web page hit counter
Senin, 23 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Spiritualitas Kristiani di Domain Kekuasaan

Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Semangat kompetisi politik dalam Pilpres 2014 mengakibatkan umat Katolik terbelah menjadi dua kubu. Kini saatnya merajut kembali persaudaraan dalam Yesus Kristus, yang sempat terlenakan karena keributan politik.

Rangkaian kompetisi politik, Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, merupakan pertarungan yang paling keras sejak bangsa Indonesia mengenyam kebebasan politik pasca-tumbangnya penguasa yang otoritarian. Ranah politik sarat dengan transaksi kepentingan yang oportunistik dan kumuh, karena tercemar oleh polusi beracun yang diproduksi secara masif oleh menggeloranya hasrat dan nafsu perburuan kekuasaan yang telah melewati ambang batas etika berbangsa dan bernegara.

Sementara itu ruang publik yang seharusnya menjadi ranah yang menghadirkan diskursus sehat untuk menjaga kewarasan masyarakat, seakan tidak berdaya menembus kepekatan awan gelap hiperrealitas (kenyataan palsu) yang diproduksi oleh sementara media, terutama elektronik, yang mengkonstruksi peristiwa (kejadian atau sosok) menjadi fakta semu yang sesuai dengan kepentingan subyektifnya. Dalam Pilpres, masyarakat pun terbelah menjadi dua kubu berdasarkan tingkat pemahaman masing-masing, yang mungkin sekali juga terdistorsi oleh kerancuan mereka membedakan antara orisinal dan artifisial.

Sementara itu, repetisi retorika, demagogi, dan agitasi politik yang diulang terus-menerus mengakibatkan publik sulit membedakan antara sesuatu yang palsu dan otentik. Lebih dari itu, pertarungan politik yang sengit dan ketat mendorong naluri para petarung cenderung menyederhanakan kompleksitas politik. Pemilu menjadi sekadar urusan menang-kalah, hitam-putih, lawan kawan, musuh-kerabat. Akibatnya, perbedaan pendapat bukan sarana membangun konsensus untuk menemukan gagasan, strategi dan road map untuk menghasilkan kebijakan yang paling mendesak untuk menyejahterakan masyarakat; tetapi justru dianggap sebagai upaya perlawanan, pembangkangan atau musuh yang harus ditaklukkan. Kebenaran sekan-akan hanya dimonopoli oleh masing-masing kubu yang berkompetisi. Kecenderungan memutlakkan pendapat dan kepentingan subyektif sebagai ukuran kebenaran. Akibatnya, pertarungan politik dalam kehidupan demokrasi yang seharusnya menjadi upaya memahat peradaban bangsa, terperosok menjadi medan perburuan kekuasaan dengan saling adu lihai mengatur siasat serta unjuk kekuatan. Oleh karena itu, dalam pemilihan umum, baik Pileg, maupun Pilpres kali ini, kehidupan politik dirasakan mencekam. Perasaan takut dan khawatir menyusup di kalangan masyarakat dan menjadi menu hangat yang beredar lewat media sosial. Mereka yang masih trauma dengan peristiwa kerusuhan berdarah dan biadab sekitar enam belas tahun yang lalu (Mei 1998) sudah saling kasak-kisik untuk pergi ke negara seberang untuk sekadar mendapatkan rasa aman.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Konstatasi tersebut di atas juga terjadi di kalangan umat Katolik. Padahal, biasanya umat Katolik bersikap “adem” terhadap dinamika politik. Namun dalam Pilpres kali ini tingkat dinamika dan partisipasinya dirasakan meledak dan memanas. Tidak terlalu salah kalau dikatakan umat Katolik juga terbelah dalam dua kubu. Memanasnya suhu politik mungkin sudah diawali pada Pileg bulan April yang lalu. Pemicunya, keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan tuntutan agar pemenang dalam Pileg adalah suara terbanyak. Akibatnya, muncul kerancuan antara sistem proporsional dan suara terbanyak. Pertarungan perebutan kursi mulai dari tingkat nasional sampai lokal, sedemikian sengit; dan tragisnya, saling mematikan justru terjadi di antara kader-kader dari Parpol yang sama. Tidak sedikit pula para Caleg Katolik dari partai yang sama saling “bunuh” di medan laga yang disebut Daerah Pemilihan (Dapil). Semangat cinta kasih yang menjadi inti ajaran Kristiani yang seharusnya memperoleh dan memberlakukan kekuasaan melalui keadilan, melayani, mengampuni, kesederhanaan, uga hari serta bijak bestari, tidak berbekas sedikit pun. Politik uang juga merajalela di beberapa kalangan umat Katolik.

Semangat kompetisi politik yang menjadi pertarungan antara “hidup dan mati”, berlanjut dalam Pilpres 2014. Umat Katolik terbelah menjadi dua kubu. Sebenarnya, perbedaan pilihan politik bagi umat Katolik adalah biasa. Sejalan dengan semboyan bangsa Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika; dalam konteks ini bhinneka dalam pilihan politik, tetapi Ika dalam iman Kristiani. Oleh karena itu, hikmah yang harus dipetik dari peristiwa politik dewasa ini adalah menghadirkan spiritualitas Kristiani dalam kehidupan politik secara lebih eksplisit. Umat Katolik sudah dianugerahi keutamaan yang dapat dijadikan pedoman untuk menghayati Spiritualitas Kristiani menjadi road map ke jalan menuju kesucian politik.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Jalan tersebut dapat ditemukan dalam Sabda Bahagia dan Khotbah di Bukit (Mat. 5-7). Intinya kurang lebih sebagai berikut: Pertama, di mana ada nafsu untuk memiliki dan ketakutan untuk memberi serta berkorban, Yesus menyerukan semangat kemiskinan di hadapan Allah. Kedua, di mana ada kecenderungan untuk menggunakan kekerasan dan kekuatan apabila hak-haknya dilanggar, Yesus menawarkan kelembutan dalam perjuangan dan pengharapan pada Allah yang memperhatikan jeritan penderitaan orang-orang lemah. Ketiga, di mana ada ketakutan menghadapi kekuasaan yang sewenang-wenang, Yesus menjamin kebahagiaan bagi orang-orang yang tidak takut dicela dan dianiaya dalam memperjuangkan kebenaran (bdk. Mat. 5:3-5, 10-12). Keempat, di mana agama dilaksanakan secara lahiriah dan setengah-setengah, Yesus menantang kita untuk mengembangkan komitmen iman yang radikal (bdk. Mat. 5:17-48).

Dalam bahasa yang lebih universal Prof Dr Driyarkara menegaskan pentingnya membangun manusia, baik yang Katolik maupun yang bukan Katolik, dengan memandang manusia yang secara kodrati mengandung dua unsur, “Kesatria” dan “Denawa” (raksasa). Namun karena manusia adalah mahluk ciptaan Yang Mutlak dengan limpahan berkah yang luar biasa, yaitu berdaulat atas dirinya sendiri, swadiri, bertahta, “Kediri-sendirian”, jumeneng, bersemayam dalam dirinya. Makna terdalam dari “berdaulat atas dirinya sendiri”, manusia “bertahta” , tidak menyerahkan kedaulatannya kepada ”kenikmatan daging yang memperbudak dirinya”. Urgensi menghadirkan spiritualitas Kristiani sangat mendesak agar umat Katolik dapat menggarami kebijakan politik, mengingat dewasa ini bangsa Indonesia menghadapi kekusutan politik yang tidak mudah diurai menuju kekuasaan yang beradab. Tingkat keseriusan yang dihadapi bangsa ini bukan soal paradigma, gagasan, konsep, strategi atau kemampuan merumuskan regulasi. Lebih mendasar dari itu semua. Tantangan yang dihadapi sebagai berikut; Pertama, absennya niat politik (political will) pemegang otoritas kekuasaan untuk membuat kebijakan yang sepenuhnya memihak rakyat. Praktik lima belas tahun terakhir kebijakan umum merupakan produk transaksi kepentingan kekuasaan. Kedua, banalisasi kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), korupsi politik. Para pelaku mungkin menganggap menguras kekayaan negara absah kalau demi “perjuangan” partai. Alasan pembenar yang mulia, tetapi dilakukan dengan cara yang nista. Mereka telah sukses mengelabui dirinya. Ketiga, menguatnya sindrom ”Lord Action”, sindrom kecenderungan pemegang kuasa menyalahgunakan kekuasaan, korupsi. Ragam dan magnitudo simptom korupsi sangat epidemik dan telah menjalar ke sekujur tubuh politik. Tantangan tersebut memerlukan pemimpin yang bersih dan mempunyai kemampuan menggalang dan memadukan niat politik dari seluruh komponen bangsa untuk mengatasinya. Keempat, fenomena pemujaan terhadap kedangkalan (The Cult of Philitinism). Politik dipahami secara dangkal dan sesat, yaitu sekadar bagaimana memperoleh, menggunakan dan mempertahankan kekuasaan; bukan sebagai sarana mewujudkan kehidupan bersama yang sejahtera dan bahagia. Demokrasi dipahami sebatas pada prosedur politik, dan mengabaikan esensi demokrasi sebagai upaya mengukir peradaban.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Pengalaman politik dewasa ini sangat berharga dijadikan bahan kontemplasi untuk membangun watak umat Katolik sehingga mempunyai karakter yang menghasilkan perilaku politik yang memihak kepada keadilan dan perjuangan membebaskan rakyat dari ancaman kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan penderitaan pada umumnya. Hanya dengan bekal spiritualitas Kristiani, umat Katolik menjadi garam dunia dan pelita harapan. Agenda urgensinya adalah merajut kembali persaudaraan dalam Yesus Kristus yang sempat terlenakan karena keributan politik.

J. Kristiadi, Peneliti Senior CSIS

HIDUP NO.29, 20 Juli 2014

ARTIKEL SEBELUMNYA
ARTIKEL SELANJUTNYA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles