Kesan lain datang dari Ado Bintoro, seorang pria penderita polio sejak kecil, yang bekerja bersama Romo Mangun. Awalnya, ia datang ke kantor Dinamika Edukasi Dasar (DED) Yogyakarta dan meminta pekerjaan kepada Romo Mangun. Romo Mangun hanya memintanya tinggal di DED. Dengan keterbatasan fisik ia berusaha menjalankan tugas yang diberikan Romo Mangun. Ado selalu ingat pesan Romo Mangun, “Bin, berusahalah selagi kamu mampu. Jangan malu dan ragu, meski yang kamu miliki hanya pikiran dan tangan.”
Konsultan Ahli Pengembangan Kurikulum di DED, Nasarius Sudaryono juga memiliki kesan mendalam bersama Romo Mangun. Nasarius bercerita, ketika keluar dari seminari, ia berkata, “Enak, ya, kalau terus jadi romo, bisa seperti Romo Mangun.” Tapi, Romo Mangun menjawab, “Justru tugasmu sekarang mencari apa yang tidak saya temukan, karena saya romo.”
Di luar pakem
Seorang imam Keuskupan Agung Semarang yang pernah tinggal dan berkarya bersama Romo Mangun, RD Yoseph Suyatno Hadiatmojo menilai, model pastoral yang dijalankan Romo Mangun adalah model pastoral yang berangkat dari pengalaman nyata. “Yang dilakukan, itulah yang direfleksikan dan dibawa dalam doa, kemudian diaplikasikan kembali dalam karya,” tandas Romo Yatno yang kini berkarya di Paroki Hati St Maria Tak Bercela Kumetiran, Yogyakarta.
Menurutnya, Romo Mangun adalah seorang imam plus. Ia tidak hanya seorang pemimpin Misa, seorang perenung Kitab Suci, tapi seorang imam yang berusaha menghadirkan Kerajaan Allah dalam kehidupan nyata.
Romo Mangun, kata Romo Yatno, ingin membuat Gereja membuka pintu gerbang dan mata untuk melihat realitas yang ada di luar pagar. Iman, bagi Romo Mangun, adalah iman yang dari altar menuju pasar. “Berkat Ekaristi harus dibagikan kepada orang-orang di sekitar, terutama mereka yang miskin dan terlantar,” tegasnya. Saat Romo Mangun memberikan rekoleksi bagi para calon imam, cerita Romo Yatno, Romo Mangun selalu berkata, “Kami, para calon imam ini, hanyalah calon aristokrat Gereja yang tidak tahu dunia luar.”
Romo Yatno mengakui bahwa cara berpastoral seperti Romo Mangun memang mendatangkan banyak risiko. Misalnya, karena terlalu asyik bekerja, lalu lupa Tuhan, atau harus menanggung banyak cibiran dari umat atau sesama rekan imam yang lain. Langgam pastoral Romo Mangun yang tidak mau terikat dengan urusan parokial, tetapi keluar dan tinggal bersama orang-orang miskin yang dilayani, tentu berada di luar pakem Gereja. Maka, sudah tentu apa yang dilakukan Romo Mangun di masa-masa awal pelayanannya tak begitu mudah dimengerti.
Namun, Romo Yatno yakin, Romo Mangun telah menunjukkan satu gaya berpastoral yang berupaya menghadirkan Gereja di tengah-tengah orang miskin dan terbuang. Bukankah itu yang dikehendaki Kristus bagi Gereja- Nya?
Stefanus P. Elu
Laporan: Ingrid Kusumadewi (Yogyakarta)
HIDUP NO.11 2014, 16 Maret 2014