HIDUPKATOLIK.com – Dekat dengan pusat kekuasaan itu menyenangkan atau tidak? Komunitas Nasrani di Indonesia tentu bisa menjawab secara cukup obyektif, mengingat pernah berada dalam jarak yang berbeda- beda dengan pusat kekuasaan. walaupun bukan seorang Nasrani dan bukan demokrat tulen, tetapi perlakuan Soeharto semasa menjadi Presiden RI terhadap komunitas Nasrani terbilang amat baik. Mulai dari masalah ijin pembangunan gereja dan biara hingga penempatan pejabat beragama Katolik dalam jumlah proporsional, semua berlangsung mulus. Pada era Soeharto pula, dua paus datang ke Indonesia dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) berkembang menjadi kekuatan politik yang disegani.
Pasca Soeharto, situasi berubah. Itu bukan karena Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, ataupun Susilo Bambang Yudhoyono merupakan orang-orang yang bukan pluralis, apalagi anti-Nasrani. Adalah situasi politik yang bebas dan terbuka pada era reformasi ini yang membuat komunitas Nasrani relatif terpojok.
Negara yang berperan minimal pasca Soeharto tak mampu menahan tekanan berbagai elemen masyarakat saat beraliansi dengan praktisi politik guna mendorong kebijakan-kebijakan yang sektarian, perilaku ormas yang radikal serta kebijakan publik yang juga partisan. Maka, timbul kondisi ironis, di mana dalam era reformasi ini, gereja dibakar, dirusak, atau ditutup berjumlah dua kali melebihi seluruh jumlah gereja yang mengalami perlakuan buruk selama 30 tahun era Soeharto.
Bila Presiden Abdurrahman Wahid masih bisa terang-terangan memperlihatkan dukungan kepada kelompok Nasrani, presiden lain memperlihatkan jarak. Sepertinya, jarak yang sama juga diciptakan dalam hubungan dengan pemeluk agama lain. Di pihak lain, hampir tak ada lagi pelobi dari komunitas Nasrani, baik dari Kristen Reformasi ataupun Katolik, yang cukup berpengaruh. Kalaupun ada, semua tampak menahan diri menghadapi situasi yang kerap tidak bersahabat.
Pada era Jokowi, tampak situasi berubah. Masa keemasan, di mana komunitas Nasrani bermesraan dengan pusat kekuasaan, mulai terlihat lagi. Kecenderungan ini sudah mulai ketika posisi Walikota Solo yang ditinggalkan Jokowi diisi oleh seorang non- Islam, demikian pula posisi Gubernur DKI Jakarta.
Di balik keberhasilan Jokowi menjadi Presiden RI ketujuh, ada banyak sekali orang Nasrani yang berperan. Ada yang menjadi kelompok relawan, demikian pula yang berasal dari partai pendukung pasangan Jokowi-JK. Suara Gereja lumayan terang untuk mengajak umat Katolik mendukung pasangan ini. Alhasil, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) termasuk lembaga yang pertama kali dikunjungi Jokowi pada hari-hari pertama setelah dinyatakan menang dalam pemilihan Presiden RI.
Lewat kehadiran mereka yang berada di pusat pemerintahan, adakah keuntungan yang bisa dicapai? Perihal apa itu, biarlah situasi stratejik yang akan menentukan. Apakah berupa likuidasi SKB Dua Menteri yang membuat repot setiap kali hendak membangun gereja atau tuntutan pencabutan Perda Syariah yang hingga kini masih bertebaran. Secara jangka pendek dan menengah, penting pula memikirkan penambahan posisi jabatan publik bagi perwakilan komunitas Nasrani. Bentuk dan isi kebijakan publik di semua bidang diharapkan semakin adil dan damai, bila ada andil dari komunitas Nasrani.
Upaya memanfaatkan peluang harus dilakukan, karena di pihak lain, kehadiran Nasrani di sekeliling Jokowi, juga sudah dibaca beberapa kalangan. Diperkirakan hal itu tak hanya dibaca, tetapi juga bakal diantisipasi. Artinya, ada kemungkinan, langkah orang Nasrani tersebut, terlepas dari ada kaitan dengan kepentingan Gereja atau tidak, akan mulai mendapat hambatan hingga penjegalan. Maka, langkah orang-orang Nasrani yang dekat dengan kekuasaan sebaiknya tidak disikapi sebagai business as usual. Sebaliknya, perlu dilihat dalam kacamata opportunity yang perlu segera dieksplorasi. Perihal apa dan dengan cara bagaimana, semua terserah kita..
Adrianus Meliala
HIDUP NO.23, 8 Juni 2014