HIDUPKATOLIK.com – Kaum klerus tentu tidak bisa dihilangkan dari Gereja. Mereka, juga seperti umat, adalah fondasi pembangun Gereja. Tapi, jika kemudian menjadi klerikalisme atau diformalisasikan secara berlebihan, menjadi suatu paham, maka kita mulai melihat berbagai akibat negatif yang bisa terjadi. “Kita perlu belajar dari sejarah, yaitu reformasi. Itu terjadi, salah satunya, karena kekuasaan para imam yang terlampau besar, sehingga aspek spiritual menjadi tersingkir,” demikian ungkap Wakil Dekan Bidang Pendidikan, Penelitian, dan Kemahasiswaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Manneke Budiman saat ditemui Kamis, 26/6.
Manneke yakin, yang terjadi di masa lalu itu belum hilang sampai saat ini. Kecenderungan bahwa para klerus penuh dominan belum sepenuhnya hilang dari pikiran dan perlakuan umat. Katanya, “Kita masih mendengar di banyak paroki, pastor paroki berperan sebagai manajer yang aktif mengelola manajemen paroki. Ini tidak pas betul! Ada dewan paroki yang mesti diberdayakan. Ketika para pastor terlibat terlalu dalam ke urusan manajemen, maka kunjungan ke umat malah sangat kurang.”
Maka, untuk mengatasi hal ini, menurut prodiakon Paroki St Yohanes Penginjil Blok B, Jakarta Selatan ini, kita mungkin perlu memikirkan sebuah dewan pakar dalam paroki, sehingga mereka bisa membantu dalam mengelola manajemen paroki sesuai dengan keahlian mereka. Dengan demikian, pastor paroki tidak lagi dipusingkan dengan urusan manajemen paroki. Ia lebih fokus meningkatkan komunikasi pastoral bersama umat, terutama umat yang miskin, yang ada di gang-gang, yang terpinggirkan, yang tak memiliki kesempatan mengundang pastor makan bersama di restoran mewah, tak punya uang untuk membelikan baju mahal untuk sang pastor, dan yang lain.
Suara senada diutarakan Guru Besar Ilmu Susastra Universitas Indonesia, Melani Budianta. Ia menilai, budaya menghormati para klerus tidak salah. Namun, bukan berarti umat tidak boleh kritis dan mengoreksi para imam bila mereka melakukan kekeliruan. “Sudah ada dewan paroki yang berwewenang memberikan transparansi keuangan dan ikut bersuara dalam segala aspek kehidupan Gereja, mulai dari urusan liturgi hingga kehidupan umat. Dalam konteks itu, kehadiran dewan paroki dapat berfungsi sebagai kontrol dan penyeimbang,” kata Melani. Lebih dari itu, ia yakin bahwa apapun dinamika kehidupan di sebuah paroki, karakter kepemimpinan kepala paroki sangat mempengaruhi dinamika hubungan klerus dan umat dalam mewujudkan Gereja yang partisipatif.
Stefanus P. Elu
HIDUP NO.27, 6 Juli 2014