HIDUPKATOLIK.com – Sejak era 1980-an tercatat sedikitnya 1.034 korban pembunuhan pelayan pastoral yang mayoritas imam. Lepas dari motif pembunuhannya, kesetiaan mereka dalam merasul menjadi cermin keteladanan memikul salib di zaman ini.
Misionaris Jesuit menumpahkan darah di ladang kerasulan yang telah ia garap selama 38 tahun, Senin, 7/4. Tragedi ini menimpa Pastor Frans van der Lught SJ (75) di kediamannya, Busatan al-Diwan, Homs, Suriah. Daerah ini menjadi salah satu lokasi pertempuran antara kelompok pendukung dan penentang Presiden Suriah Bashar Hafez al-Assad. Dalam dua tahun terakhir, daerah ini telah dikuasai pemberontak dan diblokade pemerintah.
Meski sudah uzur, imam kelahiran Hague, Belanda, 10 April 1938, ini tetap gigih menyerukan damai dan resolusi konflik yang terus berkecamuk di Suriah. Beberapa waktu sebelum insiden berdarah yang merenggut nyawanya, ia sempat mengunggah video disitus Youtube. Ia membeberkan derita nestapa rakyat korban perang dan menyerukan agar semua pihak segera mengakhiri perang di Suriah. Tayangan ini seolah membelalakkan mata dunia atas bencana kemanusiaan yang menimpa sekitar 22,5 juta rakyat Suriah.
“Umat kristiani dan muslim mengalami kesulitan dan penderitaan menghadapi berbagai masalah. Yang paling parah ialah soal kelaparan! Masyarakat tidak memiliki apa pun untuk di makan,” ungkapnya seperti dilansir IB Times (7/4) kala melukiskan kondisi warga Homs, salah satu kota yang berada sekitar 162 kilometer sebelah Utara Damascus, ibukota Suriah.
Lebih lanjut, Pastor van der Lught menuturkan, “Di Homs, para ibu mencari makanan untuk anak-anak mereka di jalanan. Saya tak bisa menerima, kami semua mati kelaparan. Tenggelam dalam lautan kelaparan dan hanyut dalam ge lombang kematian!”
Misionaris Sejati
Sejak 1966, Pastor vander Lught bermisi ke Suriah. Sebelumnya, ia menghabis kan waktu dua tahun untuk belajar Bahasa Arab di Lebanon (1964-1966). Kerasulan di Suriah berfokus pada kaum muda, khususnya para difabel dan keterbelakangan mental. Pada 1980, ia mengembangkan sayap melalui proyek pertanian di luar kota Homs. Karya ini diperuntukkan bagi kaum muda dengan keterbatasan fisik dan mental. Ia pun setia menjadi sahabat dan mengunjungi kaum miskin. Tak pelak, arus ungkapan dukacita mengalir deras dari berbagai pihak di seluruh dunia melalui jejaring sosial. Bahkan, juru bicara Vatikan Federico Lombardi SJ juga menyampaikan apresiasi dan dukacita mendalam atas wafatnya sang misionaris.
Meski situasi chaos melanda Homs, Pastor van der Lught tetap bertahan dan menolak berpindah ke tempat yang lebih aman. Sebagian besar umat kristiani di Homs telah mengungsi. Tercatat sekitar 66 orang masih bertahan. Padahal, populasi umat kristiani di daerah konflik itu mencapai 60 ribu jiwa pada 2011. “Saya adalah gembala bagi domba-domba saya,” tegas Pastor van der Lught, yang memilih melayani segelintir dombanya.
Keberaniannya berakhir pada tragedi. Pastor van der Lught kedatangan tamu tak diundang. Dari dalam ruangan, tamu berkedok itu menyeretnya keluar. Jauh dari fiqih dan aqidah, si tamu menyarangkan dua timah panas di kepala sang pastor. Seketika imam yang di tahbiskan pada 1971 itu tergolek tak bernyawa. Meski motif kebiadaban itu belum terdeteksi, pelaku disinyalir anggota ekstremis al-Nusrafront, salah satu cabang kelompok al-Qaeda. Jasad Pastor van der Lught dikebumikan di Suriah sesuai amanatnya.
Tragedi serupa juga merenggut nyawa Pastor François Murad OFM (49). Ia tewas dalam serangan kelompok militan Jabhat al-Nusra di tempat pengungsiannya, Biara Fransiskan Custodi Tanah Suci, Gassanieh, Suriah Utara, 23 Juni 2013.
Darah Pelayanan
Kasus pembunuhan dua imam di Suriah hanyalah secuil kisah tragis nasib para pelayan pastoral yang setia meladang di medan kerasulannya. Di Nigeria, seorang misionaris awam Afra Martinelli (78) ditemukan sekarat oleh rekan kerjanya di dalam kamar, Senin pagi, 27 Oktober 2013. Meski sempat dilarikan ke rumah sakit, perempuan itu tak tertolong akibat parahnya luka bacok di leher.
Afra telah berkarya lebih dari 30 tahun di Nigeria. Ia merasul di antara kaum papa dan membekali mereka dengan aneka latihan. Selibater awam asal Civilerghe, Brescia, Italia ini mendirikan sekolah sains dan komputer “Regina Mundi Centre” di Ogwashi-Ukwu.
Menurut saudaranya, Enrico Martinelli, Afra menolak pulang ke Italia saat ayahnya berulang tahun ke-100 pada 1998. Afra merasa, biaya ke Italia amat besar. Ia tak mungkin menggunakan dana misi untuk keperluan pribadinya. Enrico juga pernah meminta Afra pulang ke Italia untuk menghabiskan masa tuanya di sana. Lagi-lagi Afra menolak! Ia ingin mengabdikan seluruh hidupnya hingga ajal bagi masyarakat Nigeria.
Semangat pengabdian dan teladan hidupnya menuai simpati dan apresiasi warga Ogwashi-Ukwu, baik kristiani maupun muslim. Relasi Afra dengan masyarakat begitu erat. Maka kepergiannyapun membawa duka mendalam bagi mereka. Bahkan, Paus Fransiskus secara khusus mengenangkan Afra dalam Doa Angelus di Vatikan, pada Hari Minggu Misi Sedunia, 20 Oktober 2013. Bapa Suci menyebut Afra sebagai salah satu contoh misionaris yang telah memper sembahkan seluruh hidupnya demi melayani umat Allah. “Afra telah mewartakan Injil sepanjang hidupnya, termasuk membangun pusat pendidikan. Ia telah mengobarkan semangat iman dan kebaikan,” ungkap Paus seperti dilansir Agenzia Fides (21/10/2013).
Selain Afra, ada seorang suster dan seorang imam dibunuh pada 2013 di Afrika. Sr Marie Emmanuel Helesbeux SP (82) wafat pada 1 Maret 2013 di Mandritsara, Madagaskar. Ia telah bermisi di Madagaskar selama 42 tahun. Misionaris asal Perancis ini dipukuli dengan tongkat dan dicekik hingga tewas. Sementara itu, RD Evarist Mushi (55) mati ditembak di jalan pada 17 Februari 2013, saat hendak merayakan Misa di Katedral St Yoseph, Keuskupan Zanzibar, Tanzania.
Amerika Latin
Benua Amerika menduduki angka tertinggi korban pembunuhan pelayan pastoral selama lima tahun terakhir. Tahun 2013, 15 imam dibunuh: 13 imam diosesan, seorang imam Serikat Maria (SM) dan seorang imam Kongregasi Keluarga Kudus dari Nazaret (FN). Dalam lima tahun terakhir, selalu terjadi kasus pembunuhan imam di Kolumbia, Brazil dan Meksiko.
Bahkan pada 2013, tujuh imam diosesan dibunuh di Kolumbia, yakni RD José Fransisco Velez Echeverri (55), RD José Ancizar Mejia Palomino (84), RD Luis Bernardo Echeverri (69), RD Héctor Fabio Cabrera (27),RD Luis Alfredo Suárez Salazar (50), RD José Antonio Bayona Valle (48), dan RD Néstor Darío Buendía Martínez (35). Disinyalir, sebagian motif pembunuhan ialah ekses perampokan, meski ada beberapa catatan penting terkait kerasulan mereka.
Sementara di Meksiko, empat imam menjadi korban pembunuhan, yakni RD José Flores Preciado (84), RD Ignacio Cortez Alvarez (57), RD Hipólito Villalo bos Lima, dan RD Nicolás De la Cruz Martínez. Lalu RP Elvis Marcelino De Lima FN (47) dibunuh di Brazil; RD José Ramón Mendoza (44) di Venezuela; RD Anibal Gomez (67) di Panama; dan RP Richard E. Joyal SM (62) di Haiti.
Geliat Gereja Amerika Latin yang mengalami kenaikan jumlah umat Katolik sangat signifikan dalam satu abad terakhir, ternyata masih berperang dengan problem ekonomi, kartel dan mafia narkotika, serta brutalitas dan fandalisme geng bersenjata. Benih iman yang telah ditabur harus terus dipupuk –meski dengan bertaruh darah.
Pejuang Kemanusiaan
Perjuangan Gereja mudapun terpotret di ‘kantong’ Katolik Asia, seperti Filipina dan India. Pada 2013, dua korban pembunuhan pelayan pastoral terjadi di dua negara itu. Vincentian awam, Dexter Condez (26), tewas diberondong peluru di Pulau Boracaya, Filipina, 22 Februari 2013. Delapan butir peluru ditemukan dalam raganya.
Anggota Serikat Awam St Vincentius a Paulo ini dibunuh lantaran terlalu vokal mengkritik operasi perusahaan konstruksi. Dengan tajam ia melancarkan pembelaan atas hak tanah Suku Ati, kaum pribumi yang sumber dayanya sudah tereksploitasi. Komisi Nasional Masyarakat Pribumi (The National Commission on Indigenous People/NCIP) telah menjamin sertifikat tanah penduduk asli. Namun, perusahaan konstruksi yang dimonopoli tiga keluarga Banicos, Sansons, Gelitos mengingkarinya dengan melahap hak Suku Ati. Mereka pun membayar jasa keamanan bersenjata dan menebar teror di tengah masyarakat.
Perjuangan Dexter hingga akhir sebenarnya mengulangi sekian kasus pembu nuhan pelayan pastoral di Filipina. Misalnya pada 13 November 2012, Conchita Francisco (62), janda dua anak, di tembak mati di depan Gereja Katedral Bo ngao, seusai mengikuti Misa harian. Suaminya juga dibunuh 10 tahun silam ka rena menjadi tokoh kunci pelayanan pastoral Gereja di wilayah rentan konflik dengan Muslim garis keras dan geng kriminal di Filipina Selatan. Dan, serupa dengan yang dialami RP Fausto Tentorio PIME (59), misionaris Italia yang sejak 1978 memperjuangkan hak-hak Suku Monobo dan tewas ditembak di depan Gereja Arakan Valley, Mindanao, 17 Oktober 2011.
Pembunuhan juga terjadi di India. Rektor Seminari Tinggi St Petrus Bangalore, RD J. Kochupuryil Thomas (65) dianiaya hingga tewas pada 31 Maret 2013. Tragedi pembunuhan pelayan pastoral di India cukup mencuat pada 2011: seorang imam, suster dan katekis. Mereka ialah RD G. Amalan (54), Sr Valsha John SCJM (53), dan Rabindra Parichha (47). Sr Valsha membela hak-hak penduduk asli Pakur yang dieksploitasi perusahaan batubara selama 20 tahun dan telah sering diteror. Pengalaman diterorpun dialami oleh Rabindra, katekis yang bekerja sebagai advokat dan aktivis sosial. Demi memperjuangkan nasib sesamanya, keduanya dibunuh secara brutal.
Demikian juga di Italia, RD Michele Di Stefano (79) tewas dibunuh perampok, 26 Februari 2013. Ironis: pelakunya orang Katolik!
Setia hingga Akhir
Berdasarkan Kantor Berita yang bernaung di bawah Kongregasi Evangelisasi Bangsa-Bangsa, Agenzia Fides melansir 22 pelayan pastoral mati dibunuh pada 2013. Boleh jadi, jumlah ini bisa bertambah karena tak semua wilayah terjangkau media.
Sejak 1990 hingga kini, Agenzia Fides mencatat 919 korban: seorang kardinal, 15 uskup, 506 imam, empat diakon, 76 bruder, 182 suster, 65 seminaris, 36 anggota institut sekulir, tiga katekis, dan 31 awam pekerja pastoral. Lagi-lagi, Gereja Se latan menjadi medan kerasulan yang memakan lebih banyak korban dalam mem perjuangkan implementasi nilai nilai Injil.
Merefleksikan realitas ini, Paus Fransiskus mengungkapkan, selama 2.000 tahun sangat banyak kaum perempuan dan laki-laki yang mengorbankan nyawa mereka demi mempertahankan iman akan Yesus dan Injil-Nya. “Kita melihat, perutusan evangelisasi bersentuhan dengan batas-batas bahasa dan lingkungan. Maka, teruslah berusaha berkomunikasi secara lebih efektif tentang kebenaran Injil dalam konteks tertentu, tanpa menyangkalnya, … Hati misionaris menyadari batas-batas ini dan membuat dirinya ‘lemah bersama yang lemah …segalanya bagi semua orang’ (1Kor 9:22). Ia tak pernah menutup diri, tak pernah mundur dalam keamanan diri sendiri, tak pernah memilih bersikap rigid dan defensif. Ia sadar, dirinya harus tumbuh dalam pemahaman Injil secara personal dan pembedaan gerak Roh, dan karenanya selalu berbuat baik sebisa mungkin, bahkan jika dalam proses, sepatunya harus kotor terkena lumpur jalanan (Evangelii Gaudium 45).
Yanuari Marwanto/R.B.E. Agung Nugroho
HIDUP NO.18, 4 Mei 2014