HIDUPKATOLIK.com – Pilpres 9 Juli 2014 telah terlaksana. Rakyat Indonesia, hari itu berbondong-bondong ke TPS untuk menyalurkan aspirasinya memilih presiden dan wakil presiden untuk masa lima tahun ke depan.
Maria Katarina Sumarsih masih trauma menyaksikan upacara pengamanan Pilpres 2014 yang melibatkan tentara lengkap dengan panser, walau hanya dalam tayangan televisi. ”Seharusnya yang menjaga kan polisi. Ini kok sampai tentara juga disiagakan. Kalau melihat kendaraan tempur seperti itu, saya jadi ingat peristiwa 1998,” ungkapnya.
Kesedihan dan luka batinnya masih belum terhapus karena anaknya, BR Norma Irmawan tertembak di depan kampus Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, pada Jumat, 13 November 1998. Sampai sekarang ia masih menuntut keadilan ke berbagai pihak karena tidak jelas benar siapa yang harus bertanggungjawab atas kematian Wawan, panggilan almarhum. Yang membekas di hati Sumarsih adalah: tentaralah yang telah membunuh anaknya.
Walau merasa cemas, Sumarsih bersama suaminya Arief Priyadi dan anak bungsunya BR Irma Normaningsih berangkat ke TPS 033, Kelurahan Meruya Selatan, Jakarta Barat.
Pagi yang cerah, Rabu, 9 Juli lalu, sekitar pukul 08.00, seusai sarapan pagi, Sumarsih berbalut baju setelan warna hitam bersama keluarga naik mobil menuju TPS. Kurang lebih tujuh menit perjalanan, keluarga Sumarsih sudah sampai di TPS. Di tempat itu, sudah nampak antrean warga. Setelah menunggu sekitar 15 menit, giliran Sumarsih dan keluarga mencoblos. Selesai menyalurkan aspirasinya, Sumarsih dan anaknya diantar sang suami pulang ke rumah. Sedangkan Arief Priyadi sendiri berangkat ke kantornya di CSIS Tanah Abang, Jakarta, untuk memantau quick count Pilpres yang dilakukan oleh lembaga tempat ia bekerja.
Di tahun 2014 ini, Sumarsih sungguh bersemangat untuk ikut Pilpres. Wanita kelahiran Semarang, 28 Desember 1950 ini bahkan telah berkampanye melalui akun FB-nya jauh hari sebelum Pilpres, ”Mari berbondong-bondong ke TPS, kita kawal reformasi dan demokrasi, jangan pilih Capres pelanggar HAM”. Padahal dalam Pemilu tahun-tahun sebelumnya, ia sempat mendapat julukan ”Ibu Golput” karena sering mengkampanyekan Golput dalam hajatan Pemilu.
Namun, kini, penerima penghargaan Yap Thiam Hien Award tahun 2004 ini tergerak oleh Surat Gembala KWI. Surat tersebut sungguh menyentuh hatinya dan memberikan semangat untuk turut serta mencoblos. ”Surat itu cukup memberi arah dan mendorong saya untuk ikut Pilpres,” katanya.
Berdoa untuk Pilpres
Hal sama dilakukan oleh novelis Justina Ayu Utami. Dalam Pilpres kali ini Ayu tak henti-hentinya mengajak orang untuk ikut mencoblos melalui akun twitter-nya @BilanganFu. Menurut Ayu, Pilpres kali ini lain dari sebelumnya. Selain aktif ngetwit, penulis novel berjudul Saman, yang melambungkan namanya itu, bahkan rutin berdoa tiap malam semenjak Capres yang ditentukan hanya dua orang. “Saya tidak pernah segitunya dalam Pilpres sebelum ini. Buat saya, Pilpres kali ini sangat serius,” imbuh wanita kelahiran Bogor, 21 November 1968.
Ayu melihat dalam Pilpres ini generasi muda dapat memetik pelajaran berharga. Mantan wartawati Majalah Forum Keadilan ini melihat tiga poin penting. Pertama, ia melihat bahwa sejarah ternyata mudah terlupakan atau tidak diwariskan kepada generasi muda. Hal itu tampak pada banyak anak muda yang tak paham kejadian masa Orde Baru dan Reformasi. Anak muda kurang percaya dengan masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) seperti penculikan dan penghilangan orang. Bahkan ada yang merasa persoalan tersebut tidak penting. Menurut Ayu, hal ini harus dicermati. ”Jangan sampai di masa depan kita terus gagal mentransfer sejarah kepada generasi berikut,” ungkapnya.
Kedua, Ayu melihat cara-cara kotor dan kampanye hitam dengan fitnah yang menyerang salah satu kandidat Capres malah diterima oleh sebagian warga. Hal ini sungguh ia sayangkan. Ketiga, Ayu melihat hal positif dengan bergeraknya relawan pendukung capres yang bersih dari masalah pelanggaran HAM dan korupsi. Ribuan relawan bahkan rela menyumbang tenaga, uang dan sumber daya yang mereka punya. Ini membuat Ayu lega, ”Ini adalah bukti adanya modal sosial yang sangat berharga. Kita harus menggarapnya ke depan.”
Sebagai bentuk dukungan nyata, pada Rabu, 9 Juli 2014, Ayu datang untuk mencoblos di TPS dekat SDN 5 Blok S, Rawa Barat, Kebayoran Baru, Jakarta. Alumna jurusan Sastra Rusia UI ini, mengaku sungguh bersemangat dalam Pilpres kali ini. Makanya, ketika di TPS ia takut salah coblos. “Ini Pilpres yang paling penting yang pernah saya alami,” katanya. Pagi itu, ia mengawali aksinya mencoblos dengan berdoa dan ngetwit, ”#doapagi Jernihkanlah suara kami”. Seusai mencoblos, Ayu memasang foto jari yang sudah tercelup tinta di twitternya dengan komentar, ”Sudah mencoblos. Bajuku kotak ungu, jariku tinta ungu.”
Doa juga dilantunkan Uskup Bandung, Mgr Antonius Subianto OSC dan Uskup Tanjung Selor yang juga Ketua Komisi Kerasulan Awam KWI, Mgr Yustinus Harjosusanto MSF. Dalam intensi misa pagi hari itu, mereka mendoakan agar Pilpres berjalan lancar, jujur, aman dan damai. ”Dengan maraknya kampanye hitam di masa kampanye, saya berdoa agar rakyat digerakkan Roh Kudus saat memilih,” kata Mgr Anton. Dengan perasaan senang dan tanpa ragu-ragu sesuai petunjuk Surat Gembala KWI, uskup kelahiran Bandung, 14 Februari 1968 ini menyalurkan aspirasinya di TPS yang ada di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan Bandung. Sedangkan Mgr Harjo, disertai semangat besar untuk memilih pemimpin Republik ini, seusai misa ia langsung berangkat ke TPS. ”Saya berangkat agak pagi, tidak seperti Pileg yang lalu. Ketika mencoblos, saya sudah mantap dan tidak ragu dengan pilihan yang telah saya tentukan sebelum ke TPS,” ungkapnya.
Harapan untuk Presiden
Mengomentari Pilpres kali ini, Mgr Harjo berharap agar Presiden dan Wakil Presiden terpilih dapat menjalankan amanat rakyat yang tertuang dalam Konstitusi. Menurutnya, azas keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia mesti menjadi perhatian utama. Selain merupakan salah satu sila dari Pancasila, keadilan juga menjadi kunci utama untuk menciptakan perdamaian. Ia berpendapat, usaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat perlu disertai dengan pembentukan mental baru, mengingat salah satu kerusakan bangsa ini adalah dalam hal mentalitas dan moralitas. ”Dengan demikian bukan hanya dengan praktek kesalehan agama dengan simbol-simbolnya yang diutamakan, melainkan penghayatan iman setiap warga dalam hidup sehari-hari,” tandas uskup kelahiran Magelang, 5 September 1953.
Mgr Anton mempunyai harapan yang hampir sama. Alumni Seminari Menengah Mertoyudan, Magelang ini memimpikan agar presiden terpilih menjaga integritas pribadi, meningkatkan martabat manusia, dan mau melayani rakyat. Idealnya, menurut Mgr Anton, presiden harus memahami medan profetik yang diemban dengan berbagai tantangan. Artinya, melayani adalah keutamaan dalam memimpin kerja publik dan politik. Selain itu, presiden baru juga diharapkan mampu mengadakan perubahan spiritual dalam konteks kehidupan umat beragama. ”Ini semua adalah suatu pertanda bahwa hadirnya Kerajaan Allah untuk bangsa kita,” ujarnya.
Pemilih seperti Ayu juga berbunga-bunga menggantang harapan kepada presiden yang dipilih rakyat Indonesia. ”Presiden terpilih diharapkan membawa perubahan mendasar bagi Indonesia ke arah kebaikan,” katanya. Menurut umat Paroki Blok Q, Jakarta ini, Indonesia kini menghadapi era yang berbeda. Negara membutuhkan pemerintah yang bersih, tegas, konsisten, dan mendengarkan rakyatnya. ”Indonesia membutuhkan pemerintah yang menjaga kekayaan dan keragaman sumber daya alam dan manusia Indonesia,” tandas Ayu.
Sedangkan Sumarsih tak henti-hentinya menyerukan agar presiden baru nanti mengedepankan penegakan supremasi hukum dan HAM, serta pengawalan agenda reformasi. Menurut umat Paroki Maria Kusuma Karmel, Jakarta ini, penegakan hukum adalah salah satu cara untuk memperbaiki martabat bangsa yang saat ini dirasa merosot. “Hukum di Indonesia tajam ke bawah, tumpul ke atas,” ungkapnya. Kenapa ia berharap seperti itu? Mantan guru bahasa Inggris SMP Budi Murni Jakarta Barat ini pernah mengalami “dipimpong” oleh Komnas HAM, Kejaksaan Agung, dan DPR, ketika ia mencari keadilan atas kematian Wawan, putra sulungnya.
Langkah Gereja ke depan
Berkaitan dengan langkah Gereja terhadap presiden baru, Sumarsih hanya berpesan agar Gereja tetap membina umatnya untuk tetap menyuarakan semangat ”100% Katolik-100% Indonesia”. Jika umat Katolik benar-benar meneladan Tuhan Yesus, saling mencintai, mengasihi, dan melaksanakan ajaran Katolik, tentu umat bisa menjadi cahaya untuk menerangi para penguasa agar mereka bekerja jujur dan bertanggung jawab. Dan juga dapat menerangi orang-orang yang mentalnya bobrok, korupsi di berbagai lembaga negara.
Sebagai umat yang 100% Indonesia, Sumarsih mengajak umat untuk tetap patuh terhadap dasar negara Pancasila. ”Jika Pancasila dijalankan dengan baik, kasus-kasus diskriminasi terhadap kaum minoritas tidak akan terjadi,” ujar pensiunan karyawati Sekretariat Jenderal DPR-RI dan pernah menjadi staf Keuangan Fraksi Golkar tahun 1999-2008.
Mgr Harjo melihat sisi lain. Ia menghimbau agar umat Katolik yang memiliki
posisi, peran dan fungsi di lembaga negara di tingkat mana pun harus memperjuangkan terwujudnya nilai-nilai luhur kemanusiaan. Hak-hak asasi manusia yang melekat pada setiap individu, yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapa pun, mesti dihormati. ”Umat Katolik, khususnya yang memiliki peran dan fungsi tertentu, mesti menjadi barisan terdepan untuk mewartakan dan mewujudkannya,” tegasnya.
Ketua Komisi Kerawam KWI ini juga mengingatkan agar kebanggaan akan NKRI dan bagian dari masyarakat Indonesia harus dihayati oleh setiap umat Katolik. Oleh karena itu umat Katolik diharapkan dapat berusaha dengan caranya masing-masing melibatkan diri demi tercapainya cita-cita bangsa Indonesia. Keterlibatan umat berarti memainkan peran sebaik-baiknya di tengah kehidupan masyarakat dan sekaligus berkontribusi melalui aneka bentuk.”Diam berarti membiarkan pihak lain, yang menggunakan perspektif tertentu yang belum tentu sejalan dengan cita-cita bersama, mengambil kebijakan-kebijakan menurut perspektif tertentu itu,” tandasnya.
Mgr Harjo juga meminta agar umat Katolik mencermati dan mengawasi program-program kesejahteraan rakyat, khususnya mereka yang lemah dan miskin. Atas dasar keyakinan bahwa sebagian besar masyarakat berkehendak baik, Mgr Harjo berharap agar umat Katolik bekerja sama dengan semua pihak untuk mewujudkan cita-cita bersama.
Umat Katolik juga diingatkan untuk meningkatkan keterbukaan untuk berdialog, mengembangkan sikap inklusif dan bersaudara dengan siapa pun. ”Untuk mengurangi kecurigaan antar kelompok, Gereja harus lebih banyak menjalin komunikasi, pertemuan, dan kerja sama dengan komunitas agama atau masyarakat lain sehingga dapat menjadi agen perbaikan dan belarasa bagi Indonesia,” kata Ayu menambahkan.
Menyitir Surat Gembala KWI, Mgr Anton menegaskan agar umat Katolik mendukung siapa pun yang menang. Yang terpenting menurut uskup yang akan ditahbiskan pada Senin, 25 Agustus 2014 nanti, adalah partisipasi aktif terhadap janji-janji presiden terpilih selama masa kampanye. Dalam konteks ini, ia mengajak umat terlibat mewujudkan janji-janji itu sebagai wujud hadirnya Gereja untuk bangsa dan negara. ”Umat Katolik harus turut menyukseskan visi misi presiden baru, dan sebisa mungkin memberikan kontribusi untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan rakyat Indonesia,” katanya.
A. Nendro Saputro
Laporan: A. Benny Sabdo, Norben Syukur (Jakarta) dan Mars Wera (Bandung)
HIDUP NO.29, 20 Juli 2014