HIDUPKATOLIK.com – Sekretariat paroki acap kali dipandang sebelah mata. Para punggawa sekretariat paroki juga kadang dicaci maki, dianggap tak profesional dalam melayani umat. Padahal, mereka adalah garda depan pelayanan Gereja.
“Selamat malam MBK!” Sapaan ini terdengar berkali-kali, saat pegawai sekretariat Paroki Maria Bunda Karmel (MBK) Tomang, Jakarta Barat, Ernestus Agus Salim menerima telepon. Padahal, beberapa tahun lalu, sapaan itu tak pernah terdengar, ketika ada orang menelepon paroki ini. “Dulu kalau menerima telepon hanya ‘Halo…halo… ini siapa?’ Tapi sekarang sudah beda,” cerita Agus yang sudah berkarya sebagai pegawai sekretariat paroki selama 15 tahun ini.
Selama ini, Agus berupaya memberikan pelayanan terbaik bagi umat. Di sekretariat paroki ini, Agus berkarya bersama dua rekannya. Sekretariat ini buka setiap hari dari pukul 08.00 hingga 20.00. Selain melayani di sekretariat paroki, Agus juga mengerjakan database umat.
Selama 15 tahun berkarya di sekretariat paroki, berbagai tantangan pernah Agus lalui. Ia harus bertemu dengan beragam umat dengan aneka latar belakang. “Dimarahi, dicaci maki, itu sudah biasa. Kadang, ada pula umat yang minta urusan administrasi sakramental harus kelar dalam satu hari. Itu kan tidak mungkin, karena berhubungan dengan banyak pihak,” cerita pria asal Kendal, Jawa Tengah ini. Jika menghadapi umat yang seperti ini, Agus hanya bisa bersabar. “Ya, saya tetap tersenyum saja,” imbuh pria lulusan sekolah menengah atas ini.
Tempat sampah
Pengalaman serupa juga dihadapi karyawan sekretariat Paroki St Nikodemus Ciputat, Tangerang Selatan, Agnes Eka Ostriani. Perempuan yang baru dua tahun berkarya di sekretariat paroki ini, kerap dimarah-marahi umat lantaran dianggap tidak bisa bekerja.
Jumlah umat yang banyak di sebuah paroki, sementara tenaga pastoral terbatas, kadang juga menyulitkan para pegawai sekretariat paroki. Paling tidak inilah yang dihadapi karyawan sekretariat Paroki Trinitas Cengkareng, Jakarta Barat, Fransiskus Mans Veradi. Banyak umat yang tidak terlayani dan kecewa, lantaran keterbatasan tenaga pastoral di paroki. “Umat kadang meluapkan kekecewaan itu kepada kami. Pegawai sekretariat sering menjadi ‘tong sampah’ kekecewaan umat. Tapi, saya berusaha mengolah setiap “sampah kekecewaan” itu, agar tetap menjadi berkat,” ucap Frans yang berkarya di sekretariat Paroki Trinitas sejak 19 November 2002.
Pengalaman serupa juga dialami karyawan di bagian front desk Wisma KAJ, Vanny Natalia. Perempuan yang baru satu tahun bekerja ini, sering menjadi tempat umat menumpahkan kekecewaan karena tidak bisa bertemu atau tidak bisa mendapat pelayanan dari para imam yang tinggal di Wisma Keuskupan. “Kadang saya dikira bohong, padahal kan romo-romo disini sibuk semua,” ucap perempuan asal Subang, Jawa Barat ini.
Selain itu, Vanny juga terkendala dengan penguasaan bahasa Inggris yang terbatas. Padahal, sering ada panggilan telepon atau tamu yang menggunakan bahasa Inggris. “Saya sih berharap ada pelatihan bahasa Inggris, agar saya bisa melayani para tamu atau penelpon yang berbahasa Inggris,” harapnya.
Tantangan lain dihadapi Stephanus Soeprobo, pegawai sekretariat Paroki St Theresia Menteng, Jakarta Pusat. Ia seringkali menjumpai kebijakan-kebijakan baru yang akan diterapkan di paroki, namun tidak dikomunikasikan terlebih dahulu. Hal ini tentu bisa menimbulkan kesalahpahaman antara pembuat kebijakan dengan para pelaksana di lapangan, seperti para pegawai sekretariat paroki.
Selain itu, menurut Probo, yang lebih penting lagi adalah persoalan kesejahteraan para pegawai sekretariat paroki. Kerapkali, para pegawai sekretariat ini berkarya di balik kata “pelayanan”, dan dijauhkan dari profesionalitas. “Padahal, kami sudah berupaya melayani umat dengan mak simal,” ucap Probo.
Pelayanan kecil
Selain beragam tantangan dan persoalan yang dijumpai para pegawai sekretariat paroki, ada pula letupan-letupan sukacita dalam menjalani karya ini. Seperti yang dikisahkan Fransiskus Mans Veradi. Seorang umat, setiap kali usai mengikuti perayaan Ekaristi, selalu mampir di sekretariat paroki. Umat ini selalu pamitan kepada Frans. Frans pernah bertanya kepada dia, mengapa selalu berpamitan kepadanya. “Umat ini menjawab, karena sayalah yang punya gereja ini. Saya hanya tertawa mendengar jawaban itu. Ini pengalaman yang mengesan, karena ada umat yang mengapresiasi pelayanan saya yang kecil ini,” ucap Frans.
Bekerja di sekretariat paroki, juga mempertemukan Frans dengan banyak umat dari beragam latar belakang. “Sehingga, bila saya mengalami kesulitan, banyak orang yang mendoakan dan membantu saya,” ujar pria asal Manggarai, Flores, yang pernah menjadi calon imam Serikat Sabda Allah (SVD) ini.
Lain lagi dengan Agus Salim. Ia merasa senang bekerja di sekretariat paroki, lantaran tidak pernah dikejar-kejar target. Selain itu, ia juga merasa gembira, jika umat yang dilayani merasa puas. “Semakin banyak melayani umat, saya juga semakin memahami banyak hal,” ucap Agus.
Sepenuh hati
Agnes Eka Ostriani, Stephanus Soeprobo, dan Vanny Natalia berharap, ada wadah bagi para pegawai sekretariat untuk berkumpul, bertukar pengalaman, dan berbagi pengetahuan serta keterampilan dalam melayani umat. “Semoga ada komunitas pegawai sekretariat di setiap dekenat, sehingga kami bisa saling kenal dan berbagi pengalaman,” harap Agnes Eka.
Sampai kini, di KAJ, komunitas bagi para pegawai sekretariat paroki hanya ada di Dekenat Jakarta Barat II. Forum Sekretariat Paroki se-Dekenat Jakarta Barat II ini dibentuk pada 2009. Beberapa kali, forum ini mengadakan seminar dan pelatihan-pelatihan keterampilan untuk meningkatkan kualitas pelayanan. “Karena pelayanan yang cepat, tepat, tuntas, dan sepenuh hati harus menjadi bagian dari diri kami dan menjadi bagian dari karya pelayanan kami,” ucap ketua forum ini, Fransiskus Mans Veradi.
Y. Prayogo
HIDUP NO.22, 1 Juni 2014