HIDUPKATOLIK.com – Bagaimana menanggapi pertanyaan seputar Putra Allah yang sengsara, wafat dan bangkit? Pertama-tama, kesampingkan prasangka dan buka diri untuk memahami latar belakang cara berpikir umat Muslim!
Menjelang Pekan Suci dan Paskah, kita mungkin menerima beberapa pertanyaan dari rekan atau saudara, umat Muslim. Aneka pertanyaan semacam itu sebenarnya sudah muncul sehari-hari tanpa harus menunggu Paskah. Kesampingkan prasangka buruk! Pertanyaan itu kerap kali memang bermotif alamiah, yaitu karena mereka sungguh ingin tahu jawaban terhadap aneka pertanyaan yang mengganjal.
Bagi umat Katolik, rumusan pertanyaan yang disampaikan umat Muslim itu kerap terdengar aneh. Padahal sebenarnya sama sekali tidak aneh bagi umat Muslim sendiri. Perbedaan ini sering disebabkan umat Katolik kurang mengetahui ’latar belakang cara berpikir dan cara pandang Islam dibalik pertanyaan itu’.Miskinnya gairah umat Katolik untuk mengetahui problematika pertanyaan dan jawaban itu kerap justru memperburuk keadaan. Pendalaman ’latar belakang cara berpikir dan cara pandang Islam’ dan penjelasan Teologi Katolik (Kristen) dibawah ini didasarkan pada buku: ”Muslim Bertanya Kristen Menjawab”, karya Christian W. Troll yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Markus Solo Kewuta. Karya ini dipuji sebagai ”buku yang cerdas dan jujur” oleh Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Dr Komaruddin Hidayat. Buku lain yang menjadi acuan utama dari buku pertama juga digunakan: ”Trying to Answer Questions”, karya Robert Caspar, dkk.
Nabi Isa dalam Al-Qur’an
Banyak umat Katolik ’kelimpungan’ ketika mereka disodori litani pertanyaan berikut: ”Yesus diceritakan dalam Injil dikandung dari Roh Kudus dan membuat banyak mukjizat. Apakah keyakinan ini cukup memadai sebagai dasar untuk menyebut Yesus adalah Putra Allah? Bagaimana mungkin seorang manusia sekaligus juga Allah? Lalu, bagaimana mungkin Allah memperbolehkan nabi-Nya mati di kayu salib?” Umat Muslim pun berkata, ”Tidak bisa kami membayang kan ’Putra Allah itu mati’. Kami bahkan tak boleh menerima keyakinan semacam itu.”
Saudara-saudari Muslim merumuskan pemahaman iman mereka sebagai berikut: ”Allah Yang Mahatinggi tak akan mungkin sama dengan ciptaan-Nya.” Seorang Muslim tak bisa menerima setiap upaya untuk mengasosiasikan, menyamakan, memberhalakan (shirk) sebuah benda atau makhluk ciptaan dengan Allah. Ucapan umat Katolik seperti ’Putra Allah’ dan ’Bunda Allah’, meski diungkapkan dengan cara yang intim dan suci, dianggap ’menghujat’. Bahkan, mendengar Yesus Al-Qur’ān menyebutnya Nabi Isa– yang disiksa dan kemudian wafat disalib, terasa melukai umat Muslim. Al-Qur’ān menggarisbawahi keilahian Allah: ”Tiada sesuatupun yang sebanding dengan-Nya” (Asy-Syura 11).
Lebih lanjut, Islam menempatkan Nabi Isa dalam peranan dan tempat yang istimewa (Al An’aam 84-87; Maryam 17-22). Islam menjelaskan, sikap teologis Nabi Isa adalah menyampaikan ajaran monoteisme murni. Artinya, Allah tidak terbagi-bagi dalam sebutan Tritunggal Mahakudus. Allah menyelamatkan-Nya ketika orang-orang Yahudi hendak membunuh-Nya, dan penyaliban tak pernah ada. Ia akan datang kembali di akhir zaman sebagai tanda langsung berakhirnya dunia dan penghakiman terakhir (Ali Imran 55; Maryam 33). Nabi Isa menubuatkan kedatangan Ahmad, sebuah nama lain dari Muhammad (Ash Shaff 6). Meski demikian, Isa sendiri tak pernah mengatakan dirinya sebagai Allah. ”(Isa) menjawab, Mahasuci Engkau, tidak patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakannya tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak me ngetahui apa yang ada pada- Mu. Sungguh, Engkaulah yang Maha Mengetahui yang ghaib” (Al Maidah 116; lih. Ali Imran 45; An Nisa’ 171; Al Maidah 72).
Pada umumnya Isa memainkan peranan ’istimewa’, tapi tidak ’sangat istimewa’ dalam kehidupan iman umat Muslim. Al-Qur’ān menceritakan Isa tidak sesering dan sebanyak Abraham atau Musa. Kisah Isa yang istimewa –yakni dikandung tanpa seorang ayah dan membuat mukjizat– pararel dan tidak sangat luar biasa, dibanding dengan kisah para nabi lainnya yang juga memiliki kelebihan. Beberapa berpendapat, umat Katolik melebih-lebihkan peranan Isa (Yesus), hingga menjadi berhala. Bagaimanapun Nabi Muhammad ialah Nabi yang terbesar karena posisinya sebagai ’Rasulullah dan penutup nabi-nabi’ (Al Ahzab 40).
Sungguh Allah, Sungguh Manusia
Usai membaca penjelasan ringkas latar belakang mengapa umat Muslim mengajukan aneka pertanyaan itu, bagaimana kita menanggapinya?
Pakar Kitab Suci dalam dunia Kristen dewasa ini menegaskan kembali, Yesus –sebagaimana yang tertulis dalam Kitab Suci sungguh manusia. Yesus lahir dan bertumbuh tidak berbeda dengan manusia lainnya. Ia bahkan dibaptis oleh Yohanes Pembaptis.
Dalam Kitab Suci, Yesus tak pernah mengatakan diri-Nya sebagai ’Putra Allah yang Tunggal’ sebagaimana dirumuskan oleh para teolog Kristen sesudahnya. Memang, dalam Yesus Kerajaan Surga menjadi dekat. Allah- Nya dan Allah umat Kristen juga nampak dalam pewartaan dan karya-karya- Nya. Meski demikian, tak ada ’Putra Allah’ dalam Kitab Suci.
Hanya kemudian, setelah wafat-Nya, para murid menjadi sadar dan paham, Yesus tetap hidup, hadir, dan bangkit. Didorong oleh Roh Kudus, dimulailah pewartaan oleh para murid-Nya: Yesus adalah Penebus dan Tuhan. Dengan demikian, ungkapan iman Yesus sebagai ’Putra Allah’ terbentuk tahap demi tahap dalam tradisi ajaran iman Kristen.
Penginjil Yohanes melukiskan Yesus sebagai ’Sabda yang sudah berada di dalam Allah sejak awal mula’ (Yoh 1:14). Di dalam Yesus, Allah mengungkapkan diri-Nya sebagai manusia, dengan segala kerapuhannya. Rasul Paulus menjelaskan Yesus yang diciptakan dari kekal sebelum segala sesuatu ada (Kol 1:12-20; Ef 1:3-10). Topik ’Yesus sungguh Allah dan sungguh manusia’ akan menjadi banyak perdebatan para Bapa Konsili di awal abad-abad pertama dalam upaya untuk merumuskan iman yang satu dan sama.
Gregorius Soetomo SJ
HIDUP NO.15 2014, 13 April 2014