HIDUPKATOLIK.com – Berbagai tantangan dihadapi siswa-siswi Katolik yang belajar di sekolah negeri. Di tengah dinamika kemajemukan, mereka ditantang tetap teguh dalam iman, berdaya tahan, dan meraih prestasi.
Brigitta Ary Lusinta Dewi, yang akrab disapa Ary, terpilih sebagai Ketua Palang Merah Remaja (PMR) SMAN 80 Jakarta Utara. Bersama rekan yang lain, siswi kelas XII jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) ini, aktif mengikuti aksi donor darah yang diadakan Palang Merah Indonesia (PMI) Pusat. “Setiap ada acara di PMI cabang SMAN 80 saya selalu ikut,” cerita umat Paroki St Lukas Sunter ini.
Berkat usaha dan kerja keras, Ary bersama tim berhasil menyabet gelar juara kedua dalam ajang lomba sekolah sehat tingkat Provinsi DKI Jakarta pada tahun lalu. Ary pun mewakili rekan-rekannya menerima penghargaan berupa uang, piala, dan piagam dari Wakil Gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama.
Prestasi lain ditorehkan Maria Audrey Kirana yang belajar di SMAN 31 Jakarta Timur. Pada tahun ajaran 2013/2014, umat Paroki St Yoseph Matra man ini, mengikuti pemilihan duta pelajar yang diselenggarakan Universitas Trilogi Jakarta bersama Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta. Dalam proses seleksi, dara kelahiran Jakarta, 14 November 1997 ini menunjukkan kemampuan berbicara dan mempresentasikan topik pilihan di hadapan dewan juri. Setelah mengikuti tahapan seleksi, Audrey masuk dalam deretan 15 besar duta pelajar DKI Jakarta. “Saya ingin membuktikan diri, saya bisa meraih prestasi. Kegiatan ini membuat saya semakin percaya diri dan berani,” urai Audrey.
Belajar perbedaan
Banyak alasan dilontarkan para siswa Katolik yang bersekolah di sekolah negeri. Salah satunya diungkapkan Agustinus Kurniawan Ady Sulistyo yang kerap disapa Yoyok. Ia menuturkan alasannya bersekolah di SMAN 8 Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan, lantaran ingin merasakan suasana yang berbeda. Maklumlah, dari sejak taman kanak-kanak hingga sekolah menengah pertama, Yoyok menempuh pendidikan di sekolah swasta Katolik. “Saya mendapat banyak pengalaman, karena harus berdampingan dengan umat beragama lain,” ujar Yoyok.
Pada tahun ajaran 2013/2014, siswa kelas XII jurusan IPA ini terpilih sebagai Ketua Komisi I Bidang II perwakilan kelas. Yoyok bertugas mengurus kegiatan siswa lintas agama di sekolah. Ia pun kerap terlibat dalam aktivitas kebersamaan antar siswa lintas agama, seperti pemotongan hewan kurban saat hari raya Idul Adha. “Di sini, saya belajar cara menghargai perbedaan,” ujar umat Paroki Keluarga Kudus Rawamangun ini.
Yoyok juga aktif dalam kegiatan Rohani Katolik atau Rokat di sekolah. Setiap hari, sebelum jam masuk kelas dan pada pukul 12.00, Yoyok bersama 17 rekannya yang beragama Katolik pergi ke ruang Rokat untuk doa bersama.
Selain Yoyok, ada Albert Setiawan yang juga aktif dalam Rokat SMAN 8 Jakarta. Umat Paroki St Gabriel Pulo Gebang ini mengaku senang belajar bersama teman-teman dengan latar belakang agama berbeda. “Saya jadi tahu tentang agama lain,” urai Albert yang masuk kelas akselerasi SMAN 8 ini.
Berdinamika bersama siswa-siswi yang beragama lain, justru membuat Albert kian memahami arti perbedaan dan terus belajar menghormati segala perbedaan itu. “Saya belajar menghormati mereka, juga sebaliknya. Tidak perlu ribut-ribut tentang minoritas mayoritas. Yang penting, jadilah diri sendiri dan fokus belajar,” imbuh siswa yang meraih peringkat 10 besar di kelasnya ini.
Pengalaman serupa dialami Vincentius Rigil Kentviando yang belajar di SMAN 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara. Ricko -sapaannya- merasa senang bisa bergaul dengan rekan-rekan, meski berbeda keyakinan. Di sekolah ini siswa yang beragama Katolik ada 15 orang. Pada bulan Ramadhan, tutur Ricko, suasana saling menghargai perbedaan amat terasa. “Kami yang berbeda keyakinan menghargai mereka yang sedang menjalankan ibadah puasa dengan tidak makan atau minum di depan mereka,” cerita siswa kelas XII yang menjadi Ketua Majelis Perwakilan Kelas (MPK) SMAN 72 ini.
Kisah senada diungkapkan Ignatius Yohanes Willy Kristanto yang belajar di SMAN 33 Cengkareng, Jakarta Barat. Saat bulan Ramadhan, Willy dan siswa Katolik lain memilih menghargai teman yang berpuasa dengan berkumpul bersama saat jam istirahat di kelas berukuran lima kali tiga meter yang disediakan pihak sekolah. Ruang tanpa meja dan kursi yang diberi nama “Christian Room” ini dibagi menjadi dua kelas untuk siswa Katolik dan Kristen. Ruangan ini menjadi pilihan bagi para siswa Katolik dan Kristen untuk makan dan minum selama bulan puasa. “Saat bulan puasa kami saling menghormati dengan makan dan minum di ruangan ini. Tempat ini juga tempat kami berdoa pagi dan berdoa Angelus. Meski tempat ini terbatas, kami tetap bersyukur,” tutur siswa yang masuk peringkat lima besar di kelas XII IPA I ini.
Sementara, Lidwina Diandra Permata Himawan yang juga siswi SMAN 33 Cengkareng, merasa senang bisa berdinamika bersama dengan mereka yang berkeyakinan lain. Diandra, demikian ia disapa, menuturkan, berkawan dengan mereka yang berbeda agama justru menambah pengalaman dan pengetahuannya. Ia juga sering mendapat pertanyaan-pertanyaan tentang iman dari rekan-rekannya, seperti tentang Tuhan Yesus dan Bunda Maria. “Saya justru bersyukur, bisa saling berbagi pengetahuan dengan mereka yang berbeda agama,” kisah peraih peringkat kedua di kelas XI IPA III ini.
Aprianita Ganadi
Laporan: Celtus Jabun
HIDUP NO.32, 10 Agustus 2014