HIDUPKATOLIK.com – Gereja belum berani membuka diri untuk mengakui dan membenahi beberapa kasus yang dilakukan oleh kaum klerus. Upaya yang dilakukan Paus Fransiskus menjadi cambuk panggilan bagi kita untuk segera berbenah.
Dari masa ke masa, banyak hal terjadi dalam tubuh Gereja. Perubahan ke arah yang lebih baik terus diprakarsai dan digulirkan. Gereja berusaha terus membarui diri untuk menjawab tuntutan-tuntutan zaman yang berubah. Namun, beriringan dengan pembaruan diri itu, bukan berarti Gereja berjalan tanpa cela. Banyak peristiwa tak terpuji turut menyertai.
Pada tataran tertentu, baik kaum berjubah maupun umat, seakan tak berdaya atau justru terkesan mendiamkan kasus-kasus tertentu yang dijumpai dalam tubuh Gereja. Selain kecenderungan para imam yang menempatkan diri lebih tinggi, umat pun tanpa sadar mengamini hal itu dengan tak berani mengoreksi atau menyampaikan kritik. Hubungan atas-bawah ini menciptakan kondisi yang amat klerikal. Dari aneka peristiwa yang terjadi sepuluh tahun belakangan, setidaknya ada kasus-kasus yang menuntut keseriusan Gereja untuk mengatasi, termasuk berani membuka diri untuk mengakui demi kebaikan bersama.
Kasus
Tentu masih hangat dalam ingatan kita tentang kasus yang menimpa Herman Jumat Masan, seorang mantan imam Keuskupan Larantuka, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Kala masih aktif menjadi seorang imam, ia menjalin hubungan asmara dengan seorang biarawati bernama Yosephine Keredok Payong atau Marry Grace pada akhir 1990-an. Hubungan mereka membuahkan dua anak. Namun, hubungan mereka harus berujung maut dengan kematian dua anak itu dan Marry Grace. Selama sepuluh tahun, kasus ini serasa terbenam. Seolah tidak terjadi apapun dan tak ada yang mengetahui. Namun kini, Herman Jumat Masan sedang menjalani masa tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Maumere, Flores, NTT. Ia menjadi terpidana mati atas kasus ini.
Masih ada kasus-kasus serupa yang sampai saat ini tidak jelas penyelesaiannya. Misal ada seorang imam dari sebuah tarekat yang diduga menghamili seorang perempuan. Kabar ini tentu cepat merebak di kalangan umat. Aneka gosip berhembus tanpa tahu kebenaran yang pasti. Tapi, tiba-tiba sang imam itu menghilang begitu saja, entah kemana. Lembaga tempatnya berkarya atau pimpinannya pun belum memberi klarifikasi secara terbuka.
Selain kasus seksual, kasus lain yang menuntut Gereja untuk segera berbenah adalah kasus yang berkaitan dengan keuangan. Pernah terjadi dalam sebuah organisasi Gereja, ekonom lembaga tersebut yang seorang imam, tiba-tiba menghilang dengan membawa lari sejumlah uang dengan nilai yang sangat besar. Sampai kini, lembaga tersebut belum mengusut, apalagi melaporkan ke pihak yang berwajib. Yang muncul justru desas-desus, bahwa sang imam melarikan uang tersebut ditemani seorang perempuan.
Hal lain terjadi di sebuah paroki yang kehilangan uang kolekte. Peristiwa ini tidak ditangani sampai tuntas. Sehingga yang beredar di tengah umat hanya dugaan-dugaan. Ada yang menuduh umat tertentu yang mengambil uang tersebut. Namun ada pula dugaan, justru sang imam yang mengambil uang kolekte tersebut.
Membarui diri
Segala bentuk kepincangan itu tentu tidak serta merta membuat Gereja kehilangan harapan. Perlahan namun pasti, Gereja terus berbenah dengan melibatkan sebanyak mungkin kaum awam untuk menjalankan tugas pelayanan pastoral Gereja. Sebagai contoh, Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) sudah sejak lama mempercayakan Komisi Hubungan Antaragama dan Kemasyarakatan diketuai dan diisi beberapa umat. Struktur dalam kepemimpinan paroki pun yang sebelumnya berbentuk piramidal ke atas, kini berubah menjadi kepemimpinan kolegial. Umat dilibatkan secara aktif dalam setiap pengambilan keputusan-keputusan penting dalam reksa pastoral paroki. Dalam hidup menggereja dan dalam tugas pelayanan yang diutamakan adalah egalitarian, bukan ordinat atau subordinat.
Begitu pula di Konferensi Waligereja Indonesia. Banyak kaum awam yang dinilai memiliki kompetensi dilibatkan secara aktif dalam komisi-komisi. Diharapkan, di situ terjadi komunikasi timbal balik antara para klerus dan umat untuk menemukan solusi pastoral yang kontekstual dan menjawab kebutuhan umat dan masyarakat.
Pun di tingkat Gereja Universal. Paus Fransiskus telah mengambil langkah-langkah serius dalam usaha penanganan kasus-kasus yang menimpa kaum klerus. Misal, pada awal 2014, Paus Fransiskus kembali membenahi Bank Vatikan (IOR). Langkah ini ditempuh dengan memperbarui Komisi Lima Kardinal yang dibentuk pada Juni 2013, sebagai pengawas IOR. Pada 24 Februari 2014, Paus Fransiskus juga membentuk lembaga baru dalam Kuria Roma dengan Motu Proprio Fidelis Dispensator et Prudens. Paus mempromulgasikan pendirian Sekretariat untuk Ekonomi, sekaligus mengangkat Kardinal George Pell sebagai Prefek sekretariat baru ini.
Dalam sebuah simposium di Vatikan, Sabtu, 8/3, Paus juga mengingatkan agar selalu waspada dalam pengelolaan harta Gereja. Pemberian dana mesti dilakukan dengan hati-hati dan transparan supaya tidak diselewengkan demi kepentingan pribadi.
Paus Fransiskus juga mengambil langkah tegas dalam menangani kasus-kasus seksual yang melibatkan para imam dan mendapat catatan dari lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ia menunjuk anggota Komisi Kepausan untuk Perlindungan Anak, Sabtu, 22/3. Juru bicara Vatikan RP Federico Lombardi SJ menyatakan, Paus menempatkan perlindungan anak di bawah umur sebagai salah satu prioritas tertinggi bagi Gereja. Komitmen ini direalisasikan dalam pembentukan Komisi Perlindungan Anak. “Menjadi kebutuhan Gereja untuk menegakkan kebenaran tentang apa yang terjadi di masa lalu; mengambil langkah yang diperlukan untuk mencegah terjadi kembali; memastikan bahwa prinsip keadilan dihormati dan membawa pemulihan bagi para korban dan semua yang mengalami kejahatan mengerikan ini,” ungkap Pastor Lombardi menirukan amanat Paus Benediktus XVI yang ditujukan kepada para uskup Irlandia, 28 Oktober 2006. Komisi baru ini terdiri atas delapan anggota: tiga klerus, empat perempuan, dan seorang pria awam. Bahkan, Marie Collins yang terlibat dalam komisi ini adalah seorang perempuan Irlandia yang pernah menjadi korban pelecehan seksual kala berusia 13 tahun oleh seorang imam.
Melihat reformasi dan restrukturisasi ini, Gereja boleh berharap bahwa ia sedang mengarah ke jalan kebaikan. Sehingga cita-cita Konsili Vatikan II akan Gereja yang terbuka, selalu membarui diri, dan partisipatif semakin terealisasi dari masa ke masa.
Stefanus P. Elu
HIDUP NO.27, 6 Juli 2014