HIDUPKATOLIK.com – Jumlah umat Kristiani di Irak terus menyusut dari tahun ke tahun, hingga tersisa tiga persen, karena penganiayaan. Kini, mereka terusir dari rumahnya. “Kekerasan mesti diatasi dengan damai,” pesan Bapa Suci Fransiskus.
Mossul, Irak, 29 Februari 2008, menggemparkan komunitas dunia internasional. Mata Vatikan pun terbelalak mendengar berita penculikan Mgr Paulos Faraj Rahho (1942-2008). Dialah Uskup Agung Mossul, salah satu Keuskupan Agung Gereja Katolik Khaldea di Irak. Paus Benediktus XVI pun tak jemu meneriakkan ajakan rekonsiliasi demi perdamaian di bumi Mezopotamia itu.
Kala itu, hampir tiap hari informasi tentang keberadaan Mgr Rahho menghiasi media massa. Apalagi sopir dan beberapa pembantunya telah ditemukan dalam kondisi tak bernyawa. Teka-teki nasib sang uskup memancing maraknya pelbagai analisis tentang kondisi umat Kristiani di Irak. Kesimpulan opini tentang buruknya praktik kebebasan beragama di Irak kian santer. Gerombolan ekstrimis Islam bersenjata –yang lazim disebut teroris oleh dunia Barat– menjadi pelaku kebiadaban massif ini.
Memang, pasca tumbangnya rezim Saddam Husein oleh invasi militer Amerika Serikat pada 2003, isu kebebasan agama justru menjadi wacana hangat. Meski toleransi terus didengungkan, aksi komplotan ekstrimis Islam bersenjata kian membabi buta. Mereka tak henti bergiat menodai hak asasi beragama, melakukan tindak kriminal terhadap pemeluk keyakinan berbeda haluan, dan gigih memaksakan ideologi yang dianutnya.
Selang enam bulan sejak penculikan Mgr Rahho, kantor berita Agenzia Fides melansir penemuan jenazahnya di dekat kota Mossul. Selama masa pencarian Mgr Rahho, laporan mengenai penculikan dan tindak kekerasan, aksi brutal disertai pembunuhan, bom bunuh diri dan penganiayaan terhadap umat Kristiani sejak 2003 bertebaran di media massa.
Tradisi Rasuli
Ironis, miris, dan penuh tanda tanya. Penganiayaan terhadap umat Kristiani di Irak seolah ingin menghapus fakta historis tradisi selama dua milenium. Tradisi kekristenan sebenarnya sudah mendarah daging di Irak. Sejak zaman para Rasul, kristianitas sudah memberi warna kehidupan penduduk di sana.
Konon, siar kekristenan ini dilakukan oleh dua tokoh Gereja Perdana, murid Yesus sendiri yakni Rasul Thomas dan Rasul Yudas Tadeus. Mereka dibantu oleh murid-muridnya menebar jala iman hingga menghasilkan buah tangkapan berlimpah. Komunitas bangsa Assiria yang berbahasa Aram diyakini sebagai jemaat Kristen tua hasil evengelisasi St Thomas dan St Yudas Tadeus.
Bahkan dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, setidaknya terdapat nama lima kota bersejarah yang saat ini berada dalam teritori Irak. Pertama, kota asal Abraham, yakni Ur yang terletak sekitar 10 mil di sebelah Barat Daya Nassiriyah (Kej. 11:31; 12:1-5). Kedua, Babilonia yang berada sekitar 25 mil di sebelah Selatan Baghdad. Kota ini kerap disebut dalam Kitab Raja-raja (2Raj.24:15). Ketiga, Kalah (Kej.10:10- 11) yang terletak sekitar 20 mil di sebelah Tenggara Mossul. Keempat, Niniwe yang terletak di Mossul. Kota ini amat terkenal yang muncul dalam Kitab Nabi Yunus. Kelima, Khorsabad yang lebih dikenal dengan nama rajanya, Sargon (Yes.20:1). Kota ini terletak sekitar 15 mil di sebelah Timur Laut Mossul.
Komunitas Gereja di salah satu jantung peradaban prasejarah ini lambat laun menjelma menjadi salah satu pusat kekristenan awal. Perkembangan ini seolah tak terbendung. Dari Irak bagian Utara, warta Injil dibawa hingga meluas ke daerah di sekitarnya. Maka muncullah ritus Khaldea, Siria, dan Assiria, yang berhaluan Orthodoks Timur. Bahkan, kini di sana juga terdapat komunitas Gereja ritus Latin, Armenia, Melkit Katolik Yunani, dan beberapa aliran Kristen Protestan.
Keberadaan hasil tradisi rasuli ini mulai terancam dengan munculnya Islam. Sekitar abad VII, Gereja yang sudah berumur 600 tahun itu diserang tentara Arab. Meski hingga Abad Pertengahan menjadi salah satu pusat kekristenan dan rujukan literatur Siria, kondisi Gereja ini kian memprihatinkan. Sejak abad XIII, represi Islam menyusutkan jumlah umat Kristiani itu. Tunas-tunas kekristenan yang mulai tumbuh bercabang dipangkas tak kenal ampun. Disinyalir, munculnya kekhalifahan Baghdad menjadi titik menurunnya jumlah umat Kristiani di Irak. Kekhalifahan ini memainkan peran tarik ulur pada toleransi dan harmonisasi kehidupan umat Islam bersama umat non-
Islam.
Harapan pun merekah selang tiga ratus tahun kemudian. Pada abad XVII , bangsa Portugis diizinkan untuk mendirikan kembali gereja-gereja di luar kota Baghdad. Tradisi kekristenan warisan dua Rasul besar ini pun mendapat tempat. Kondisi pasang surut terus terjadi. Perlakuan yang tak selalu baik mewarnai peziarahan umat Kristiani di Irak hingga kini.
Pasang Surut
Sebelum kemerdekaan Irak dideklarasi kan pada 3 Oktober 1932, nasib bangsa Assiria di Irak seolah sudah menjadi bulan-bulanan bangsa Arab. Hal senada juga menimpa banyak etnis asli non-Arab yang merupakan keturunan peradaban Mezopotamia di Irak Utara. Mereka mengalami ketidakadilan struktural, eksklusi sosial dan eliminasi kultural.
Semaian benih kekristenan di Irak oleh St Thomas dan St Yudas Tadeus mendapat stigma negatif dan aral melintang bagi perkembangannya. Secara terstruktur dan massif, digemakan identifikasi kekristenan dengan beberapa budaya dan etnis tertentu, seperti: Siria, Akkadia, Khaldo-Assiria, Sumeria, Asiro-Babilonia, dll. Bangsa Arab menggencet mereka secara etnis, budaya, agama, bahkan level rasial.
Meski kiblat Irak pasca kudeta pada 14 Juli 1958 yang akhirnya mengusung konsep negara republik, kondisi intoleransi ini terus terbawa. Semua produk yang berbau bahasa Aram Mezopotamia dan Assiria dieliminasi. Demikian juga dengan nama-nama yang mengandung unsur kekristenan, dilarang.
Rezim Saddam Husein termasuk penerus kebijakan penindasan terstruktur terhadap keberadaan etnis non-Arab. Gereja memang tidak langsung mengalami penganiayaan. Namun, rezim sekuler Saddam Husein sejak 1979 secara sistemik berusaha mengikisnya melalui level budaya dan etnis. Tak dipungkiri bahwa Presiden Irak ini pernah mengangkat seorang anggota Gereja Katolik Khaldea, Tariq Aziz menjadi salah seorang tangan kanannya. Pria yang tumbuh dari tradisi Gereja Khaldea ini ditunjuk untuk mengampu jabatan sebagai Deputi Perdana Menteri Irak (1979-2003) dan Menteri Luar Negeri (1983-1991). Tariq Aziz sebenarnya bernama asli Mikhail Yuhanna –sebuah nama khas dari keturunan etnis Assiria. Pada masa rezim Saddam Husein, pemakaian nama seperti itu di larang, bahkan cenderung mengalami represi pemusnahan. Pengangkatan Deputi Perdana Menteri dari kalangan Kristiani ini menunjukkan peran dan kontribusi mereka dalam kehidupan sosial kemasyarakatan bagi negara di mana mereka tinggal.
Kian Menyusut
Intoleransi sistemik yang terjadi membuat populasi umat Kristiani di Irak me rosot drastis. Berdasarkan sensus penduduk pada saat Irak merdeka tahun 1932, jumlah umat Kristiani masih 20 persen dari total populasi. Pada era 1980-an, ketika Saddam Husein mulai berkuasa, jumlah itu menurun hingga 10 persen. Data resmi pemerintah tahun 1987 masih menunjukkan jumlah umat Kristiani yang cukup signifikan, 1,4 juta jiwa. Pasca Perang Teluk I tahun 1991, jumlah umat Kristiani di Irak hanya lima persen dari total populasi. Jumlah ini terus menurun hingga menyisakan tiga persen saja.
Mayoritas umat Kristiani berasal dari tradisi Gereja Khaldea. Selain itu, masih ada beberapa tradisi lainnya, seperti Siria, Armenia, Melkit dari tradisi Binzantin, Latin Katolik dan sebagian kecil Kristen Protestan. Sebagian besar komunitas gerejani ini tinggal di Irak bagian Utara. Mereka bermukim di Mossul, Erbil, Dohuk dan Kirkuk, serta sebagian di Ninive dan Baghdad.
Tahun 2006, jumlah umat Kristiani di Irak diperkirakan hanya tinggal 600 ribu jiwa. Invasi militer Amerika Serikat ke Irak menjadi titik nadir eksodus besar-besaran ke luar Irak. Kondisi ketertindasan yang selama ini mereka alami diperparah oleh lumpuhnya aspek sosio-ekonomi pasca-invasi tersebut. Selain itu, berbagai aksi intoleransi dari gerombolan fundamentalis Islam terus menjadi faktor utama yang menggerus jumlah umat Kristiani di Irak.
Ratusan ribu umat Kristiani di Irak dengan berat hati memilih meninggalkan kampung halamannya. Mereka kebanyakan hijrah ke Eropa dan Amerika. Sebagian lagi terpaksa harus mengungsi ke negara-negara tetangga atau mencari tempat yang lebih aman di Irak. Sementara sisanya bertahan di tanah nenek moyang dengan konsekuensi terus menerima perlakuan intoleransi dari kaum ekstrimis Sunni. Tak mengherankan jika jumlah mereka hanya tinggal beberapa ribu saja yang masih menetap di Irak.
Kelangkaan Damai
Berdasarkan data International Religious Freedom Report tahun 2007 dalam bidang demokrasi, hak asasi manusia dan buruh, terjadi lebih dari 50 kasus kekerasan selama periode Juni 2006 hingga Juni 2007. Gerombolan militan Islam Sunni bersenjata melakukan penculikan, tindak kekerasan, pembunuhan, perampokan, dan pengeboman terhadap penduduk Irak. Komplotan ekstrimis bersenjata ini melakukan aksi teror terhadap kaum Shiah, Kristiani, dan agama-agama minoritas lainnya, bahkan pemeluk Sunni sekalipun. Target teroris ini ialah para pemuka agama, seperti imam Muslim dan pastor. Serangkaian aksi banalitas ini telah menghancurkan banyak tempat ibadah, memporak-porandakan tempat-tempat umum, mencederai ribuan orang, serta menewaskan ratusan jiwa.
Kementerian Migrasi dan Pengungsi Irak melansir data pada 2006, yang menunjukkan besarnya jumlah pengungsi akibat aksi brutal para teroris. Sekitar 11 ribu orang tercerai berai dari keluarga dan kampung halaman mereka untuk menyelamatkan diri dari teror yang terus berkecamuk.
Kondisi ini semakin diperparah dengan invasi kelompok militan ISIS (Islamic State in Iraq and Syria) yang berhasil merebut sejumlah daerah di Irak bagian Barat. Mereka menimbulkan ancaman amat serius bagi terciptanya perdamaian di Irak dan Suriah,serta Timur Tengah pada umumnya. Kelompok militan ISIS ini mengusir umat Kristiani di Mossul dan beberapa kota di Irak Utara. Umat Kristiani ini diberi pilihan untuk menyangkal iman kristianinya dan masuk Islam, atau membayar sejumlah denda untuk bisa tinggal di sana serta rumah mereka ditandai sebagai bentuk eksklusi sosial, pelecehan hak asasi manusia dan sikap anti kekristenan. Atau segera meninggalkan bumi tanah air mereka. Alhasil, banyak umat Kristiani terpaksa harus hengkang dari rumah mereka, menjadi pengungsi dengan nasib yang tak menentu.
Menanggapi hal tersebut, Paus Fransiskus dalam pesan Angelus, Minggu, 20/7, di Vatikan menegaskan sikapnya yang menolak keras aksi kekerasan yang terjadi di Mossul. Ia minta agar semua pihak yang berseteru mau membuka ruang dialog demi pencapaian perdamaian di bumi asal-usul Abraham, Bapa Segala Bangsa. “Saudara-saudara terkasih yang dianiaya, saya tahu betapa Anda sungguh menderita. Saya tahu Anda kehilangan semua. Semoga Allah, Sang Damai, menggugah semua orang mengupayakan dialog dan rekonsiliasi. Kekerasan tak bisa diatasi dengan kekerasan. Kekerasan mesti diatasi dengan damai!” tandas Bapa Suci seperti di lansir Radio Vatikan (20/7).
R.B.E. Agung Nugroho
HIDUP NO.34, 24 Agustus 2014