HIDUPKATOLIK.com – Langkahnya penuh semangat. Senyum khasnya, ia bagikan kepada setiap orang yang berpapasan dengannya. “Selamat pagi, sudah nyoblos?”, sapa Uskup Agung Jakarta yang sekaligus Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Mgr Ignasius Suharyo kepada beberapa orang yang ditemui dalam perjalanan menuju TPS 19, Pasar Baru, Jakarta Pusat, Rabu, 9/7. Mgr Suharyo yang ditemani Vikjen KAJ RD Yohanes Subagyo dan dua imam lainnya, mengakui Pilpres kali ini bukan sesuatu yang sangat istimewa. “Perasaan saya biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa, karena hal seperti ini sudah biasa saya lakukan. Saya menggunakan hak pilih, berpartisipasi dalam pesta lima tahunan ini,” ungkapnya.
Dalam perjalanan menuju TPS tersebut, Mgr Suharyo menyampaikan harap an untuk presiden yang terpilih nanti. Menurutnya, pemimpin yang terpilih adalah orang yang benar-benar memperjuangkan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia, sebagaimana tertulis dalam pembukaan Undang- Undang Dasar 1945. Pemimpin seperti ini, lanjutnya, dalam bahasa gerejanya adalah pemimpin yang mau melayani dan terbukti menjunjung tinggi Ajaran Sosial Gereja (ASG). Yang mesti terus dijalankan oleh seorang pemimpin yaitu: Pertama, menghormati kehidupan dan menjunjung tinggi martabat manusia. Kedua, memperjuangkan kebaikan bersama. Artinya jabatan hanya sarana untuk pelayanan. Semakin tinggi jabatannya maka semakin terbuka kesempatan untuk memperjuangkan kebaikan bersama. Dalam bahasa Pancasila hal ini berarti memperjuangkan kemerdekaan bagi seluruh rakyat Indonesia. Ketiga, mengembangkan solidaritas dan keempat, memberi perhatian lebih kepada orang miskin dan mencintai lingkungan hidup.
Sementara bagi umat Katolik, Mgr Suharyo berharap agar umat dapat membangun sikap menghormati dan menghargai presiden terpilih. Dengan demikian lanjutnya, sebagai warga negara, umat Katolik harus loyal terhadap pemimpin yang terpilih, namun tetap membangun sikap kritis. Artinya semua yang dilakukan oleh pemimpin atau presiden terpilih, harus selalu dikawal, dan harus dicocokkan dengan cita-cita kemerdekaan. Harus ada kecocokan, antara apa yang dilakukan pemerintah dengan apa yang tertuang dalam UU. Misalnya kritis dalam hal hukum. Menurut Mgr Suharyo, saat ini tidak sedikit hukum yang ditata oleh UU dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena tidak sesuai dengan konstitusi. UU dibentuk karena kemauan pemimpin. ”Kalau sampai presiden mengesah kan UU yang melawan konstitusi, itu sudah pasti berbahaya,” tegasnya. Karena itu, fungsi kritis harus dibangun oleh setiap warga negara, khususnya umat Katolik. “Sebagai warga negara, kita boleh menerima pemimpin sepenuh hati. Kita tidak hanya tunduk tetapi harus kritis. Itu prinsipnya,” kata Mgr Suharyo.
Norben Syukur
HIDUP NO.29, 20 Juli 2014