah contoh bagaimana refleksi teologis (kristologis) berlangsung dan berkembang. Surah Maryam diturunkan selama periode Makkah (Makkiyah), yang lebih tua dibanding Surah Ali ‘Imran yang turun pada periode Madinah (Madaniyah). Surah Maryam belum memperlihatkan perjumpaan (perselisihan) teologi Islam dan Kristen. Sedangkan Surah Ali ‘Imran sudah mencerminkan adanya upaya untuk memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kristologis.
Sabda atau Firman?
Sabda Allah dan Firman Allah tidaklah sama! Perbedaan ini menuntut pen jelasan teologis yang agak rinci agar dialog lewat Kitab Suci menjadi mungkin. Sabda Allah menurut pandangan Kristen mewujud dalam diri Yesus orang Nazaret. Tertulis dalam Injil Yohanes, “Verbum caro factum est et habitavit in nobis – Sabda telah menjadi daging dan tinggal di antara kita” (Yoh. 1:14). Gereja menggunakan istilah inkarnasi, yaitu peristiwa Putra Allah yang mengambil kodrat manusiawi agar dapat melaksanakan misi penyelamatan manusia. Dengan kata lain, pewahyuan Sabda Allah terjadi dalam diri Yesus Kristus. Apa bedanya dengan Firman Allah?
Firman Allah ada dalam Kitab Suci yang proses dan penulisannya terbentuk dan berlangsung dalam inspirasi Roh Kudus, demikian kepercayaan umat Kristen. Oleh karena itu, ayat-ayat dalam Kitab Suci menjadi kata-kata ‘mati’ jika tidak disertai dengan keyakinan bahwa Roh Kudus bekerja ketika kita membacanya. Dalam proses lebih lanjut, inspirasi Roh Kudus tak hanya di ikat dalam ayat dan nas Kitab Suci. Roh Kudus masih terus bekerja hingga sekarang ini. Ia bukan hanya bekerja untuk para pencatat dan penulis Kitab Suci pada 2000 tahun silam. Allah, melalui karya Roh Kudus, masih terus berfirman hingga sekarang. Dengan demikian, karya Roh Kudus dalam Firman Allah dan Kitab Suci dipahami secara luas.
Meski berbeda, Firman Allah memiliki pertautan kristologis dengan Sabda Allah. Ajaran Kristen, dengan adanya dosa manusia, menghubungkan Fiman Allah dengan proyek keselamatan manusia. Penyelamatan manusia ini di realisasikan melalui Sabda Allah yang menjadi manusia.
Dengan memperhatikan penjelasan ini, mencampuradukkan pengertian Kitab Suci sebagai Sabda Allah atau Firman Allah dalam dialog dengan komunitas Muslim memang agak mengacau kan isi pembicaraan dan diskusi.
Sabda Allah dalam Kristen dan Islam memang mengandung persamaan. Keduanya mengandung pesan-pesan moral dari Allah tentang asal dan tujuan hidup manusia. Keduanya juga membawa pesan agar manusia hidup dalam damai. Namun keduanya memuat perbedaan.
Fokus pada Persamaan
Dalam dialog dengan komunitas Muslim, sangat penting untuk memahami terlebih dahulu bagaimana mereka menilai dan mengukur Injil kita. Se baiknya kita hindari upaya untuk memperdebatkan dan mencari Kitab Suci mana yang benar dan mana yang salah. Dalam sejarah, diskusi semacam ini merupakan sebuah usaha yang sia-sia dan tidak produktif.
Pesan inti yang menyamakan antara umat Muslim dan Katolik harus di utamakan. Misal, Kitab Suci sebagai ‘kabar gembira keselamatan’. Alquran juga menyebut Yesus sebagai Sabda Allah (kalam Allah, An Nisaa: 171; Ali ‘Imran: 39–45), meski tidak menerima Yesus sebagai Putra Allah.
Greg Soetomo SJ
HIDUP NO.37, 14 September 2014