HIDUPKATOLIK.com – Dengan imamat yang bersifat universal, imam diosesan dapat membangun persatuan dalam karya misi Gereja universal.
Salah satu karakter dari imam diosesan adalah tindakan inkardinasinya ke dalam Gereja Partikular (Dioses) yang tumbuh dalam konteks sosio-kemasyarakatan tertentu. Secara yuridis dan teologis seorang imam diosesan terikat pada Gereja dan masyarakat tempat dia diinkardinasikan (bdk. CD, 11; PDV, 31). Oleh karena itu, cinta kasih pastoralnya hendaknya menanggapi situasi dan kebutuhan konkret Gereja dan Masyarakat setempat. Dengan demikian, kehidupan dan karya seorang imam diosesan tidak bisa lepas dari bidik misi dan arah pastoral Keuskupannya.
Pada prinsipnya, sakramen imamat itu sama, bersifat menyatukan dan universal. Sifat imamat yang demikian menuntut seorang imam diosesan membangun semangat persatuan dalam universalitas karya misi Gereja. Ia hendaknya dapat bekerjasama dengan uskup manapun, imam tarekat, religius dan kaum awam kristiani dimanapun ia di utus. Sebaiknya, ia melakukan penyesuaian diri dan fungsi-fungsi yang baru di tengah perubahan zaman, sehingga Gereja setiap saat dibarui oleh karisma-karisma baru dari para imamnya (bdk. PO, 8; PDV, 17).
Maximum Illud ke Fidei Donum
Karya Misi identik dengan esensi Gereja. Gereja pada dasarnya bersifat misioner (bdk. AG,2; LG, 1). Gereja hadir di dunia untuk mewujudkan perintah Kristus mewartakan Kabar Gembira dan perluasan Kerajaan Allah. Karya misi Gereja memiliki dua dimensi: meluas (ekstensif ) menambah jumlah anggotanya, memperluas area, serta ke dalam (integratif ) menggabungkan umat dan meningkatkan kualitas iman. Karya Misi dalam Sejarah Gereja berawal dari dikeluarkannya Surat Apostolik Maximum Illud, yang di tulis oleh Paus Benediktus XV, 30 November 1919. Tiga hal penting dalam surat itu: pertama, misi berhubungan dengan penyebaran iman Katolik keseluruh penjuru dunia; kedua, misi berkaitan dengan perluasan Kerajaan Allah baik secara kuantitatif dan kualitatif; dan ketiga, pendirian dan pembentukan Gereja di tanah misi. Gagasan, arah, dan gerak Misi Gereja terus berkembang dari waktu ke waktu. Seperti dikeluarkannya Ensiklik Rerum Ecclesiae yang di tulis 28 Februari 1926 oleh Paus Pius XI, Ensiklik Evangelii Praecones yang di tulis 2 Juni 1951 oleh Paus Pius XII, sampai Ensiklik Fidei Donum yang ditulis oleh Paus Pius XII, 21 April 1957 dimaksudkan untuk menjawab persoalan konkrit Gereja lokal di benua Afrika yang kekurangan imam.
Misionaris Imam Diosesan
Bukan bertentangan dengan karakter imam diosesan, jika seorang imam diosesan menjadi misionaris. Semangat Fidei Donum membuka cakrawala baru dalam karya misi Gereja Lokal. Gagasan itu didukung oleh Paus Yohanes XXIII dalam Ensiklik Princeps Pastorum yang menginginkan agar imam pribumi bertumbuh dan berkembang di Gereja lokal melalui pendidikan calon imam. Kan. 237,§1 memberikan kewenangan bagi Uskup Diosesan untuk mendirikan Seminari Tinggi Diosesan sesuai dengan karakter masyarakatnya. Selain itu, Ensiklik Princeps Pastorum menghimbau agar kaum awam kristiani terlibat dalam misi Gereja. Keuskupan yang memiliki imam cukup banyak diharapkan tidak menutup diri untuk karya perutusan bermisi ke keuskupan lain.
Kerjasama
Untuk mewujudkan semangat misioner imam diosesan dalam Fidei Donum, perlu adanya kerjasama antar uskup diosesan. Semangat solidaritas dan misioner adalah keharusan di zaman yang terus berubah, di mana jumlah panggilan mulai menurun di beberapa keuskupan. Paradigma berkarya hanya di keuskupan asal harus beralih pada misi universalitas (missio ad gentes) Gereja bagi bangsa-bangsa. Yurisdiksi imam diosesan memang bersifat teritorial terbatas di dalam Gereja Lokal. Namun, karakter tahbisan imam bersifat universal tanpa batas. Keuskupan Agung Semarang telah mengutus 20 imam berkarya sebagai misionaris di luar keuskupan, bahkan ke California-USA. Semoga para uskup diosesan berani memberikan imamnya untuk mewujudkan semangat Fidei Donum.
RD Gusti Bagus Kusumawanta
HIDUP NO.19, 11 Mei 2014