HIDUPKATOLIK.com – Substansi konsep kemartiran sama sejak dulu hingga kini. Tak lagi mengutamakan diri sendiri dan berkorban bagi sesama, itulah spirit kemartiran.
Karya para pelayan pastoral bagi Gereja kerap berhadapan dengan aneka tantangan. Apalagi jika menyangkut kemanusiaan, keadilan, advokasi dan pembelaan lingkungan hidup. Beragam konsekuensi harus siap di tanggung. Berikut petikan wawancara HIDUP, Yanuari Marwanto dengan Direktur Justice, Peace, and Integration of Creation (JPIC) Ordo Fratrum Minorum Indonesia, RP Petrus Kanisius Aman OFM, Kamis, 24/4.
Apa tantangan yang Pater alami saat terjun di JPIC?
Sekitar 2007-2008, ketika kami berada di Lembata dan mensosialisasikan dampak buruk tambang pada masyarakat, ada kelompok yang tidak puas. Bahkan, ada yang melempar batu. Kami juga sempat mendapat tanggapan sinis atas kritik selalu kami lontarkan. Lalu saya katakan bahwa kami hanya bisa mengkritik! Sebab kalau hanya diam, Gereja juga salah. Perubahan bisa terjadi jika pemangku kebijakan –dalam hal ini pemerintah– ikut andil memberi solusi.
Kami pernah diawasi saat berada disana. Pihak kepolisian setempatpun mengirim beberapa personil. Saya tak tahu tujuan mereka. Namun bisa bermaksud ganda: menjaga sekaligus mengawasi. Tapi hal itu bagus agar mereka tahu dan tidak curiga.
Poin-poin refleksi Pater atas kejadian itu?
Saat pendampingan masyarakat, fokus utama ialah menyebarkan spirit tanpa kekerasan. Kemudian saat proses advokasi, jangan terprovokasi! Sebab kalau memakai kekerasan, persoalan yang diperjuangkan justru tak akan ditangani. Malah dicap kriminal.
Kita amat hati-hati, jangan sampai memprovokasi masyarakat dengan melakukan pembenaran atas tindak kekerasan. Kami berusaha menyadarkan mereka, bukan hanya mencari kemenangan, tapi belajar dari setiap proses. Akhirnya masyarakat akan memahami spirit tanpa kekerasan dan perjuangan sesuai aturan atau hukum.
Kami juga memiliki program animasi kristiani berlandaskan teladan St Fransiskus Assisi, yakni perjuangan tanpa ke kerasan dan cinta alam. Kerasulan zaman ini seharusnya seperti itu. Nilai-nilai damai dan cinta lingkungan harus diintrodusir oleh Gereja. Sebab, masyarakat kita sekarang cenderung menyelesaikan persoalan dengan kekerasan, pun tanpa kepedulian sosial.
Jika ada pelayan pastoral yang tewas karena memperjuangkan nilai-nilai Injil dan hak sesamanya, apakah bisa dikatakan menghayati spirit kemartiran?
Konsep kemartiran dulu dan sekarang substansinya sama, yakni keyakinan akan nilai kebenaran dan keadilan yang memang harus diperjuangkan. Misal, orang dibunuh karena iman, itu berarti ia menyakini kebenaran yang ia anut. Hal yang sama juga, mengapa kita berjuang untuk keadilan? Karena memang keyakinan itulah yang mendorong saya memperjuangkan hal itu.
Iman sebenarnya kaya makna. Tak sekadar aspek spiritual dan ritual, tapi juga sosial serta politis. Contoh, anggota DPR yang berusaha tidak korup, mengabdikan diri demi kepentingan orang banyak, dan karenanya ia menderita. Contoh ini bisa disebut kemartiran sosial dan politik. Romero dan Munir bisa kita sebut martir, orang kudus! Mereka dibenci dan dibunuh karena memperjuangkan hidup orang miskin, terpinggirkan, dan membela hak-hak asasi manusia.Orang yang tak lagi mengutamakan dirinya sendiri disebut berkorban. Berkorban merupakan spirit kemartiran. Dan, mereka yang berkorban untuk orang lain adalah martir!
Yanuari Marwanto
HIDUP EDISI NO.18, 4 Mei 2014