HIDUPKATOLIK.com – Sepak bola menjadi momen perjumpaan keanekaragaman kehidupan dan wahana menyemai nilai-nilai kristiani. Inilah kebun anggur Gereja yang harus digarap.
Sejak paruh kedua tahun lalu, Brazil menjadi sorotan dunia. Ribuan laras kamera mengarahkan bidikannya ke ajang World Youth Day (WYD) yang dihadiri Paus Fransiskus. Pada tahun ini, Brazil kembali menyedot perhatian seantero dunia dengan pagelaran Piala Dunia. Negeri Samba itu dibanjiri wisatawan selama dua momen mondial ini berlangsung. Layaklah jika perhelatan besar ini direfleksikan dalam kacamata iman.
Momen Perjumpaan
WYD dan Piala Dunia seolah menjadi wadah untuk belajar menghargai dan menerima keanekaragaman sebagai keniscayaan dalam komunitas umat manusia. Pelbagai bangsa berlatar budaya dan bahasa berbeda tumpah ruah dalam momen ini. Pertemuan mereka tentu membuahkan pengalaman kebersamaan dalam perbedaan.
Piala Dunia menjadi magnet perjumpaan keniscayaan tersebut. Para pemain tim nasional tiap negara saja sudah mencerminkan keanekaragaman. Apalagi para pendukungnya. Mereka bisa terikat dengan rasa memiliki tim yang sungguh mengakar jika tak ingin menamainya fanatik. Semangat seperasaan ini mampu menggelorakan agenda besar, memobilisasi begitu banyak orang untuk berbuat sesuatu dengan visi sama. Mereka rela melakukan banyak hal demi mendukung tim favorit.
Dalam konteks memaknai keanekaragaman, Piala Dunia bisa dijadikan ajang belajar. Rasa memiliki tim favorit dapat diarahkan pada gerakan dukungan yang positif. Pertandingan demi meraih kemenangan pun digelar dalam konteks tegaknya aturan permainan. Alangkah indahnya jika Gereja bisa menggerakkan segenap anggotanya karena rasa memiliki dan cinta akan Tuhan dan sesama. Semua tentu bermula dari semangat seperasaan dalam hidup bersama dengan yang lain berlandaskan sikap saling menghargai dan menerima keanekaragaman, serta berjalan dalam koridor ajaran kristiani.
Spiritualitas Stadion
Selain berbuah perjumpaan, sepak bola berdaya pikat untuk mengumpulkan lebih banyak orang terutama kaum muda. Kelas ekonomi mana pun bisa gandrung dengan dunia sepak bola ini. Bahkan lazim disebut olah raga yang populer di kalangan rakyat jelata. Forum ini amat strategis untuk menyemai benih kebajikan demi keharmonisan hidup bersama.
Kadang ada waktu hening sebelum pertandingan untuk mengenangkan wafatnya seseorang. Tak jarang diadakan pertandingan untuk mengumpulkan dana kemanusiaan atau mempromosikan nilai-nilai persaudaraan antarbangsa. Ajang sepak bola ini pun memuncak dalam Piala Dunia. Maka diseminasi nilai-nilai luhur peradaban manusia menemukan wahana untuk dikembangbiakkan.
Di dalam stadion yang menjadi tontonan jutaan orang di seluruh dunia, sederet nilai peradaban itu tercermin. Latar belakang yang berbeda bertemu untuk mendulang spiritualitas dalam permainan yang mereka lakukan, pun yang dilihat orang. Inilah miniatur perjuangan membangun komunitas umat manusia. Suatu pertandingan seumpama kuliah atau bahkan khotbah yang mengarahkan jutaan mata dan telinga untuk ikut mengalami. Tentu saja buah pengalaman itu hanya bisa tumbuh dan berkembang jika dipupuk dan direfleksikan.
Tak heran, spiritualitas dalam stadion itu dilirik Gereja untuk menyerukan moralitas kristiani. Itulah lahan pastoral yang patut dipeluk. Mengupas buah rohani persepakbolaan tak ubahnya berkatekese tentang nilai kehidupan yang dijunjung Gereja. Apalagi, banyak orang muda dan rakyat jelata punya keterlibatan aktif. Gereja tak harus menyukai Piala Dunia, melainkan melihatnya sebagai kebun anggur yang patut digarap. Tentu tak hanya di mana momen itu berlangsung, tapi dalam Gereja partikular di mana momen perjumpaan keanekaragaman hidup bergulir. Dalam kancah ini, sentuhan Gereja akan menyapa generasi masa depan dan orang kecil yang menjadi konsen untuk dilayani.
R.B.E. Agung Nugroho
HIDUP NO.28, 13 Juli 2014