HIDUPKATOLIK.com – Sukacita dunia menjadi sukacita Gereja, dan dukacita dunia juga dukacita Gereja. Demikianlah Gereja mesti berkotor tangan, memeluk keprihatinan dan berjuang bersama masyarakat demi tata dunia yang damai, adil dan sejahtera.
Ambon, Maluku dan sekitarnya, rusuh! Konflik horisontal bermuatan suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) meledak di sana tahun 1999. Kelompok Merah, sebutan bagi kelompok Kristen saling serang dengan Kelompok Putih dari pihak Islam.
Sederet pertikaian mewarnai kehidupan masyarakatnya. Kelompok yang satu merangsek kelompok lainnya. Mereka membakar permukiman di kampung Kristen, begitupun sebaliknya di kampung Islam. Bahkan orientasi meluluh lantakkan rumah ibadat ‘musuh’ menyetir benak mereka. Korban mulai terlihat. Masyarakat mencari suaka demi keselamatan dan pergi dari kampungnya.
Di tengah kegentingan kala itu, Uskup Amboina Mgr Petrus Canisius Mandagi MSC berinisiatif membentuk pusat pelayanan guna membantu para pengungsi dan mengatasi konflik yang kian meluas. Ia meminta RD Agustinus Uluhayanan membentuk Crisis Center di Pusat Pastoral Keuskupan, sekaligus menjadi koordinatornya.
Melalui Crisis Center ini, Gereja Katolik ingin ambil bagian membantu korban konflik dan berjuang menghentikan nya (1999-2002). “Gereja menghimbau agar umat Katolik tidak terlibat dalam konflik dan bersikap netral. Namun tak cukup hanya bersikap netral. Kita harus netral-aktif, yakni terlibat untuk menghentikan konflik, melunakkan yang akan menyerang dan melindungi yang diserang,” kata Pastor Agus saat ditemui HIDUP di sela kesibukannya sebagai Sekretaris Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia (HAK KWI).
Risiko Mati
Perjuangan Pastor Agus bersama Gereja Amboina juga menggandeng para pemuka agama lain, masyarakat, serta petugas keamanan setempat. Mereka berusaha menciptakan keamanan, perdamaian, dan keselamatan. Kerja sama, komunikasi dan dialog terus digulirkan, baik dalam ruang diskusi maupun langsung di lapangan. “Persaudaraan, kebaikan, cinta harus terus disebarkan agar perdamaian dan kerukunan tercipta,” tegas Pastor Agus.
Tanpa kenal lelah, ia menjelajah keluar-masuk kampung Kristen dan Islam demi kata sepakat agar mereka tak saling menyerang dan mengukir kerukunan bersama. Ia kerap datang ke basis massa Kelompok Merah dan Kelompok Putih yang sedang berkumpul dan siap saling menyerang.
Dalam perutusan itu, Pastor Agus sadar akan risiko dari apa yang ia jalani. “Kematian adalah salah satu risiko yang bisa saja kita alami. Tapi saya tidak berpikir mati. Kita ini alat di tangan-Nya. Saya ingin menyerahkan diri seutuhnya dan melayani secara total. Hidup-mati ada di tangan Tuhan. Yang terpenting, menyelamatkan kemanusiaan dan memperjuangkan damai,” papar imam kelahiran 11 Agustus 1958 ini.
Saat hendak menghentikan konflik di suatu kampung, beberapa peluru sempat mengarah kepadanya. “Peluru meluncur ke samping kiri dan kanan tubuh saya. Tuhan melindungi saya dengan cara-Nya. Saya yakin, dalam tiap langkah kami ada campur tangan Tuhan. Saya pun yakin kebaikan dapat mengatasi semua. Kita tunjukkan arti pelayanan dan pengorbanan.”
Ketika konflik merajalela di Ambon, tersiar kabar harga kepala uskup dan para imam, termasuk Pastor Agus. Sebuah pesan singkatpun singgah di telepon genggamnya. Ia masuk dalam daftar tujuh orang yang akan dibunuh. “Katanya, tujuh orang itu ialah tiga orang Protestan, tiga Muslim, dan satunya saya,” ungkapnya.
Namun hal itu tak mengecilkan hatinya. Ia terus berjuang dengan dukungan Uskup Amboina, rekan imam, dan umat. Dalam kondisi carut marut seperti itu, keberanian memeluk risiko harus dimiliki para pelayan pastoral termasuk risiko kematian sekalipun. “Kita mesti punya semangat kemartiran, yakni semangat dimana orang tak lagi menghitung untung rugi. Dan kita, Gereja, mesti terus menunjukkan kasih pada siapa saja. Gereja tampil untuk memelopori dan menjadi pejuang perdamaian serta kemanusiaan.”
Serukan Damai
Perjuangan senada juga direngkuh RD Jimmy Antonius Tumbelaka, Pastor Kapelan Paroki St Theresia Poso, Sulawesi Tengah (2000-2002). Ia menyerukan agar masyarakat bahu-membahu menciptakan kerukunan dan damai. Kala itu, kerusuhan Poso III pecah. Situasi pun jauh dari kondusif. Namun ia tetap berelasi dengan para pemuka agama lain.
Menurut imam pendamping tiga terpidana mati: Fabianus Tibo, Marinus dan Dominggus da Silva, yang divonis sebagai dalang kerusuhan Poso ini, bahwa pastor di daerah konflik harus berani membuka diri, bergaul, dan berelasi dengan pihak yang tengah berseteru. “Kita juga mesti berempati dengan semua orang yang menjadi korban kekerasan, dan berani mengatakan kebenaran,” ujar imam kelahiran Kumersot, Sulawesi Utara, 8 Januari 1970 ini.
“Gereja, imam, mesti selalu mengajak umat agar jangan pernah membunuh, tidak ikut-ikutan menyerang desa lain, dendam dan putus asa. Saya selalu memberi pandangan positif pada umat tentang agama apapun. Memperkenalkan diri dan menjalin relasi damai adalah contoh peran yang bisa diambil Gereja dan umat,” tutur Pastor Paroki St Theresia Poso (2002-2006) ini.
Seruan damai Gereja itu acapkali berisiko maut. Sebut saja martir Indonesia yang akrab dengan umat: RD Richardus Kardis Sandjaja dan Fr Hermanus Bouwens SJ, RP Tarcisius Dewanto SJ, dan RP Albrecht Karim Arbie SJ. Romo Sandjaja dan Fr Herman dibunuh di Kembaran, Muntilan, Jawa Tengah, 20 Desember 1948. Sementara, Romo Dewanto dan Romo Albrecht tewas di tengah konflik dalam misi di Timor- Timur tahun 1999.
Aktif Mengakar
Lain halnya dengan RD Martinus Rantinus Manalu. Meski tak merasul di daerah konflik, mantan Direktur Eksekutif Caritas Keuskupan Sibolga ini dikenal vokal menyuarakan hak rakyat kecil, ‘melawan’ penyerobotan tanah masyarakat. Bersama Ustad M. Sodikin Lubis, mereka bergerak bersama sejak 2007 untuk mempertahankan tanah milik masyarakat dan menyadarkan akan hak-haknya. “Saya mendorong masyarakat untuk menanami tanah mereka. Tanami tanah kalian agar tanah itu tetap bisa dipertahankan!” ujar Pastor Rantinus.
Karena gerakan itu, melalui Surat No Pol: S.Pgl/2530/XII/ 2009/Dit Reskrim tertanggal 9 Desember 2009, Pastor Rantinus dipanggil sebagai tersangka kasus tindak pidana: ‘Mengerjakan, menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah dan atau merambah, membakar kawasan hutan di Register 47 Desa Purba Tua dan Desa Hutaginjang, Kecamatan Barus Utara, Kabupaten Tapanuli Tengah’.
“Saya tidak takut dan siap! Kita mesti berani bersaksi tentang kebenaran, mengatakan yang benar. Gereja pun mesti menjadi saksi. Ketika melihat ada ketidakadilan, kita harus perjuangkan,” lanjutnya, “Kita juga mesti masuk dalam persoalan hidup masyarakat. Terjun ke lapangan. Kita lawan ketidakadilan yang terjadi, berbela rasa dengan orang lain, dan menghormati hak asasi manusia.”
Berjuang bersama masyarakat akar rumput juga digeluti RD Severyanus Ferry, imam Diosesan Sanggau, Kalimantan Barat (Kalbar). Ia sempat masuk dalam Komisi Keadilan dan Perdamaian empat keuskupan: Pontianak, Sanggau, Sintang dan Ketapang (2010- 2013). Bersama koleganya, ia membela masyarakat yang tanahnya direbut perusahaan perkebunan sawit, dan mengusahakan keadilan bagi para korban.
Kini ia berfokus mempelajari pertambangan yang merusak alam di Batang Tarang, Kalbar. Usahanya ternyata menuai tantangan, baik secara internal maupun eksternal. Tapi hal itu tak meredupkan nyala api perjuangannya sebagai imam yang aktif mengakar dalam realitas umatnya. Baginya, Gereja harus berjuang seperti amanat Paus Fransiskus, “Saya lebih suka Gereja yang memar, terluka dan kotor karena keluar dari jalanan. Bukan Gereja yang sehat dan sibuk dengan keamanannya sendiri!”
Maria Pertiwi
HIDUP NO.18, 4 Mei 2014