HIDUPKATOLIK.com – Romo Mangun memilih berpastoral di tengah orang miskin. Ia menjalankan tugas perutusan dengan pilihan-pilihan yang keluar dari “pakem pastoral” pada umumnya. Pastoral yang penuh dengan risiko.
Yusuf Bilyarta Mangunwijaya. Itulah nama yang dikenal sebagai seorang arsitek, sastrawan, budayawan, dan pejuang kemanusiaan. Ia juga seorang imam Keuskupan Agung Semarang. Tentang nama Bilyarta ada kisah yang melatarbelakangi. Kakeknya menyematkan nama Bilyarta, karena saat ia lahir, sang ayah sedang asyik bermain biliar.
Meski begitu, nama itu telah menjadikan penyandangnya harum di mata Indonesia dan dunia internasional. Ber bagai penghargaan di tingkat nasional dan dunia diraih imam yang akrab disapa Romo Mangun ini.
Sebagai seorang imam, pilihan menjadi arsitek, budayawan, sastrawan, dan pejuang kemanusian adalah cara untuk membumikan panggilan imamatnya. Ia menjalankan tugas perutusan dengan pilihan-pilihan yang keluar dari “pakem pastoral” pada umumnya. Ia memilih tinggal dan berjuang bersama orang miskin.
Bersama yang miskin
Soal pilihan Romo Mangun ini bukanlah sebuah retorika fiktif. Datanglah ke permukiman di tepian Kali Code Yogyakarta, Pantai Grigak di Gunung Kidul, Waduk Kedung Ombo, Gereja Paroki St Maria Assumpta Klaten, tempat ziarah Gua Maria Sendang sono Kulonprogo, atau ke Gereja Paroki Salib Suci Cilincing di Jakarta Utara. Di situ terekam karya-karya monumental Romo Mangun yang masih kokoh.
Dalam film dokumenter yang dibuat Retno Intani ZA, Romo Mangun mengungkapkan alasannya mempersembahkan karya imamatnya bagi orang-orang miskin. Ia mengatakan, “Pilihan melayani orang miskin dan terlantar adalah sebagai bentuk balas budi kepada orang-orang miskin dan kecil semasa perang Indonesia-Hindia Belanda.” Sebelum menjadi seorang imam, ia memang pernah menjadi anggota Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Batalyon X.
Hidup dalam balutan kesederhanaan telah dipatrikan oleh kedua orangtuanya. Sejak kanak-kanak, ia dilatih mencukupkan diri dengan apa yang ada. Didikan orangtuanya inilah yang dihayati Romo Mangun hingga akhir hidupnya.
Alexander Sugeng Widodo, sopir Romo Mangun saat tinggal di Paroki St Albertus Magnus Jetis Yogyakarta, mengamini penghayatan hidup sederhana ini. Ketika ditemui di Gereja Jetis, Minggu, 2/3, ia bercerita, “Suatu ketika, Romo Mangun diundang seminar di Jakarta dan nginap di hotel. Saat pulang, sandalnya tertinggal. Ia pun menelpon ke hotel itu dan minta agar sandalnya disimpan.”
Romo Mangun juga tak ingin menghadiri acara-acara seremonial berbau pesta. Ia lebih suka berada di tengah-tengah orang miskin. “Romo sering menolak permintaan memberikan seminar tentang orang miskin di hotel atau tempat mewah,” imbuh Sugeng mengenang.