HIDUPKATOLIK.com – Pria ini mengurungkan niat menjadi imam. Berbekal seratus ribu rupiah, ia merantau dan kuliah di Jakarta. Kini, ia menjadi Duta Besar Indonesia untuk Republik Chile.
Rabu, 2/4, menjelang tengah malam, Chile diguncang gempa bumi berkekuatan 7,8 skala Richter. Pusat gempa terletak di 23 kilometer selatan Iquique, Chile. Setelah mendengar kabar buruk ini, Duta Besar Indonesia untuk Republik Chile, Aloysius Lele Madja segera memantau kondisi warga negara Indonesia (WNI) yang berada di wilayah negara di kawasan Amerika Selatan ini. “Puji Tuhan, tidak ada korban. Sampai kini, semua WNI dalam kondisi baik. Jaringan air dan listrik masih terputus, tetapi sudah mulai diperbaiki. Akibat gempa bumi ini, harga-harga kebutuhan pokok juga naik,” kisah Aloysius melalui surat elektronik. Kala gempa mengguncang, Aloysius berada di ibukota negeri ini, Santiago, yang berjarak sekitar 1800 kilometer dari Iquique.
Aloysius mengisahkan, semua pihak masih terus berupaya membantu para korban gempa, termasuk Gereja Katolik. “Gereja-gereja menjadi tempat pengungsian korban, seperti halaman Paroki San Noberto Iquique yang juga dijadikan tempat penampungan sementara korban gempa ini. Di paroki ini bertugas seorang misionaris asal Indonesia, RP Agustinus Naru SVD,” kisah Aloysius.
Di Chile
Sudah empat tahun ini, Aloysius berkarya di Chile. Ia dilantik sebagai duta besar pada 10 Agustus 2010. Sejak itu, umat Paroki St Mikael Kranji, Bekasi ini, berkarya di Santiago, Chile. Ia menyebutkan, tugas sebagai duta besar merupakan anugerah dari Allah. Ia pun selalu mengucap syukur atas anugerah ini. “Tugas ini adalah penyelenggaraan Ilahi. Karena, sejak dulu saya paling benci menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Tapi sekarang, saya justru menjadi PNS,” ujar anak ketiga dari enam bersaudara ini sembari menebarkan senyum kala dijumpai di Jakarta beberapa waktu lalu.
Aloysius pun banyak belajar selama bertugas menjadi duta besar di Chile. Pemerintahan negara Chile, menurut pria kelahiran Mataloko, Flores, 5 Februari 1952, sangat unik. Anak seorang pegawai negeri di Chile tidak diperbolehkan bekerja di lembaga pemerintahan yang sama dengan orangtuanya. Selain itu, masa pemerintahan seorang presiden dan pejabat publik yang lain, dibatasi selama satu periode saja, yaitu empat tahun. “Jadi, setiap tahun selalu ada muka-muka baru dalam pemerintahan di Chile,” cerita suami Fransiska Nguzasola Madja ini.
Diplomat
Jalan berliku harus ditempuh Aloysius dalam menggapai puncak karir sebagai duta besar. Ia lahir dalam keluarga yang sederhana. Ayahnya seorang guru. Keluarganya hidup apa adanya di kampung di daerah Mataloko, Flores, Nusa Tenggara Timur. Semenjak kanak-kanak, ia ingin menjadi seorang imam. Maka, selepas sekolah dasar, ia melanjutkan pendidikan di SMP dan SMA Seminari St Yohanes Berkhmans Todabelu, Mataloko, Ngada. Namun, sebelum menuntaskan pendidikan di tingkat SMA, Aloysius pindah ke Seminari Pius XXI Kisol, Manggarai.
Setelah enam tahun mengenyam pendidikan di seminari, Aloysius justru mengurungkan niat meniti panggilan imamat. “Ternyata panggilan saya bukan di situ. Saya memilih tidak melanjutkan jalan panggilan menjadi imam,” ujar ayah empat anak ini.
Satu keinginan yang digenggam Aloysius kala memutuskan tidak melanjutkan jalan panggilan imamat, yaitu ia berniat terus bersekolah. Tapi, ia juga tak ingin menjadi beban ekonomi keluarga. Ia pun mencari pekerjaan. Setelah berjibaku mencari pekerjaan, ia diterima sebagai karyawan di Penerbit Nusa Indah Ende. Namun, itu tak berlangsung lama. Setelah sekitar dua tahun berkarya Penerbit Nusa Indah Ende, Aloysius memutuskan hijrah dan mengadu nasib ke Jakarta.
Berbekal uang seratus ribu rupiah, Aloysius meninggalkan kampung halaman, pada 1973. Setelah sampai di Jakarta, ia segera mendaftarkan diri sebagai mahasiswa di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta. Ia harus membayar lima puluh ribu rupiah untuk mendaftar. Uang di kantongnya pun tinggal lima puluh ribu rupiah. Dengan sisa uang itu, ia mempertahankan hidup di ibukota negeri ini. Demi menyambung hidup, Aloysius bekerja sebagai staf di sebuah bank.
Ketika lulus kuliah pada 1980, Aloysius membaca sebuah iklan lowongan kerja di Kementerian Luar Negeri RI. “Lalu, saya iseng-iseng mengirimkan lamaran,” kisah Aloysius. Tak disangka, ia mendapat panggilan untuk mengikuti tes. Setelah mengikuti beragam ujian, tak dinyana pula, ia diterima di lembaga milik pemerintah ini. Rupanya ini menjadi jalan panggilan bagi Aloysius. Tak lama kemudian, ia mendapat tawaran melanjutkan pendidikan. Kesempatan itu tak disia-siakannya. Aloysius pun menempuh pendidikan S-2 dan S-3 di Jerman.
Setelah menyelesaikan pendidikan, ia ditempatkan sebagai staf di Kedutaan Besar RI di Bonn, Jerman. Tak hanya di Jerman, Aloysius juga membantu hubungan diplomatik Indonesia dengan Hungaria dan Australia. Hingga pada awal 2010, Aloysius ditunjuk sebagai duta besar Indonesia untuk Chile. “Puji Tuhan! Perjalanan hidup saya sampai saat ini, bisa dibilang mulus. Jika ada kemauan, usaha maksimal diiringi doa, pasti akan menuai hasil,” ucap Aloysius.
Aloysius Lele Madja
TTL : Mataloko, Flores, 5 Februari 1952
Isteri : Fransiska Nguzasola Madja
Anak :
• Conradus A Sola L. Madja
• Maria Concytha D. L. Madja
• Samuel R. Wedho L. Madja
• Bernadette S. Beku L. Madja
Pendidikan:
• SMP-SMA Seminari St Yohanes Berkhmans Todabelu
• Seminari Pius XXI Kisol
• Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta
• Hochschule fuer Verwaltung swissenschaften Jerman
Pekerjaan:
• Staf Penerbit Nusa Indah Ende (1971- 1973)
• Staf di Hongkong Shanghai Banking Corporation Jakarta (1974-1982)
• Kepala Sub Bidang Politik, Sekretaris III, Sekretaris I di KBRI Bonn, Jerman (1987-1991)
• Kepala Bidang Politik Penerangan Sosial Budaya KBRI Hungaria (1997-2001)
• Konsul/ Minister Konsulat RI di Perth, Australia (2005-2008)
• Duta Besar RI untuk Republik Chile (2010-sekarang)
Aprianita Ganadi
HIDUP NO.16 2014, 20 April 2014